----- Original Message ----- 
From: Trikoyo
To: HKSIS
Cc: May Teo
Sent: Monday, 15 January, 2007 3:31
Subject: Fw: kalau terima harap balas sedikit.



CERPEN
DIALOG DENGAN AYAHKU PAK RAMIDJO

 Oleh :  Tri  Ramidjo



Sudah lewat tengah malam. Jam di dinding kamarku di atas komputer ini 
menunjukkan pukul 00.50 WIB. Semula aku mencoba berbaring di tempat tidurku 
mencoba untuk segera tidur, tapi entah mengapa mataku tak mau dipejamkan. 
Tak terasa air mataku meleleh dan rupanya aku menangis. Aku terkenang ayahku 
pak Ramidjo yang meninggal bukan di tanah airnya sendiri, tapi jauh di 
seberang lautan jauh dari keluarga dan sanak famili. Mengapa meninggal saja 
kok di negeri orang? Mengapa ibuku setiap hari dengan tekun berdoa menanti 
kepulangan ayahku selama lebih sepuluh tahun tanpa mengetahui kalau ayahku 
telah meninggal?

Baru akhir-akhir ini aku tahu, bahwa ayahku meninggal 24 Desember 1975 
sedang ibuku meninggal  23 Mei 1989. Jadi ibuku meninggal setelah 14 tahun 
ayahku meninggal dan sampai pada waktu ibuku meninggal pun, ibuku tak tahu, 
bahwa ayahku telah meninggal lebih dahulu.

Ibuku adalah orang yang sangat setia. Ketika ayahku diasingkan oleh 
pemerintah kolonial Hindia Belanda ke Boven Digul ibuku beserta kami 
anak-anaknya ikut ke Boven Digul. Hidup penuh derita dialami  dan dijalani 
oleh ibuku dengan penuh kesabaran. Dari tahun 1927 sampai 1940 - tiga belas 
tahun lamanya ibuku mendampingi ayahku dan di tahun 1940 tanggal 12 Juli 
ayahku menyuruh ibu dan anak-anaknya pulang ke Jawa.

Semula ibuku tidak mau pulang ke Jawa karena di Jawa sudah tidak punya 
apa-apa. Tapi ayahku mendesaknya agar segera pulang ke Jawa dengan alasan 
sebentar lagi akan terjadi perang besar, perang dunia ke 2, dan apa jadinya 
nanti anak-anak akan sangat menderita.

Ya, pulang ke Jawa, ke tempat siapa, ke rumah siapa? Rumah, tanah, pesantren 
dan lain-lain semua sudah dirayah penjajah dan semuanya sudah menjadi milik 
orang lain.

Akhirnya ibuku dan kami anak-anaknya menumpang atau ngennger di rumah embah 
Pengulu Naib Grabag Tunggulredjo, Ya, embah itu juga masih famili kami tapi 
ada jarak jauh antara ibuku yang suaminya orang buangan  dengan  embah 
Penghulu yang pegawai pemerintah kolonial Hindia Belnda.

"Tri, sedang apa kamu?"

Aku menoleh ke kiri. Aku sangat terkejut. Di sebelah kiriku berediri  sosok 
tubuh ayahku. Bulu romaku berdiri. Ada rasa takut akan hantu, tapi 
kukucek-kucek mataku. Sosok tubuh ayahku tidak menghilang.

"Tak usah takut, kau sendiri juga nanti akan mati dan seluruh tubuhmu akan 
hancur menjadi tanah. Mati itu tak perlu ditakuti semua yang hidup pasti 
akan mati. Kau menyesal 'kan,  tak bisa menerima warisanku dengan baik? 
Warisan berupa perjuangan yang belum selesai dan masih harus diselesaikan 
oleh generasi-genari selanjutnya." Kata ayahku.

