Sedikit penjelasan yang dimaksud dr. Lee tulisan dibawah, tentunya adalah dr. Lie Tjwan Sien yang ditahun 60-an ber-praktek di Magga Besar. Dr. Lie ketika itu dikenal sebagai dokter-tjatjing, karena kenyataan banyak pasien-pasien yang dihadapi, tidak sedikit penyakit disebabkan si pasien tjatjingan dan berakibat lemah daya-tahan. Jadi, nyaris setiap pasien yang berobat ke dr. Lie, harus lebih dahulu periksa tahi untuk menentukan tjatjing apa didalam perut pasien. Dr. Lie adalah seorang dokter baik-baik yang dihargai penduduk sekitar, setiap harinya dibikin sibuk dan menghabiskan waktu untuk melayani pasien-pasien yang memenuhi ruang praktek dirumah.
Sebenarnya saja, dimasa itu, dr. Lie sendiri bukan seorang gerakan-politik, dr. Lie tidak aktive di BAPERKI, yang aktive hanyalah nyonya dr. Lie yang baru minggu lalu meninggal itu. Jadi, disini satu bukti nyata lagi, kesalahan kekuasan ORBA yang sangat tidak manusiawi, main tangkap, main memenjarakan orang tanpa melalui proses hukum yang benar. Menangkap orang, memenjarakan bahkan main bunuh sampai jutaan manusia tak berdosa, dan semua dilakukan tanpa lebih dahulu membuktikan kesalahan-dosa yang dilakukan. Dan, sampai sekarang setelah lewat 42 tahun, tidak ada pernyataan minta maaf, mengakui kesalahan-kesalahan yang melanggar HAM-berat dan tidak seorangpun yang bertanggungjawab bisa diseret kepedepan pengadilan. Salam, ChanCT http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=305749 Jumat, 28 Sept 2007, Para Seniman dan Sastrawan Lekra, Kehidupan Mereka Sekarang (2) Warisi Keahlian Dokter Lee untuk Nafkah Keluarga Putu Oka Sukanta hingga kini aktif sebagai sastrawan serta sudah menghasilkan banyak karya novel, cerpen, dan kumpulan puisi. Namun, saat menjalani 10 tahun hidup sebagai tapol di Lapas Salemba, dia menemukan keahlian lain yang memperkaya jalan hidupnya. NOSTAL N. SAPUTRI, Jakarta RUMAH Putu Oka Sukanta di kawasan Jalan Balai Pustaka, Rawamangun, Jakarta Timur, tidak pernah sepi. Selain menjadi tempat tinggal, rumah itu memang digunakan untuk tempat praktik akupunktur. Seperti saat Jawa Pos datang ke sana Rabu sore lalu (27/9), Putu sedang menangani dua pasien. Yakni, seorang perempuan dan laki-laki paro baya. "Maaf, tadi sudah saya tunggu. Saya minta waktu untuk menangani pasien dulu, ya," kata Putu, yang saat itu mengenakan jas putih ala dokter, kepada Jawa Pos. Tujuh kursi lipat warna merah berada di ruang tunggu berukuran sekitar 2,5 x 6 meter itu. Sebuah meja etalase tampak memajang berbagai obat herba yang dijual untuk melengkapi praktiknya. Sudah hampir 30 tahun Putu -sastrawan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)- berpraktik sebagai ahli pengobatan tusuk jarum (akupunktur). Pria kelahiran Singaraja, Bali, 68 tahun lalu itu adalah direktur Yayasan Sringanis yang, antara lain, membuka pelayanan tusuk jarum. "Saya mempraktikkan ilmu akupunktur sejak 1978 setelah keluar dari penjara," kata bapak seorang putri itu. Meski tetap dikenal sebagai penulis, Putu mengatakan bahwa hanya akupunktur yang bisa diandalkan untuk menghidupi dirinya. "Predikat ET (eks tapol, Red) membuat saya tidak bisa menjadi guru, pegawai negeri, atau bekerja di perusahaan swasta," tuturnya. Penulis novel Keringat Mutiara itu hingga sekarang mengaku belum bisa menerima perlakuan tidak adil saat dipenjara (1968-1978) di Lapas Salemba, Jakarta, tanpa proses peradilan. Namun, laki-laki yang fasih berbahasa Jerman itu beruntung di tempat itu bertemu dengan "guru" yang memberikan bekal hidup. "Saya satu sel dengan seorang keturunan Tionghoa. Dialah yang menularkan ilmu akupunktur yang dipelajari dari Korea Utara kepada saya," ujarnya mengenang. Putu menuturkan, awalnya dirinya enggan belajar. Tapi, dokter Lee Zhuan Shin, nama dokter yang sudah praktik tusuk jarum sejak 1939 itu, memaksa Putu untuk belajar. "Bagaimana saya bisa belajar, di sini (Lapas Salemba) kita kan tidak boleh membawa pensil atau