----- Original Message ----- 
From: S Manap
To: [EMAIL PROTECTED]
Sent: Tuesday, 12 December, 2006 2:58
Subject: [HKSIS] cerpen


   Pak Chan yb.
   Saya sudah membaca tulisan Pak Sobron Aidit, berhubungan dengan usia 
restoran mereka hampir seperempat abad. Saya mengharapkan supaya restoran 
mereka untuk masa kedepan ini sukses selalu. Untuk itu pula maka saya 
posting cerpen lama saya tentang restoran ini sebagai hiburan khususnya 
untuk Pak Sobron.
   Salam
   S.Manap

                                                                  Restoran.





        Adakalanya pengunjungnya ramai luar biasa, sampai-sampai  tidak 
cukup tempat duduk dan pengunjung  terpaksa mencari  rumah makan yang lain. 
Tapi  kadang-kadang sepi-sepi saja. Tergantung pada musim dan banyak 
sedikitnya orang yang lalu-lalang di depannya pada jam-jam makan siang atau 
makan malam. Di musim dingin tentu saja pengunjungnya banyak, karena musim 
dingin berarti musim orang bekerja dan banyak orang  yang bekerja di kantor 
atau di pabrik sekitarnya tidak sempat untuk masak sendiri makanan siangnya, 
mereka lari ke restoran untuk makan pada jam-jam istirahat siang. Demikian 
juga di malam hari, karena banyak orang  yang perlu makan-minum dengan 
segala yang sudah tersedia, pengunjung restoran menjadi melimpah-limpah. Di 
musim panas, ketika banyak kantor-kantor dan pabrik-pabrik ditutup karena 
libur musim panas, dan banyak orang bepergian ke luar negeri, tentu saja 
orang yang memerlukan makanan dari restoran berkurang drastis. Masa yang 
paling makmur adalah menjelang Hari Natal, karena banyak pemesan makan malam 
secara berombongan dalam jumlah besar yang dinamakan orang Jul bord.



     Namanya cukup mentereng, karena  menggunakan nama satu ibu kota dari 
negeri yang  kata orang letaknya jauh di Asia Tenggara.



     Menurut asal-usulnya, restoran ini sudah dibuka beberapa puluh tahun 
yang lalu. Karena  yang menjadi pemula dari restoran tersebut orang Tionghoa 
yang datang dari Indonesia, maka dia punya alasan untuk menamakan 
restorannya  Restaurang Jakarta. Nama ini tentu saja menarik perhatian bagi 
orang yang membacanya, karena belum ada restoran lain yang bermerek 
demikian.



     Pemilik restoran sudah silih berganti, menu makanannya juga sudah 
berubah-ubah. Setiap kali terjadi pergantian pemilik, berarti pula 
pergantian paling tidak sebagian dari pekerjanya, baik tukang masaknya, 
pelayan, tukang cuci piring, maupun pekerja dapur lainnya. Tapi merek 
Restaurang Jakarta  yang besar terpampang di atas pintu, tetap 
dipertahankan.



     Dalam sejarah pergantian kepemilikan yang berkali-kali itu, pernah pada 
suatu kali pemiliknya jatuh pada  Li Chung Ren, seorang Tionghoa yang 
berasal dari desa dekat Hang Zhou  propinsi Zhe Chiang (Tiongkok ). Li Chung 
Ren yang dipanggil orang Lao Li ( Li Tua=Pak Li) itu,  tidak tahu  dari mana 
asal usul nama restorannya. Dia hanya tahu mempersiapkan dan menyuguhkan 
masakan Tionghoa. Padahal tidak sedikit dari orang yang masuk ke restoran 
itu ingin tahu dan ingin mencoba rasa masakan  Indonesia, karena di atas 
pintu terpampang tulisan Restaurang Jakarta. Di sinilah sering terjadi 
kekecewaan pada pengunjung restoran Jakarta yang terletak dalam wilayah 
Stockholm Raya itu.



     Untuk menarik sebanyak mungkin  pengunjung, pernah pemiliknya mengganti 
sistem penyuguhan menu makanan. Kalau biasanya makanan di sediakan sesuai 
dengan pesanan dengan harga yang sudah ditentukan, maka sekarang diganti 
dengan sistem buffe. Dengan sistem buffe ini orang bisa bebas mengambil dan 
memilih  sendiri makanan yang sudah tersedia seberapa perlunya dengan harga 
yang sudah tertentu pula. Bagi pengunjung restoran tentu saja dengan sistem 
ini akan terasa sangat murah, hanya saja tidak bisa memilih makanan  di luar 
dari  yang sudah tersedia. Sebab, misalnya dengan harga 65 kronor saja, 
orang sudah

bisa makan sekenyang-kenyangnya. Setelah dilakukan percobaan beberapa bulan, 
pemilik Restaurang Jakarta  merasa menderita kerugian, karena  terlalu 
banyak pengunjung yang

nakal. Mereka makan  dengan membayar 65 kronor,  padahal makanan yang mereka 
pilih seharga lebih dari 100 kronor, dengan mengisi piring sepenuh-penuhnya 
dan  secara berulang-ulang.