 "Ya pak, aku sangat menyesal tak bisa meneruskan warisan perjuangan yang 
belum selesai ini kepada anakku sendiri. Rezim orba Suharto berhasil 
memisahkanku dengan anakku bertahun-tahun. Dan anakku begitu trauma dan 
hanya mengerti, bahwa perjuangan kakeknya dan ayahnya adalah bukan jalan 
hidup yang seharusnya ditempuh. Lihat saja, orang-orang yang dulu tidak 
pernah ikut berjuang untuk kemerdekaan negeri ini tokh lebih berhasil dalam 
menikmati hasil kemerdekaan, begitu fikitrnya pak. Tentu saja aku sangat 
malu pak, kalau anakku sampai berfikiran begitu. Bukankah bapak selalu 
mengajarkan kepada anak-anak bapak, baik itu mas No, Yu Ni, Rokhmah dan aku 
sendiri, bahwa dalam melakukan sesuatu untuk kepentiungan orang banyak kita 
tidak boleh mempunyai pamrih? Tidak boleh mengharapkan imbalan? Bukankah 
bapak selalu berkata, bahwa pada hakekatnya kita ini bukan berjuang untuk 
kepentingan orang lain tapi justru untuk kepentingan diri sendiri? Bukankah 
bapak selalu mengatakan, bahwa kalau seluruh rakyat hidupnya bahagia kita 
sendiri pun yang termasuk sebagai rakyat akan hidup bahagia? Ya, pak, aku 
sebagai  anak bapak, sangat mengerti apa yang kita perjuangkan, untuk diri 
sendiri yang berarti untuk kepentingan orang banyak dan untuk kepentingan 
orang banyak yang juga berarti untuk kepentingan diri sendiri." Kataku.

"Tri, waktu kamu masih kecil di Digul tentu masih ingat  dengan oom Syukur, 
oom Alimurdjo, oom Soelaiman, oom Soegiri, oom Hadji Djabir dan  oom-oom 
yang lain bukan? Mereka selalu memperlakukan kamu dan teman-temanmu seperti 
anak-anaknya   sendiri bukan?   Kalau ada anak-anak yang sedikit nakal saja, 
pasti oom-oom yang melihat memberi  peringatan. Dan tidak ada orang tua yang 
merasa tersinggung atau marah kalau anaknya diperingatkan oleh  orang lain 
walaupun bukan familinya. Jadi anak orang lain yang nantinya akan menjadi 
generasi penerus  adakah juga anak-anak kita dan tak ada bedanya dengan anak 
kita sendiri.  Di depan rumahmu, di bawah pohon seri itu setiap hari banyak 
anak-anak bermain di situ. Omongannya kotor-kotor, buang sampah berserakan 
di mana-mana, tidak mengerti tata-krama sopan santun, apa kamu tega 
membiarkannya begitu?  Mereka itu genersi penerus Tri dan anakmu sendiri 
tidak mau atau belum mau mewarisi  api juang yang masih kau genggam itu. 
Karena itu kumpulkan anak-anak itu di waktu senggang.  Cerita tentang 
burung bangau dan musang yang licik itu. Tapi ingat jangan ceritakan 
kelicikan dibalas dengan kelicikan. Kelicikan si musang dibalas dengan 
kebaikan hati burung bangau setelah  musang dengan susah payah menjilati 
mulut kendi tapi lidahnya tak sampai ke masakan enak di dalam kendi itu. 
Kemudian dengan baik hati burung bangau mengambil piring dan menuangkan isi 
masakan di dalam kendi itu ke piring ceper. Dengan begitu  musang bisa 
menikmati masakan itu dengan lahap dan menjadi sahabat baik si burung 
bangau. Tak ada lagi yang berbuat licik.  Ingat, jangan sekali-kali 
mengajarkan sesuatu yang jelek dengan dibalas kejelekan tapi arahkan ke 
jalan kebaikan.". kata ayahku.

Benar juga, fikirku.  Kalau kejahatan orde baru dibalas dengan kebaikan 
apakah ini adil? Kupikir-poikir kok tidak adil, ya.

Rupanya ayahku tahu jalan fikiranku dan nyeletuk "Tri,  kejahatan yang 
dilakukan Suharto dengan  orde baru dan antek-anteknya memang harus diadili 
dan dihukum. Jangan kuatir, keadilan pasti dating. Dengar ya, aku bernyanyi 
:



Darah rakyat masih berjalan,

Menderita sakit dan miskin.

Pada datangnya pembalasan,

Rakyat yang menjadi hakim

Rakyat yang menjadi hakim, hayo-hayo bersiap sekarang.

Pasanglah di tembok dan tiang, panji-panji warna merah.

Yakni warna darah rakyat.

Yakni warna darah rak.



"Nah, aku pulang Tri. Tidur, cepat tidur. Kalau terlalu banyak melek tekanan 
darahmu naik lagi. Tulis apa yang masih bisa ditulis. Cerita Digul masih 
banyak. Bukankah kamu masih ingat waktu bapak mengajakmu ke ujung kampung B, 
ke makam oom Ali Archam? Jangan  lupakan  oom Ali Archam, oom Entol Enoch 
dan lain-lain mereka-mereka yang seharusnya mendapat gelar pahlawan sebab 
mereka adalah PKI   - Perintis Kemerdekaan Indonesia."

Sunyi - sepi, dan aku memang harus segera tidur.



Tangerang, Senin 15 Januari 2007.

----------------------------------------------

Kirim email ke