Refleksi: John K. Galbraith [Canadian-US Economist] pernah mengatakan tentang 
doktrin taik kuda, yaitu dimana burung gelatik hanya bisa mencicip sisa-sisa 
gandum yang tidak terkunyak oleh kuda.  Sadar atau tidak sadar,  inilah  
realitas doktrin  taik kuda yang diaplikasikan oleh para pakar ekonomi, 
politikus dan petinggi bagi sipil mau pun milter negara Indonesia  kepada 
rakyatnya selama ini.  Apa yang dialami oleh rakyat di Kalimantan Selatan 
dengan "Debu untuk Rakyat" adalah hanya salah satu contoh dari sekian banyak 
daerah yang bernasib sama. Mau dilihat,  disadari atau sengaja berlagak pilon, 
pertanyaanya akan selalu menghantui yaitu adakah jalan keluar ataukah lebih 
baik menjadi penonton pasif melihat bandit garong  pembawa maut berdendang di 
ujung hidung?.


http://www.indomedia.com/bpost/042007/19/opini/opini4.htm

TAJUK 
Debu Untuk Rakyat

TAHUN 1950 sampai 1960-an, pelajaran Ilmu Bumi di sekolah hanya mengenal dua 
daerah produsen batu bara: Tanjung Enim (Sumatera Selatan) dan Sawah Lunto 
(Sumatera Barat). Tambang batu bara saat itu digambarkan sebagai sesuatu yang 
sangat istimewa. Tempat penambangannya mirip sebuah kota kecil, dihubungkan 
dengan jalur kereta api yang mengangkut hasil tambang tersebut dari tempat 
galian ke tempat tujuannya. Karenanya, perjalanan batu bara tidak mengganggu 
pengguna jalan raya. Debunya juga tidak menyumbat pernapasan rakyat dan 
masyarakat terselamatkan dari seringnya tabrak lari yang dilakukan sopir truk 
pengangkut batu bara. Pengangkutan batu bara tidak menimbulkan banyak keluhan 
rakyat, bahkan sampai sekarang pun keadaan tetap sama.

Tapi itu di Sumatera, dua kawasan tambang batu bara yang dikelola sejak zaman 
Belanda. Kini peta batu bara sudah berubah, Tanjung Enim dan Sawah Lunto bukan 
lagi produsen yang utama. Penghasil batu bara terbesar saat ini ada di Pulau 
Kalimantan, termasuk Provinsi Kalsel. Bukan hanya perusahaan besar yang izinnya 
harus dari pusat, penambang kecil yang mendapat izin pemerintah kabupaten pun 
ikut bermain. Bahkan penambang paling banyak justru yang tanpa izin, sering 
disebut Peti (Penambang Tanpa Izin). Produksinya juga tidak tanggung-tanggung, 
sekitar 10 juta ton se tahun, mendekati produksi penambang terbesar PT Arutmin 
yang 14 juta ton.

Total produksi batu bara dari perusahaan besar di Kalsel pada 2006 adalah 
61.504.180 ton. Ditambah dengan produksi Peti dan Kuasa Pertambangan yang 
mendapat izin pemerintah kabupaten, berapa truk batu bara yang berlalu lalang 
setiap hari. Truk menjadi sarana angkutan utama, karena di Kalsel tidak ada 
kereta api. Semua truk tumpah ruah di jalan negara, kalau dulu hanya malam hari 
kini malah siang malam. Ini dampak dari pembatasan jumlah muatan sesuai 
ketentuan, yaitu enam ton. Semula, satu truk mengangkut sampai 12 ton sehingga 
jalan cepat rusak. Tapi dampak dari ketentuan baru itu, truk harus beroperasi 
siang malam agar produksi batu bara tidak menumpuk.

Lantas siapa yang dirugikan? Pertama-tama tentu rakyat, jalan negara menjadi 
padat, penuh debu dan hancur berlubang di sana-sini. Padahal penambang 
seharusnya tidak memanfaatkan jalan negara untuk jalur tambangnya, mereka harus 
membuat jalan sendiri. Kebijakan mengurangi jumlah tonase bukan yang terbaik, 
karena keramaian jalan negara oleh truk batu bara justru bertambah. Pemerintah 
harus berani memaksa penambang membuat jalan sendiri. Peti dan penambang kecil 
lain menangguk keuntungan yang demikian besar, karena tidak membayar pajak. 
Mereka juga memanfaatkan fasilitas negara dan punya andil terhadap kehancuran 
jalan.

Protes rakyat yang menolak angkutan batu bara siang malam bisa dimengerti, 
karena merekalah korban pertama. Debu batu bara maupun debu jalanan beterbangan 
tak pernah henti dan jalan semakin hancur. Mungkin kita juga perlu menggugat 
pemerintah yang telah banyak menerima royalti untuk memikirkan perbaikan jalan. 
Bagaimana mungkin daerah yang kaya raya dengan produksi tambangnya justru 
terpuruk oleh jaringan jalan yang rusak parah, penduduknya tidak menikmati 
keuntungan secara langsung. Munculnya pungutan tidak resmi seperti 'uang debu' 
bisa jadi wujud dari kecemburuan rakyat, karena mereka memang tidak kebagian.

Sudah saatnya rakyat di Kalsel ini ikut merasakan kemakmuran dari hasil 
pertambangan yang ada. Hutan sudah habis dan kekayaannya diangkut para cukong 
ke Jakarta. Kini, batu baranya juga dikuras tetapi rakyat tidak menikmati 
hasilnya. Lalu lalang mobil mewah yang dibawa cukong dari luar Kalsel, membuat 
perasaan rakyat tergores karena kekayaan di daerahnya sendiri tidak bisa 
memberikan kemakmuran. Justru sebaliknya, orang lain yang menikmati. Ada memang 
satu dua orang yang beruntung ikut menikmati, tetapi tentu jauh lebih banyak 
yang tertinggal. Kehadiran penambang besar maupun kecil telah mengusik 
ketenteraman rakyat, tidak seperti yang digambarkan dalam perusahaan tambang 
peninggalan kolonial dahulu. 

Kalsel adalah provinsi yang kaya, tetapi rakyat belum mencapai kemakmuran. 
Hutan dibabat, kayu dibawa lari cukong. Kini batu bara digali, hasilnya juga 
tidak langsung dinikmati rakyat. Hutan-hutan yang gundul kini berganti wujud 
menjadi bekas lubang galian tambang yang menganga, lingkungan menjadi rusak. 
Yang tersisa untuk rakyat, hanya debu yang beterbangan

Reply via email to