Dewan Lembaga Terkorup
Hasil survei TII (Transparency International Indonesia) yang menempatkan parlemen atau legislatif sebagai lembaga terkorup di Indonesia tentu bukanlah berita yang mengagetkan. Berita tersebut lebih berperan menguatkan daripada mengagetkan. Sebab, performa lembaga perwakilan rakyat memang sudah tidak terlalu baik. Mungkin benar, seperti yang dikatakan Ketua DPR Agung Laksono, dalam penelitian tersebut, ada faktor kesalahan. Namun, tingkat kesalahan itu -seandainya ada- bisa dipastikan tidak akan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hasil survei TII tersebut. Mengapa demikian? Jawabannya, -sekali lagi- karena tingkat kepercayaan rakyat kepada dewan memang sudah sedemikian rendah. Sudah sekian lama rakyat disuguhi berita korupsi yang melibatkan dewan. Rakyat juga menyaksikan, banyak perilaku dewan yang mengarah ke tindak korupsi. Juga perilaku tidak etis lainnya. Lagi-lagi, benar kata Agung, hasil survei itu bisa memicu proses delegitimasi parlemen. Tapi, kalau mau jujur, proses delegitimasi tersebut sudah berjalan sebelum penelitian itu muncul. Karena itu, akan lebih tepat bila dikatakan bahwa survei tersebut bukan memicu delegitimasi, tapi mempercepat dan melengkapi proses delegitimasi. Jadi, kita pun sepakat dengan pernyataan Agung bahwa bagaimanapun, hasil survei itu diperlukan untuk bahan introspeksi anggota dewan. Mereka harus bisa mengaca diri, ternyata persepsi masyarakat terhadap mereka sudah sedemikian buruk. Itu tentu bukan kabar yang baik. Idealnya, dewan seharusnya menjadi institusi yang dipercaya rakyat. Sebab, di lembaga itulah, rakyat diwakili. Di lembaga itu pula, sejumlah regulasi dibuat dan diputuskan. Ketika reformasi menggema dan sukses menumbangkan pemerintahan Orde Baru, rakyat menaruh segudang harapan pada institusi dewan. Ini bisa dimaklumi. Sebab, dewanlah yang pertama mengalami proses reformasi. Seharusnya, dari dewan pula reformasi yang lain -birokrasi, militer, kepolisian, peradilan, dan sebagainya- bisa dilakukan. Namun, fakta berbicara lain. Dewan hasil reformasi tidak terlalu menggembirakan. Mereka secara perlahan mempertontonkan perilaku-perilaku yang seharusnya tidak pantas dilakukan. Dari jual beli suara dalam pemilihan kepala daerah, jual beli aturan, pemaksaan kehendak untuk mendapatkan gaji tinggi, menghamburkan uang negara untuk studi banding yang tidak jelas hasilnya, hingga perilaku amoral seperti berhubungan intim dengan perempuan yang bukan istrinya. Mungkin benar, perilaku tidak terpuji itu juga dilakukan eksekutif. Namun, rakyat tentu lebih kecewa dan sakit hati ketika melihat kenyataan dewan juga melakukan hal itu. Sebab, seperti disebut di atas, semula rakyat berharap, dewan bisa memperbaiki eksekutif (birokrasi). Sebab, dewan merupakan representasi rakyat dalam kehidupan bernegara. Karena itu, jika benar hasil survei tersebut akan dijadikan bahan introspeksi, maka dewan harus melakukan perubahan frontal. Perubahan frontal yang paling bermakna bagi rakyat adalah ketika dewan mau dan mampu membuat sistem yang memungkinkan rakyat bisa menyeleksi dengan ketat siapa saja yang akan duduk di parlemen. Untuk bisa melakukan itu, rakyat mutlak harus diberi kewenangan untuk bisa memilih sendiri. Rakyat jangan lagi dijebak untuk memilih kucing dalam karung seperti selama ini. (*) Sumber: Jawapos - Rabu, 13 Desember 2006 ++++++++++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/