      Atas dasar pengalaman itulah maka pemilik  terakhir dari  Restaurang 
Jakarta  kembali ke sistim lama yaitu  menyediakan makanan dengan harga 
tertentu sesuai dengan pesanan. Bersamaan dengan itu mereka mulai melakukan 
perbaikan- perbaikan dalam berbagai bidang pekerjaan. Di bidang  kebersihan 
misalnya, karena  selama ini  banyak mendapat keritik  dari para pengunjung, 
oleh pemiliknya telah  diberikan perhatian khusus. Tukang masak yang sering 
mendahak di dapur dan kedengaran dari ruang makan itu, sudah diganti dengan 
tukang masak yang  baru. Sejak itu tersebarlah kabar di sana-sini bahwa 
restoran Jakarta termasuk salah satu restoran yang bersih dan baik 
pelayanannya. Dengan memperbaiki menu makanan yang disesuaikan dengan selera 
pengunjung pada umumnya, serta memperbaiki sistim pelayanan  yang cepat, 
dipadu dengan tata  kesopanan dari para pelayannya, maka  pengunjung 
restoran kian hari kian bertambah. Dekorasi restoran,  terutama di 
tembok-tembok, juga diganti dengan yang baru dan  diatur seindah mungkin. 
Demikian pula pot-pot bunga-bungaan yang tadinya semerawut, sekarang sudah 
teratur rapi. Demi kesehatan dan menyenangkan para pengunjung yang 
kecanduan rokok, disediakan satu kamar khusus tempat merokok. Dua toalet 
yang sudah tersedia,  selalu terjaga kebersihannya, disertai  dengan 
perlengkapan seperti kertas, sabun pencuci  tangan  serta cermin berukuran 
sedang.



     Untuk publikasi, dipasanglah reklame di beberapa sudut jalan. Bersamaan 
dengan itu, kalau ada wartawan yang datang menanyakan hal ini atau hal itu, 
disuguhi makan-minum secara gratis.Sebagai imbalannya tentu saja nama 
Restaurang Jakarta dengan segala keunggulannya terpampang dalam surat kabar. 
Dengan demikian, makin terkenallah  nama Restaurang  Jakarta yang pemiliknya 
orang Tiong hua itu, makin banyak pula pengunjungnya. Keuntungan yang 
diharap-harapkan pun mulai berlimpah-limpah.



     Sistim pembayaran gaji pekerja masih sering menimbulkan rasa saling iri 
hati satu sama lain.Tentu saja gaji tertinggi jatuh pada pemiliknya (ägare) 
yang mengatur para pekerja. Berapa besarnya tidak ada orang yang tahu. Itu 
baru  gaji, di luar keuntungan setiap bulan yang diraupnya. Berikutnya gaji 
tukang masak yang memikul tugas berat dan harus bekerja cepat. Tukang masak 
yang baik harus diikat dengan diberi gaji yang tinggi. Gaji pelayan  lebih 
rendah dari tukang masak. Tapi pelayan bisa mendapat keuntungan lebih dari 
gaji setiap jamnya karena mereka mendapatkan uang tip dari para 
pengunjung.Untuk mendapatkan uang tip itulah maka para pelayan harus 
bersikap seramah mungkin terhadap pengunjung, apalagi kalau ada pengunjung 
yang  datang sekeluarga dengan membawa anak-anak.



     Dalam suasana keuntungan yang menanjak itulah terjadi kelengahan pada 
tukang masak yang selama ini terkenal cekatan dalam menunaikan tugasnya. 
Pasalnya  semangkok pangsit   (hun tun) pesanan,  yang disuguhkan kepada 
seorang pengunjung,  kurang di teliti dulu sebelum dikeluarkan dari dapur. 
Tanpa perkiraan sebelumnya, pemesan pangsit panas itu  bersuara keras: "Dalam 
mangkok ini ada lalat  besar yang sudah mati."



     Untunglah pelayan  yang menyuguhkan mangkok pangsit itu seorang  wanita 
muda yang cantik, cerdas, gesit dan tangkas pula. Segera didatanginya 
pemesan pangsit  dan dengan suara seperti berbisik  ke telinga tamunya dia 
pun  berucap: "Jangan keras-keras, nanti semua orang juga mau, sudah tidak 
ada yang lain lagi."



                                                                             
        Stockholm, 6 Januari 2006.

                                                                             
                        S:M









--------------------------------------------------------------------------------

      Stava rätt! Stava lätt! Yahoo! Mails stavkontroll tar hand om 
tryckfelen och mycket mer! Få den på http://se.mail.yahoo.com
 

Kirim email ke