Chalik Hamid <[EMAIL PROTECTED]> wrote:  From: "Chalik Hamid" <[EMAIL 
PROTECTED]>
To: "Nasional-list" <[EMAIL PROTECTED]>,
"Persaudaraan" <[EMAIL PROTECTED]>,
"heri latief" <[EMAIL PROTECTED]>,
"ChanCT" <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: SOBRON AIDIT,Sastrawan Pencari Langit
Date: Sat, 31 Mar 2007 22:54:03 +0200

    Dalam rangkan peringatan hari ke 40 wafatnya sastrawan Sobron Aidit yang 
diadakan di Diemen, Amsterdam, pada tanggal 31 Maret 2007, juga turut memberi 
kata sambutan seorang sahabat Sobron yang berdomisili di Jerman, Soeprijadi 
Tomodihardjo. Pada kesempatan ini kami sajikan pidato lengkap tersebut.     
Salam: Chalik Hamid.  =====================         SOBRON AIDIT  Sastrawan 
Pencari Langit   
              Oleh Soeprijadi Tomodihardjo   
   
  Sobron. Siapa Sobron? Pertanyaan ini menyangkut makna sebuah nama yang sangat 
jarang disandang orang lain kecuali Sobron sendiri. Ini salah satu sebab 
mengapa saya tertarik mempertanyakan. Orang  Inggris bilang "What is in a 
name?" dengan nada menampik makna, seolah di balik nama tak tersirat sebuah 
makna. Padahal begitu lahir dari kandungan Ibu, hadiah pertama yang diterima 
seorang bayi manusia dari orangtuanya adalah anugerah berupa nama. Lazimnya di 
balik nama ini tersirat sebuah makna sebagai simbol harapan orangtua agar si 
anak kelak tumbuh dewasa sebagai manusia yang punya arti dalam hidupnya, paling 
tidak bagi dirinya sendiri, syukur-syukur juga bagi sesama manusia. Kita 
mengenal epistemologi perihal asal-mulanya nama, kalaupun bukan cabang ia pasti 
merupakan ranting dari ilmu Filologi. Barangkali seorang doktor filologi 
seperti Asahan Aidit pernah mengenyam matakuliah mengenai masalah ini. Tetapi 
bukan maksud saya membahas perihal nama dari sudut filologi dalam
 pertemuan ini.  
   
  Lantas apa arti "sobron", sebuah kata yang amat langka dalam khazanah bahasa 
kita ini ?  Menurut Sobron, "sobron" berarti sabar. Sabar juga berarti  tidak 
keburu nafsu, tak mudah marah, baik terhadap kawan dekat, kawan jauh maupun 
bukan kawan. Terutama terhadap diri saya pribadi, Sobron bahkan super sabar 
karena saya tak pernah mencampuri urusan pribadinya, apalagi mencela 
perilakunya atau mengejek karya sastranya kecuali... dari belakang punggungnya. 
Namun saya yakin, Sobron tak akan marah atau tersinggung jika saya melontarkan 
kecaman di depan hidungnya.
   
  Tetapi apakah Sobron saking sabarnya lalu tak pernah marah? Marah adalah 
salah satu sifat yang melekat pada diri manusia. Tanpa itu manusia tak lebih 
dari sebongkah batu. Menurut Asahan, adik kandungnya yang sangat disayanginya, 
Sobron sebagai manusia bukan saja bisa marah tetapi kerap kali juga menaruh 
dendam, atau memendam dendam. Namun setahu saya Sobron tidak pernah membalas 
dendam. Saya banyak membaca karangan Sobron berupa prosa maupun puisi dengan 
tema dendam-kesumat berlatarbelakang politik, dan ini juga lontaran balas 
dendam meskipun hanya berupa susunan kata-kata. 
   
