http://perempoeanmahardhika.multiply.com/journal?&page_start=20
   
      
 

            Njoto: Politik Itu Penting Sekali. Jika Kita Menghindarinya, Kita 
Akan Digilas Mati Olehnya. 


  
Oleh: Tedjo Priyono**
   
  Pembebasan Online, Selasa, 26 September 2006
   
  Bogor, 6 Oktober 1965. Negara genting. Rabu pagi itu Bung Karno menelepon 
semua menteri supaya menghadiri sidang Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Inilah 
rapat kabinet pertama yang diadakan Presiden setelah peristiwa G30S meletus. 
Sepekan baru berlalu sejak tujuh perwira tinggi TNI tewas dibunuh di Lubang 
Buaya. Jakarta diliputi pertanyaan besar: apa yang sesungguhnya terjadi? 
Betulkah Partai Komunis Indonesia terlibat?
  Semua menteri segera bergegas ke Bogor dengan mobil dinas mereka. Beberapa di 
antaranya bahkan dikawal panser militer. Dua orang yang juga meluncur ke Bogor 
adalah Njoto dan M.H. Lukman. Keduanya adalah menteri negara yang juga pengurus 
teras PKI, partai yang dituding tentara berada di belakang prahara G30S. Ketua 
PKI, D.N. Aidit, yang juga salah satu menteri, telah hengkang ke Solo pada 1 
Oktober pagi.  Di dalam rapat kabinet itu,  Nyoto menyatakan bahwa PKI tidak 
bertanggung jawab atas peristiwa berdarah G 30 S. "Kejadian itu adalah masalah 
internal Angkatan Darat." Soekarno pun berbicara: "Selalu ada 
peruncingan-peruncingan kekuatan. Kalau Darul Islam merupakan peruncingan 
kanan, Permesta peruncingan nasionalis, maka ini peruncingan kiri." Dan lagi, 
Sukarno menyebutkan bahwa peristiwa G30S hanyalah riak kecil dalam revolusi 
Indonesia. "Jika benar G 30 S didalangi PKI, tentu PKI bertindak 
kekanak-kanakan," kata Bung Karno. 
   
  ***
   
  Njoto adalah satu dari banyak nama yang muncul saat kita membaca atau 
menelusuri literature dan jejak sejarah gerakan komunis di Indonesia. 
Orang-orang komunis yang sering diungkapkan Soekarno (dalam setiap pidatonya) 
banyak berjasa dalam perjuangan bangsanya. Beribu-ribu mereka dibuang ke 
tempat-tempat pembuangan ke Digul atau mati dalam perlawanan terhadap penjajah 
Belanda. 
   
  Njoto anak tertua (satu-satunya lelaki) dari 3 bersaudara. Dilahirkan di 
Bondowoso, 17 Januari 1927; menikahi Soetarni (kelahiran Solo, 10 Juni 1928) 
yang berasal dari keluarga ningrat Mangkunegaran pada tahun 1955; dan punya 7 
anak. Anak pertama, Svetlana, baru berumur 9 tahun saat pecah tragedi 1965 
sementara anak terkecil masih dalam kandungan dan baru lahir pada Juli 1966. 
Njoto sendiri "hilang tanpa jejak" sejak 16 Desember 1965. Istri Njoto dan ke-7 
anaknya sempat ditahan di salah satu Kodim di Jakarta selama berbulan-bulan. 
Sekitar akhir 1966 atau awal 1967 dibebaskan dari Kodim, tapi pertengahan 1969 
kembali ditangkap dan ditahan dari satu penjara ke penjara lainnya: Wonogiri, 
Semarang, Jakarta (Bukit Duri), dan terakhir di Plantungan, Jawa Tengah. 
   
  Njoto tidak hanya dikenal sebagai salah satu  dari Tiga Serangkai orang-orang 
muda yang memimpin Partai Komunis Indonesia: Aidit, Lukman, Njoto. Njoto 
sendiri kemudian dikenal sebagai Wakil Ketua II CC PKI di samping sebagai 
seorang publisis, penyair, essais dan penulis naskah pidato Bung Karno. Di 
kantor redaksi koran Harian Rakjat Njoto menulis editorial, pojok atau kolom 
Catatan Seorang Publisis tempat dia menggunakan nama pena Iramani.
   
  Saat terjadi polemik mengenai Soekarnoisme antara Merdeka melawan Harian 
Rakjat (Koran resmi PKI), Njotolah yang menulis seluruh polemik itu dengan 
cemerlang. Para pengamat sejarah pers nasional mencatat polemik antara harian 
Merdeka dan Harian Rakjat sebagai yang terbesar dalam sejarah. Kedua belah 
pihak yang berpolemik sama –sama membukukan jalannya pertarungan pena itu.
   
