42 Tahun Tragedi Nasional 1965 
   
  Pada 42 tahun yang lalu terjadi peristiwa 30 September 1965 yang disusul 
dengan naiknya kekuasaan militer Orde Baru Suharto dan terjadi pembantaian 
jutaan manusia Indonesia tak berdosa, perampasan segala hak sipil dan 
kemanusiaan jutaan keluarga Indonesia. Hingga saat ini diskriminasi atas 
sebagian besar bangsa Indonesia masih berlangsung. 
  Walaupun presiden Suharto sudah lengser pada Mei 1998, hampir sepuluh tahun 
yang lalu dan secara formal kita berada pada apa yang dikatakan “era 
reformasi”, belum ada perubahan mendasar dalam situasi tersebut. Bahkan masih 
terjadi konflik-konflik berdarah seperti di  Papua, Maluku, Poso (Sulawesi), 
juga di daerah Aceh serta daerah-daerah lain yang rawan.
  Baik secara nasional maupun secara internasional organisasi-organisasi 
kemasyarakatan yang memperjuangkan keadilan dan demokrasi secara bertahun-tahun 
melaksanakan usahanya untuk menegakkan kekuasaan hukum dan melawan pelanggaran 
hak-hak azasi manusia di Indonesia.
  Organisasi-organisasi yang memperjuangkan rehabilitasi para korban 1965 tak 
kenal lelah meneruskan usahanya. Antara lain, Pakorba, LPR-KROB, YPKP, LPKP, 
KAP T/N, ELSAM dan berbagai badan usaha advokasi. SYARIKAT (Masyarakat Santri 
untuk Advokasi Rakyat) dari golongan muda NU memperoleh hasil tertentu untuk 
mencapai rekonsiliasi antara para  korban dengan para pelakunya dengan kegiatan 
di akar-rumput. Tapi mereka harus mengatasi hambatan-hambatan berat baik dari 
fihak orang-orang generasi tua maupun prasangka-prasangka masyarakat.
  Secara internasional ada kegiatan-kegiatan seperti oleh Amnesty International 
memberikan tekanan pada penguasa-penguasa di Indonesia. Dan dari Indonesia 
sendiri ada wakil-wakil organisasi HAM yang mendatangi sidang PBB di Jenewa 
untuk menggugat pelanggaran yang masih saja berlangsung di Indonesia. Di 
kalangan komunitas Indonesia di luarnegeri, khususnya para mahasiswa Indonesia, 
ada hasrat mau menyelami apa yang terjadi pada peristiwa 30 September 1965 dan 
rangkaian peristiwa sesudahnya. Pada musim panas tahun 2000 para mahasiswa 
Indonesia Universitas di Leuven, Belgia, menyelenggarakan seminar mengenai tema 
itu. Pada kesempatan itu berbicara Sitor Situmorang, Carmel Budiardjo dan Paul 
Mudikdo. Juga hadir dan berbicara Nani Nurachman, puteri jenderal Sutoyo yang 
terbunuh pada peristiwa 30 September itu.  Maka berlangsung perjumpaan muka 
antara korban anak ‘pahlawan revolusi’ dan korban anak PKI (Ibaruri). Tidak 
terjadi pertengkaran, malah ada saling pengertian tentang
 kondisi masing-masing. Di Indonesia, Nani Nurachman berprakarsa untuk 
mengadakan forum rekonsiliasi dengan para korban 1965. Ini pertanda bahwa 
antara sesama warga Indonesia yang punya latarbelakang politik yang saling 
bermusuhan, lebih mudah tercapai saling pengertian dan saling permaafan. 
  Tapi dari pihak kekuasaan Indonesia tidak ada langkah nyata ke arah 
rekonsiliasi dan rehabilitasi. Presiden Abdurrachman Wahid – Gus Dur adalah 
presiden pertama yang berkepedulian pada tragedi 1965. Beliau menyatakan maaf 
pada korban-korban 1965 dan mengutus menteri kehakiman untuk menyelesaikan para 
eksil yang tak dapat pulang karena peristiwa G30S. Kita semua tahu apa 
hasilnya. Gus Dur dipaksa mundur sebagai presiden dan janji menkumdang 
menyelesaikan masalah para eksil tinggal janji kosong. 
  Pada bulan Maret 2003 datang untuk pertama kalinya langsung dari Indonesia 
delegasi yang terdiri dari korban-korban 1965, yaitu dr Tjiptaning, Ir Setiadi 
dan Heru Atmodjo. Mereka berhasil hadir dalam sidang PBB mengenai HAM di Jenewa 
dan dr Tjiptaning dapat menyampaikan statement mengenai pelanggaran HAM di 
Indonesia. Delegasi ini dapat mengunjungi wakil-wakil parlemen Eropa di Brussel 
dan bertemu di Den Haag dengan pejabat Kementerian Luarnegeri Belanda. Delegasi 
ini dapat memberi gambaran jelas mengenai diskriminasi dan stigmatisasi yang 
diderita oleh jutaan orang keluarga korban 1965 dan memperoleh pengertian dan 
simpati dari pihak-pihak yang ditemui.
  Pada 28 September 2003 dalam pengantar memperingati tragedi 1965 Bapak Paul 
Mudikdo mengupas kejahatan-kejahatan rezim Orba dari segi hukum.  Kata pak 
Mudikdo, norma-norma hukum yang berlaku secara internasional sejak Revolusi 
Prancis dan kemudian pada waktu menghukum kaum Nazi Jerman pada pengadilan 
Neurenberg seusai Perang Dunia II, seharusnya merupakan norma-norma hukum di 
negara Republik Indonesia. Atas dasar norma-norma hukum itu kejahatan-kejahatan 
yang dilakukan oleh rezim Orba Suharto bukan saja merupakan kejahatan yang 
melanggar Hak-hak azasi manusia, tapi dapat dikategorikan lebih berat, yaitu 
sebagai Crimes Against Humanity (Kejahatan Melawan Kemanusiaan). Dan lanjut pak 
Mudikdo, menurut kelaziman hukum internasional, pemerintah yang menggantikan 
pemerintah Orde Baru mewarisi tanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan oleh 
rezim sebelumnya. Perasaan dan kesedaran ini tak ada pada pemerintah-pemerintah 
purna Suharto.
  Lain sekali sikap dan perlakuan terhadap pemberontakan yang dilakukan oleh 
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dengan GAM pemerintah Indonesia sudah mencapai 
kesepakatan perdamaian. Wakil-wakil GAM di luarnegeri dapat kembali ke 
tanahair. Dalam pemilihan kepala daerah Aceh, seorang tokoh GAM terpilih jadi 
Gubernur. 
   