buku?" katanya kepada Lee kala itu. Pertanyaan tersebut, lanjut dia, dijawab dengan ringan oleh rekan seselnya itu. "Lha, Je (kamu dalam bahasa Belanda, Red) kan punya kepala. Ik (saya) juga punya kepala. Jadi, waktu kita dikunci di sel, Je dengarkan Ik ngomong," tutur Putu, sambil memeragakan gerak tangan Lee yang menunjuk kepalanya kala itu. Proses transfer ilmu yang dilakukan secara diam-diam itu, kata Putu, dilakukan Lee selama enam bulan. Belajar ilmu akupunktur dasar biasanya memanfaatkan gambar tubuh manusia atau boneka. Tapi, karena di Lapas Salemba, Putu tidak bisa mendapatkan peralatan tersebut. Karena itu, yang digunakan sebagai alat praktik adalah teman-temannya di penjara. "Di dalam penjara kan banyak pasien. Ya, setelah belajar dari dr Lee, saya langsung mempraktikkan ke mereka. Jadi, tidak pakai boneka," bebernya. Tak hanya itu. Untuk membuat jarum akupunktur, Putu dan dr Lee pun harus memutar otak. "Kami akhirnya bikin jarum dari senar gitar karena di penjara nggak boleh membawa apa-apa," kenang penulis kumpulan puisi Tembang Jalak Bali itu. Setelah 10 tahun "praktik" di penjara, selepas dari Lapas Salemba dia bertekad untuk menjadi akupunkturis. Dia pun lantas mengurus segala perizinan. Meski akhirnya mendapatkan izin dari Departemen Kesehatan, sebagai mantan tapol, dia membutuhkan perjuangan yang berat untuk menembus ribetnya birokrasi. Putu memilih mendedikasikan hidupnya untuk pengobatan alternatif itu. Bersama sang istri Endah Lasmadiwati, pada 1992, dia membangun Taman Sringanis di Cipaku, Bogor Selatan, yang ditanami beragam tanaman obat. Saat ini di tempat itu sudah ada lebih dari 400 jenis tanaman obat, mulai sambiloto, kumis kucing, pegagan, temulawak, sere, hingga lidah buaya. Selain untuk pelengkap pengobatan akupunktur yang dialkukan, tanaman obat tersebut dijual kepada masyarakat. Banyak pengunjung yang datang ke sana menjalani terapi tradisional, seperti olahnapas, meditasi, dan membeli jamu untuk pengobatan. Putu, yang tamatan SMA itu, juga mulai menggunakan keahliannya untuk kepentingan sosial. Dia aktif membantu ODHA (orang dengan HIV/AIDS) untuk mendapatkan hidup mereka kembali. Sebagai mantan tapol yang sering disingkarkan, aktivitas dia membantu ODHA itu cocok dengan moto hidupnya, fight to be human again (berjuang menjadi manusia kembali). "HIV/AIDS itu kan penyakit politis. Banyak orang menyingkirkan ODHA. Padahal, penyakit itu sulit menular," tegasnya. Dia bersyukur karena istri dan anaknya tetap bangga kepada ayahnya, meski puluhan tahun dicap sebagai PKI dan semua kegiatannya dibatasi. Putrinya, Sarsamadia Mika, sewaktu SMP pernah diejek temannya. "Sarsa, ayahmu kan PKI," ujarnya menirukan ucapan putrinya. Namun, putrinya yang kini berusia 17 tahun itu menjawab, "Biar saja, ayahku pandai akupunktur dan dengan kemampuan itu dia bisa menolong banyak orang," tutur Putu -menirukan ucapan Sarsa- lantas tersenyum. Di sela-sela kegiatannya sebagai akupunkturis, Putu masih aktif dalam berbagai acara sastra. Termasuk menghadiri acara pembacaan cerpen dan puisi. Beberapa karya novel, kumpulan cerita pendek, serta puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan Inggris. Salah satu yang sudah dialihbahasakan adalah Keringat Mutiara . Novel itu berkisah tentang hidupnya sejak sebelum dipenjara hingga keluar dari Lapas Salemba. "Karena novel itu, saya diundang seminar di Amerika Serikat dan sempat tinggal di sana 2 bulan, yakni sekitar tahun 2000," katanya. Pengalaman lain yang juga tak dilipukan adalah saat dia mendapat beasiswa untuk belajar bahasa Jerman selama dua tahun pada 1989 di Berlin, Jerman. Di sana dia mendapat banyak inspirasi untuk puisi-puisinya saat menyaksikan runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989. Bagi Putu, seperti dunia akupunktur dan tanaman obat, menulis sastra sudah menjadi bagian dari hidupnya. "Saya punya target untuk membuat satu karya sastra setiap tahun," katanya. (*)