  Kekuatan lain seorang Njoto adalah dayanya dalam melihat sisi baik seseorang. 
Pernah ia menyelamatkan Ernest Hemingway dari kutukan massa ketika ramai-ramai 
film Amerika diserang. Njoto menyembunyikan nama pengarang Amerika, pahlawan 
perang dunia II itu dari sebuah iklan film yang mencantumkan namanya. “Tidak 
ada yang buruk dari Hemingway karenanya ia pantas diselamatkan” kata Njoto saat 
itu.
   
  Sekitar tahun 1950, para pelukis dan penulis kiri bertemu dengan Njoto. 
Mereka berdiskusi tentang peranan seni dalam perjuangan kelas. Njoto 
menganjurkan perpaduan antara tradisi besar realisme kritis dan romantisme 
untuk membuat kesenian yang menampilkan kenyataan sosial (realisme) menuju ke 
proses perubahan revolusioner (romantisme).
   
  Piagam Lekra, juga Njoto yang menyusun. Dan Lekra menjadi begitu besar dan 
berpengaruh di bidang kebudayaan! Selama kurun waktu 15 tahun (1950-1965), 
Lekra telah menorehkan sejarah kebudayaan di Indonesia. Salah satu prestasi 
Lekra yang mencengangkan adalah mampu membawa kebudayaan sampai ke 
kampung-kampung paling kumuh dan menyatu dengan aktivitas keseharian rakyat. 
Dalam Kongres Lekra di Solo, Njoto menyatakan: “Politik itu penting sekali. 
Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati olehnya. Oleh sebab itu dalam 
hal apapun dan kapan saja pun politik harus menuntun segala kegiatan kita”. 
Demikianlah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, yang menghormati 
dan menghargai pikiran-pikiran Njoto kemudian juga menyatakan: “Kesalahan 
politik adalah lebih jahat daripada kesalahan artistik”. 
   
  Njoto dengan begitu mempunyai daya tarik sendiri bagi kalangan intelektual 
dan pekerja seni di Indonesia. Orang-orang besar berkerumun di sekitar Njoto: 
Affandi, Soedjojono, Rivai Apin, termasuk Pramoedya Ananta Toer. Bahkan ada 
kelakar waktu itu: andai saja Chairil Anwar panjang umurnya dan bertemu Njoto, 
dia akan masuk Lekra juga. Karena menurut cerita, setelah menyerahkan sajak 
‘Aku’nya kepada pusat kebudayaan Jepang, Chairil Anwar dipanggil Kempeitai: 
diinterogasi, disiksa, disuruh minum air seember dan perutnya diinjak-injak. 
Jepang menganggap sajak Chairil sebagai wakil dari pernyataan sikap ingin bebas 
dari Indonesia. Ia seorang patriot. Ke mana lagi seniman patriot itu akan 
bergerak kalau tidak bergabung dengan Lekra? 
   
  Lagi, Pramoedya Ananta Toer yang pernah mendapat perlakuan sangat buruk oleh 
militer: semua kertas kerja, naskah-naskah karya, juga perpustakaannya 
dihancurkan massa yang menyerbu, merampok apa saja yang ada sampai-sampai pohon 
mangga yang sedang sarat berbuah digoncang buahnya, bahkan  tak ada satu 
cangkir atau piring tersisa; dan rumah Pram pun tinggal bolongan kosong blong, 
pun menyatakan:  “Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru 
yang teringat adalah satu kalimat dari Njoto: “Tingkat budaya dan peradaban 
angkatan perang kita cukup rendah dan memprihatinkan, kita perlu 
meningkatkannya”.  Ia juga teringat pada kata-kata Njoto yang lain: “Kalau kau 
mendapatkan kebiadaban, jangan beri kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia 
keadilan sebagai belasan.” 
   
  Jauh sebelum dikenal sebagai tokoh PKI, Njoto juga dikenal sebagai seorang 
seniman musik. Tidak jarang ia mengisi acara musik lepas senja di studio RRI 
bersama Adikarso dan Bing Slamet. Ia pun ikut terlibat dalam pembicaraan 
tentang Genjer-Genjer. Naluri musikalitas Njoto terucap dalam kata-kata yang 
bernada meramal: “Lagu ini pasti akan segera meluas dan menjadi lagu nasional!” 
Tidak meleset memang karena sekitar setahun kemudian Genjer-Genjer telah 
terdengar di Jakarta baik melalui siaran RRI maupun tayangan TVRI dan dikenal 
sebagai lagu rakyat Banyuwangi aransemen oleh M. Arief, yang sementara itu 
telah bekerja di Seksi Musik TVRI Jakarta. Piringan hitam Genjer-Genjer 
kemudian memasuki pasaran dinyanyikan oleh Bing Slamet dalam lirik Jawa dan 
bukan Jawa-Banyuwangi. Seorang fotografer istana (yang meliput acara–acara 
kenegaraan Bung Karno pada masa itu) kerap berada di ruang tamu rumah Njoto di 
Jalan Malang, Menteng, Jakarta Pusat: “Pada hari-hari tertentu saya biasa
 datang ke rumah Njoto untuk meminjam buku atau menonton Njoto bermain musik 
dengan teman-teman masa mudanya, antara lain Jack Lesmana.” 
   