  Mengapa belum ada perubahan fundamental mengenai masalah rehabilitasi dan 
rekonsiliasi para korban dari Tragedi Nasional 1965 ? Perlu kita mencoba 
memahami sebab-musababnya.
   
  Sejak awal 1998 terjadi peningkatan gerakan massa , khususnya mahasiswa, 
melawan Suharto dan rezim Orba. Kelihatan retak-retaknya dalam rezim ini dengan 
mulai terjadinya krismon dan diperkirakan rezim Orba akhirnya bisa dipaksa 
turun panggung. Pada bulan Februari 1998 diadakan pertemuan ‘Jaringan Oposisi 
Demokratik Indonesia di Eropa’ untuk membahas bagaimana menghadapi kemungkinan 
itu. Pada kesempatan itu saya kemukakan pandangan bahwa selama 30 tahun lebih 
rezim Orba telah menegakkan suatu struktur kekuasaan di bidang politik, 
ekonomi, sosial-kultural yang mengekang seluruh kehidupan masyarakat. Ini 
merupakan kendala berat yang bersifat fisik dan psikis/mental yang harus 
dirobohkan untuk merintis jalan bagi demokratisasi. Untuk itu perlu ada gerakan 
perlawanan yang sungguh-sungguh mengakar-dalam pada massa rakyat berbagai 
sektor. Tanpa itu tak mungkin berhasil merombak struktur orde baru menjadi 
masyarakat demokratik.
  Pada Mei 1998 berlangsung demonstrasi ratusan ribu massa mahasiswa dan 
rakyat. Suharto lengser, artinya melangkah ke samping. Jadi sebetulnya tidak 
turun kekuasaan. Gerakan massa mulai tercerai-berai. Struktur kekuasaan Orba 
hanya digerigiti sana-sini, tapi hakekatnya masih utuh. Pemerintah-pemerintah 
silih-berganti purna Suharto dengan mengusung semboyan-semboyan ‘reformasi’ 
tidak menyentuh hakekat struktur tersebut. Malah makin bertambah tanda-tanda 
mulai konsolidasi kekuatan Orde Baru Baru. Berbagai percobaan untuk membawa 
Suharto ke pengadilan telah gagal. Yang berhasil malah gugatan Suharto pada 
majalah “TIME’ Amerika yang dianggap merugikan nama baiknya. Putusan MA yang 
memenangkan Suharto sungguh memalukan dan menghina bangsa Indonesia. Sekaligus 
bukti masih berdominasi struktur kekuasaan Orba. Struktur ini tetap hambatan 
besar dalam perjuangan untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan demokratisasi 
masyarakat.
  Oleh PBB dan Bank Dunia sekarang Suharto sudah disingkap sebagai pencuri 
terbesar atas kekayaan negerinya. Apakah soal ini akan sungguh-sungguh dilacak 
dan diperkarakan oleh pemerintah Indonesia? Itu harapan kita tapi menjadi 
tandatanya besar.
   