  Saya teringat almarhum Nyoto, seorang intelektual jenial yang saya kagumi. 
Nyoto bilang, sebagai manusia kita sering menaruh dendam kepada seseorang yang 
menghina dan melanggar kehormatan kita. Ini wajar-wajar saja, tetapi sebagai 
manusia berbudaya jangan sekali-kali kita membalas dendam, karena hal itu akan 
berarti kita melakukan kejahatan yang sama jahatnya seperti lawan kita. Tentu 
saja Nyoto berbicara dalam kerangka kehidupan bangsa di sebuah negara hukum dan 
demokrasi di mana benturan peradaban, termasuk konflik politik, seharusnya 
dapat diselesaikan melalui dialog, kalau perlu juga dengan sarana hukum tetapi 
bukan dengan kekerasan fisik apalagi perampasan nyawa dan hak-hak azasi manusia 
secara kejam dan massal seperti kelakuan orba. Nyoto hanya lupa, belum pernah 
negara kita sampai umurnya yang sudah 60 tahun ini, merupakan sebuah negara 
hukum yang  demokratis kecuali sebatas cita-cita dalam wacana formalitas 
belaka. Tragisnya, Nyoto justru menjadi korban
 keyakinannya sendiri, dilenyapkan nyawa dan jasadnya oleh lawan-lawan 
politiknya: embrio penguasa orba sekitar akhir 1965 atau awal 1966.
   
  Adapun Sobron, kendati orangnya super sabar, sebagai penyair tak urung sempat 
juga membeber puisi kasar sampai-sampai saya terkesiap membacanya. Dalam buku 
kumpulan puisinya "Mencari Langit", Sobron bilang..."Semoga kamu ditimpa buduk, 
lepra, kadal, ayan gila babi, kanker lever, kanker hati. Kalau kamu pergi ke 
hutan semoga kamu diterkam harimau!" Masya'allah...begitulah sumpah-serapah 
Sobron. Meski tak sepatah kata menyebut nama, pembaca dengan mudah bisa membuat 
tafsiran tepat, bahwa yang dimaksud Sobron tak lain adalah Suharto. "Ah 
Sobron..., penyair kok mengumbar puisi kasar, melancarkan sumpah-serapah semoga 
Suharto sak-anakbojonya, sak-cindilabangnya, turun-temurun ditimpa bencana. O 
Sobron..." Begitu kira-kira keluh-kesah saya dalam hati ketika membuka lembar 
demi lembar kumpulan puisinya, Mencari Langit.
   
  Tetapi belakangan saya sadar, sumpah-serapah dalam kumpulan puisi itu terlalu 
kecil dan simpel jika disebut balas-dendam kepada Suharto, karena cuma terbatas 
pada untaian kata-kata. Hanya dengan kata-kata Sobron bisa meronta. Hanya 
dengan kata-kata Sobron membalas dendam. Alangkah sabar sahabat saya ini. Saya 
tidak memuji puisi Sobron ini, namun sepenuhnya bisa memahami luapan amarahnya 
karena masaker dalam tragedi G30S-1965 itu menimpa banyak sanak-kadangnya, 
jutaan manusia yang tak berdosa di Tanahairnya.   
   
  Para hadirin,
   
  Berbeda dengan kebanyakan dari kita, selama hidupnya Sobron memikul beban 
berat berupa nama besar abang sulungnya, DN Aidit. Saya cukup awam untuk tak 
tahu arti harfiah perkataan "aidit". Mungkin ini berasal dari kosakata bahasa 
Arab meskipun Sobron bukan orang Arab. Saya tidak menentang rembesan kosakata  
bahasa Arab ke dalam bahasa kita, seperti juga saya tidak menentang pengaruh 
bahasa lain seperti Inggris atau Belanda dan sebagainya, yang kini nyaris tak 
terbendung lagi. Tetapi saya sangsi apakah semua itu merupakan proses 
modernisasi bahasa Indonesia. Sekarang ini saya sendiri sudah tak mudah lagi 
mengikuti karya-karya esai dalam sastra Indonesia, karena pengarangnya semakin 
gemar bersembunyi di balik terminologi akademik, asal sukar dimenegerti oleh 
pembaca, makin sukar makin tinggi nilai akademiknya. Saya khawatir, proses 
intelektualisasi bahasa kita ini justru akan membikin kabur bahkan mengubur 
identitas bahasa nasional kita. Tetapi di sini bukan tempatnya untuk
 membual perihal bahasa. 
   
  Kembali pada kata "aidit".  Bagi saya Aidit bukan hanya nama keluarga alias 
familienaam. Lebih dari itu Aidit adalah sebuah predikat yang tiba-tiba 
menjelma jadi stigma sejak bercokolnya kekuasaan orba. Predikat dan stiigma ini 
melekat di jidat Sobron Aidit,  karena Aidit otomatis berarti komunis, marxis, 
sosialis, atheis dan tentu saja.... "Gestapu-PKI"!  Stigma jenis ini akhirnya 
juga menimpa kita semua, bahkan anak-cucu kita. Sampai detik ini. Jangan-jangan 
sampai di akhir jaman...!
   