  Njoto dengan begitu memikat buat siapa saja. Kalau di istana negara 
berlangsung resepsi dan Bung Karno menutup acara dengan ber-lenso, Njoto 
meninggalkan para menteri yang duduk di sebelahnya dan menyelusup di antara 
para artis. Di tengah-tengah para penabuh alat-alat musik, dialah yang 
memainkan keyboard dan turut mengiringi penyanyi hebat kala itu, seperti  
Titiek Puspa dan Fetti Fatimah. Sebagai intelektual (Marxist), Njoto juga tak 
perlu diragukan. Jusuf Ishak, pendiri Hasta Mitra, memandang Njoto memiliki 
kelebihan dan keistimewaan tersendiri dari semua tokoh PKI yang ada. Ia adalah 
seorang pemikir intelektual tetapi tak pernah menunjukkan dirinya melebihi 
segala-galanya. Komitmennya pada semangat kerakyatan dapat dilihat dari 
kesederhanaan hidupnya. Pandangannya mengenai realitas tercermin dari 
pola-pikirnya yang mudah dipahami setiap kalangan masyarakat. Hal lain yang 
dikagumi Jusuf Ishak dari Njoto adalah kehebatannya dalam mengemas gaya bahasa 
Bung Karno,
 menempatkan diri dalam pikirannya bahkan pikiran politiknya. Selain itu ia 
juga sanggup mengkreatifkan bahasa Bung Karno, mengembangkan pikiran–pikiran 
maju berdasarkan pikiran Bung Karno itu sendiri. Dengan begitu ia berusaha 
menempatkan diri sebagai pemikir yang tidak apriori ke kiri tetapi juga sama 
sekali bukan ke garis kanan. Itulah keistimewaan Njoto. Karenanya Jusuf dapat 
mengerti bila Bung Karno pernah menjulukinya sebagai Marhaenis Sejati, suatu 
julukan yang pada zamannya tak pernah diberikan kepada tokoh-tokoh partai 
lainnya. Tesis April-nya Lenin (tentang tugas-tugas proletariat di dalam 
revolusi sekarang) pun diterjemahkan Njoto dan diterbitkan oleh Jajasan 
Pembaruan Djakarta pada 1957. 
   
  Njoto juga pernah memberikan kuliah mengenai berbagai segi Marxisme di depan 
para siswa dan undangan di Universitas Rakyat dan Universitas Indonesia. Dalam 
rangka ulang tahun Harian Rakjat yang ke XII, empat paparan kuliahnya yakni: 
Marxisme Sebagai Ilmu, Filsafat Proletariat, Ekonomi Sosialis, dan Sosialisme 
Indonesia pun dibukukan dengan judul Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Usaha 
membukukan empat paparan kuliah Njoto tadi juga didorong oleh 
permintaan–pemintaan serta pertanyaan–pertanyaan yang diterima Dewan Redaksi 
Harian Rakjat tentang berbagai permasalahan marxisme. 
   
  ***
   
  Njoto sebagai intelektual yang cerdas, dan juga disegani dan dikenal luas di 
kalangan pekerja seni jelas menunjukkan pada kita bagaimana kita para pekerja 
seni, budaya, ilmuwan dan intelektual pada umumnya tidak boleh melupakan 
kesadaran politik. 
  “Politik itu penting sekali. Jika kita menghindarinya, kita akan digilas mati 
olehnya. Oleh sebab itu dalam hal apapun dan kapan saja pun politik harus 
menuntun segala kegiatan kita”. 
   
  * (Data tulisan ini dikutip dari berbagai sumber) 
   
  ** Tedjo Priyono: Ketua Umum pjs JAKER - Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat dan 
Ketua V Bidang Budaya KP PAPERNAS Pusat - Komite Persiapan Partai Persatuan 
Pembebasan Nasional-Pusat.
   


      
http://www.geocities.com/herilatief/
  [EMAIL PROTECTED]
  http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 
  Informasi tentang KUDETA 65/Coup d'etat '65 
Klik: http://www.progind.net/   

   




 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Reply via email to