  Dalam pengantar pada diskusi tema peristiwa G30S 1965 pada 27 september 2002 
saya antara lain menyatakan bahwa terbentuknya struktur kekuasaan rezim Orba 
sekaligus berarti tegaknya suatu rezim Orba yang pada hakekatnya membunuh  
pergerakan kemerdekaan nasional yang dibangun sejak awal abad ke-20, suatu 
pergerakan yang mempersatukan aliran-aliran politik besar nasionalis, agama dan 
komunis, yang berhasil memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dan berdirinya 
Republik Indonesia. Rezim Orba tidak saja memulas sejarah, tapi menghapus 
seluruh episode sejarah itu. Tradisi partai-partai politik yang dijiwai oleh 
ideologi perjuangan kemerdekaan itu diingkari dan diganti oleh partai-partai 
politik yang semata mengabdi kekuasaan dan kekayaan. 
  Aliran kiri sejak awal merupakan satu kekuatan penting dalam gerakan 
kemerdekaan nasional, sehingga Bung Karno menyimpulkan pentingnya persatuan 
nasionalisme, islam dan komunisme. Pada tahun 1960-an Bung Karno menegaskan 
gagasannya sebagai persatuan NASAKOM. Oleh rezim Orba bukan saja PKI tapi 
seluruh aliran kiri telah ditumpas dan dihilangkan dari spektrum politik 
Indonesia. Tapi penindasan melahirkan perlawanan. Pada masih jayanya kekuasaan 
Orde Baru Suharto toh muncul kekuatan yang berani melawannya, khususnya dari 
gerakan mahasiswa. Dari sini tampillah kekuatan kiri, yaitu kekuatan melawan 
penindasan dan ketidakadilan, membela rakyat kecil. Meskipun sangat kecil, 
kekuatan ini berani menggugat dan menantang kekuasaan rezim Orba itu. PRD dan 
organisasi mahasiswa/pemuda lain berani mengorbankan diri, masuk penjara atau 
dibunuh.. Dalam ‘era reformasi’  sekarang pun kekuatan mereka ini masih 
ditakuti dan diteror seperti dialami PAPERNAS pada tahun ini.
  Pembantaian dan pemenjaraan jutaan tak bersalah menyusul peristiwa 1965 
menandakan tidak adanya ‘rule of law’, berlakunya apa yang disebut sebagai 
impunity (kebal hukum). Karena hal itu belum pernah ditangani, maka sampai 
sekarang pun impunity itu masih berlaku. Siapa berani menentang dan menggugat 
rezim berkuasa  akan disingkirkan, dihilangkan atau dibunuh. Itu yang terjadi 
pada pejuang buruh Marsinah, pada seniman rakyat Wiji Thukul dan banyak lain 
yang tak bernama. 
  Munir salah satu seorang pejuang yang sejak rezim Suharto masih berkuasa 
berani menyingkap kejahatan rezim dan kesewenang-wenangannya. Ia sangat 
berkepedulian pada tindakan kekerasan di Indonesia, mulai dari tragedi 1965 
sampai peristiwa penculikan 1997/98, suatu rangkaian kekerasan yang dilakukan 
pemerintah Orde Baru. Ia ungkap perasaannya dengan ucapan ‘kami sudah lelah 
dengan kekerasan’. Dengan teman-teman sesama aktivisnya ia bergulat melawan 
kekuasaan yang menyebabkan kekerasan itu, maka dibenci oleh mereka.  Pada tahun 
2004 waktu berada dalam perjalanan terbang ke Amsterdam Munir dengan keji 
diracuni dan meninggal di pesawat terbang. Pembunuhan ini membangkitkan 
kemarahan di masyarakat Indonesia dan internasional. Pemeriksaan dan penelitian 
seksama dilakukan untuk menyingkap perkara pembunuhan ini dan menemukan 
pembunuhnya.  Hingga saat ini belum ada jawaban tuntas tentang apa yang 
terjadi. Tapi yang sudah terungkap yang bahwa orang-orang dari badan intelijen
 Indonesia terlibat langsung dalam pembunuhan itu. Pada hari Kemis 13 September 
yang lalu oleh Amnesty International diselenggarakan Munir Memorial Lecture di 
Utrecht. Lewat penjelasan Suciwati, isteri almarhum Munir, Usman Hamid 
(Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan – KONTRAS) dan 
Asmara Nababan (Mantan Anggota Tim Pencari Fakta Kematian Munir) kita 
mengetahui rintangan besar dan kompleksitas proses untuk menyingkap perkara 