  Para hadirin, 
   
  Sampai di sini persoalannya bukan hanya menyangkut Sobron Aidit tapi juga 
kita semua, terutama Pak Kartaprawira selaku pimpinan komunitas Pembela Korban 
Tragedi 1965 yang berkedudukan di Belanda. Tetapi karena masalahnya juga 
menyangkut pelurusan sejarah, saya rasa bagi YSBI pun merupakan masalah besar 
yang perlu ditangani. Masing-masing dari kita memiliki alasan dan latarbelakang 
pribadi yang berbeda-beda terkait dengan masalah besar ini. Tetapi kita juga 
menyandang beban dan kepentingan yang sama,  yakni pemulihan hak 
kewarganegaraan Indonesia kita yang dirampas oleh penguasa orba dan menyebabkan 
kita kehilangan hak-hak sipil kita sebagai warganegara Republik Indonesia. 
   
  Saya yakin masalah inipun dengan sadar dan sabar sudah dicoba dipopulerkan 
oleh Sobron. Sobron bukan Sobron kalau kehilangan kesabaran. Dengan sabar dia 
menunggu saat yang tepat untuk pulang ke Tanahairnya, selama-lamanya. Tetapi 
dia hanya berhasil memperoleh paspor Prancis di Paris: kota yang dulu tidak 
digubrisnya. Dan dengan paspor ini dia melenggang dengan aman di Jakarta, tahun 
1993. Ketika itu sudah banyak sekali kawan-kawan yang pulang ke Indonesia. 
Siapa sih orangnya yang tidak pernah pulang sejak tahun 1965? Siapa? Mungkin 
tinggal saya... Tetapi ini bukan kebanggaan. Ini justru kecongkakan saya. Saya 
pernah bersumpah, tak akan pulang sebelum Suharto tumbang. Lha, ndilalah sampai 
sekarang Suharto belum tumbang. Buktinya Orba menjelma jadi Orbaba seperti 
tutur Pramudya Ananta Toer. Kalau tidak percaya tanyakan saja kepada Pak Umar 
Said, Pak Munandar atau Pak Ibrahim Isa. Yang terang sampai hari ini saya tidak 
pernah pulang. Kalau saya pulang sebelum Orbaba tumbang,
 barangkali saya harus menebus sumpah saya sendiri: disamber bledeg... Selain 
itu saya juga tak punya dana.
   
  Jadi, sebenarnya saya merasa iri dan malu kepada sahabat saya, Sobron. Dia 
sudah puluhan kali sambang ke Tanahairnya dan saya belum satu kalipun. Aneh 
tetapi tidak aneh. Seorang mediator Metro-Televisi di Jakarta bertanya kepada 
Sobron: "Mengapa Pak Sobron akhirnya harus pulang ke Prancis? Pulang kok ke 
Prancis! Apa Bapak bukan orang Indonesia?" Sobron berkelit, "Saya tetap orang 
Indonesia tetapi paspor saya Prancis. Saya tidak bisa menetap di Indonesia 
sebelum TAP Nr. 25 Tahun 1966 dicabut. TAP ini harus dicabut, kalau tidak, 
suatu ketika jika saya berada di Indonesia, bisa saja.. dorr!!, abis... Menurut 
TAP, komunis atau Marxis kan tidak boleh hidup di Indonesia?" 
   
  Para hadirin,
   
  Saya pribadi merasa diwakili oleh ucapan Sobron di depan Metro-Televisi di 
Jakarta. Melalui Wita dan Nita saya  menyampaikan rasa terimakasih saya kepada 
Sobron Aidit. Sayang, hingga akhir hayatnya Sobron harus mengakui kebenaran 
kata-kata bekas kawan sekamarnya, Chairil Anwar, lebih setengah abad yang lewat:
   
  kerja belum selesai
  belum apa-apa
  belum bisa memperhitungkan dua atau tiga juta nyawa  
   
  Demi menghormat almarhum sahabat saya Sobron Aidit, saya sengaja mengutip dan 
memerkosa bait-bait puisi Chairil Anwar ini.**
   
   
  Amsterdam, 31 Maret 2007.     
    



      
[EMAIL PROTECTED]
  http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 
  Informasi tentang KUDETA 65/Coup d'etat '65 
Klik: http://www.progind.net/   

   




 
---------------------------------
The fish are biting.
 Get more visitors on your site using Yahoo! Search Marketing.

Kirim email ke