pembunuhan dan menemukan pelaku pembunuhan.
  Kematian Munir bukan hanya masalah Indonesia. Pertengahan Juli tahun ini 
Komisioner Tinggi Hak Azasi Manusia PBB Louise Arbour mengunjungi Indonesia. 
Dalam pertemuannya dengan presiden Susilo Bambang Yudoyono ia menegaskan bahwa 
kasus pembunuhan Munir bukan lagi perkara domestik Indonesia, tapi telah 
menjadi sorotan dunia internasional. Berkaitan dengan kondisi perlindungan 
terhadap para pembela HAM ini telah datang pula pada akhir Juli tahun ini 
utusan khusus PBB Hina Jilani ke Indonesia. Ia menyatakan kepada pemerintah 
untuk membuat mekanisme pengawasan, mekanisme untuk mengatasi tekanan, 
intimidasi dan teror yang sebagian besar dilakukan oleh polisi, militer dan 
badan intelijen terhadap para pekerja HAM.
  Nasib yang menimpa Munir berkaitan langsung dengan nasib para korban tragedi 
nasional 1965 yang sampai saat ini tidak ada perspektif penyelesaiannya..
  Berbagai publikasi sudah terbit di Indonesia yang menyingkap peristiwa 30 
September dan peristiwa lanjutannya. Salah satu  yalah buku Harsutejo berjudul 
‘Sejarah G30S yang digelapkan’. Minggu-minggu ini Harsutejo mempublikasi lagi 
serial mengenai G30S yang dilengkapi dan direvisi. Di luar negeri telah terbit 
buku tulisan John Roosa, berjudul Pretext for Mass Murder: The September 30th 
Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia,  yang mengungkap proses 
terjadinya pembunuhan massal oleh Suharto dengan menggunakan dalih G30S.
  Banyak eks tahanan Orde Baru  telah  mempublikasi  pengalaman siksaan dan 
deritaan yang dialami dalam sekapan rezim Orba. Usaha ini sangat diperlukan dan 
harus diteruskan untuk mengungkap kebenaran dan kejadian sesungguhnya  Tidak 
mungkin saya sebut semua publikasi itu. Salah satunya yang ingin saya angkat 
yalah Terempas Gelombang Pasang, tulisan Sudjinah, tokoh Gerwani, pejuang gigih 
revolusioner yang belum lama ini meninggalkan kita untuk selama-lamanya.  
  Fihak lawan yang berkepentingan mempertahankan orde baru dalam berbagai 
bentuknya juga aktif menerbitkan berbagai publikasi. Antara lain buku Antonie 
C. A. Dake dan Victor M. Fic yang mengatakan Bung Karno yang mendalangi G30S. 
Tahun ini terbit buku, Helen-Hunter, seorang ex CIA, berjudul Sukarno and the 
Indonesian Coup: TheUntold Story, yang mengaku punya bukti-bukti tak 
terbantahkan bahwa Bung Karno langsung terlibat.dalam G30S.
  Dr. Asvi Warman Adam pada 29 September ini, dalam artikel membahas adanya 
beberapa versi mengenai G30S, mengemukakan pendapatnya bahwa di antara berbagai 
versi itu analisa Bung Karno adalah yang paling lengkap. Bahkan seluruh versi 
itu termasuk dalam pidato Pelengkap Nawaksara. yang disampaikan oleh Bung Karno 
pada 10 Januari 1967 kepada Sidang MPRS.
   
  Perjuangan untuk menegakkan kebenaran, untuk ‘meluruskan sejarah’ berkaitan 
dengan Tragedi Nasional 1965, untuk rehabilitasi dan rekonsiliasi demi 
persatuan bangsa Indonesia merupakan perjuangan berjangka panjang. Perjuangan 
ini berpadu dengan seluruh usaha dan perjuangan bangsa Indonesia melawan 
pelanggaran HAM, melawan ketidakadilan dan untuk mewujudkan demokrasi bagi 
masyarakat Indonesia.
  Untuk semua yang berjuang demi keadilan dan kebenaran saya ingin meminjam 
sub-judul dari ceramah Asmara Nababan pada 13 September yang lalu di Utrecht. 
  KERJAKAN SEGALA YANG DAPAT DIKERJAKAN, LANJUTKAN APA YANG HARUS DIKERJAKAN ! 
(doing the most possible, continue to do what has to be done).
   
  Terima kasih.
   
  Cipto Munandar 
  30 September 2007 
  Diemen

       
---------------------------------
Ask a question on any topic and get answers from real people. Go to Yahoo! 
Answers. 

Reply via email to