sebuah tulisan dari milist tetangga. bagus di baca dan
patut di tiru

Good Governance ala Jepang

Tulisan ini tidak bertutur tentang legenda Bangsa Samurai dahulu kala; namun
berkisah tentang Jepang saat ini. Dongeng di sini berarti sesuatu yang
mengherankan bila disandingkan dengan kondisi keseharian di tanah air. Meski
Jepang bukanlah negeri dongeng yang sempurna, ada nilai-nilai kebaikan
universal terealisir yang menarik untuk disimak dan diaplikasikan di tanah
air tercinta. Tulisan ini merupakan fragmentasi keseharian saya, istri, dan
beberapa kawan dekat kami di Jepang.

Kantor pemerintahan dan pelayanan publik Anda pernah melihat sekelompok
semut? Nah, begitulah kira-kira situasi kantor pemerintahan daerah di
Jepang. Tidak ada "semut" yang diam termangu, apalagi membaca koran; seluruh
karyawan kantor senantiasa bergerak, dari saat bel mulai kerja hingga pulang
larut malam. Tak habis pikir, saya tatap dalam-dalam "semut-semut" yang
sedang bekerja tersebut; kadang kala saya curi pandang: jangan-jangan merek
a sedang
ber-internet ria seperti kebiasaan saya di kampus.
Ingin saya mengetahui makanan apa gerangan yang dikonsumsi para pegawai itu
sehingga mereka sanggup berjam-jam duduk, berkonsentrasi, dan menatap
monitor
yang bentuknya tidak berubah tersebut. Tata ruang kantor khas Jepang: mulai
pimpinan hingga staf teknis duduk pada satu ruangan yang sama - tanpa sekat;
semua bisa melihat bahwa semuanya bekerja. Satu orang membaca koran, pasti
akan ketahuan. Aksi yang bagi saya dramatis ini masih ditambah lagi dengan
aksi
lari-lari dari pimpinan ataupun staf dalam melayani masyarakat. Ya, mereka
berlari dalam arti yang sesungguhnya dan ekspresi pelayanan yang sama
seriusnya. Wajah mereka akan menatap anda dalam-dalam dengan pola serius
utuh diselingi dengan senyuman.
Saya hampir tak percaya dengan perkataan kawan saya yang mempelajari sistem
pemerintahan Jepang, bahwa gaji mereka - para "semut" tersebut - tidak bisa
dikatakan berlebihan. Sesuai dengan standard upah di Jepang. Yang saya baca
di internet, mereka memiliki kebanggaan berprofesi sebagai abdi negara;
kebanggaan yang menutupi penghasilan yang tidak berbeda dengan profesi yang
lain.

Menyandang status mahasiswa, saya mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas
dari Pemerintah Jepang. Untuk mengurus berbagai keringanan tersebut, saya
harus
mendatangi kantor kecamatan (kuyakusho) atau walikota (shiyakusho) setempat.
Beberapa dokumen harus diisi; khas Jepang: teliti namun tidak menyulitkan.
Dalam
berbagai kesempatan saya harus mengisi kolom semacam: apakah anda melakukan
pekerjaan sambilan (arubaito = part time job), apakah anak anda tinggal
bersama anda (untuk mengurus tunjangan anak), dsb. Dan dalam banyak hal,
pertanyaan-pertanya an tersebut cukup dijawab dengan lisan: ya atau tidak.
Tidak perlu surat-surat pembuktian dari "RT, RW, Kelurahan" dsb. Saya
percaya bahwa sistem yang baik selalu mensyaratkan kejujuran.
Sistem berlandaskan kejujuran akan cepat maju dan meningkat, sekaligus
sangat efisien.

Mengetahui bahwasanya saya adalah orang asing yang kurang lancar berbahasa
Jepang, saya mendapatkan "fasilitas" diantar kesana-kemari pada saat
mengurus
berbagai dokumen untuk mengajukan keringanan biaya melahirkan istri saya.
Hal ini terjadi beberapa kali.
Seorang senior saya pernah mengatakan, begitu anda masuk ke kantor
pemerintahan di Jepang, maka semua urusan akan ada (dan harus ada)
solusinya. Lain hari
saya membaca prinsip "the biggest (service) for the small" yang kurang lebih
bermakna pelayanan dan perhatian yang maksimal untuk orang-orang yang kurang
beruntung.

Pameo "kalau ada yang sulit, mengapa dipermudah" tidak saya jumpai di
Jepang. Pada suatu urusan di kantor walikota (shiyakusho) saya diminta untuk
menyerahkan surat pajak penghasilan. Saya mengatakan bahwa saya sudah
pernah, di masa yang lalu, menyerahkan surat yang sama ke bagian lain di
kantor tersebut. Saya sudah siap dan pasrah seandainya mereka menjawab bahwa
saya harus mengurus kembali surat tersebut ke kantor kecamatan sebelum saya
pindah ke kota ini. Agak tertegun sekaligus lega mendapat jawaban bahwa staf
divisi tersebut akan mendatangi divisi lain tempat saya pernah menyerahkan
dokumen pajak saya sekian bulan yang lalu. Dia akan mengkopinya dari sana .
Ambil jalan yang mudah, namun tetap mengedepankan ketelitian. Itulah yang
saya jumpai di Jepang.
Berstatus mahasiswa yang berkeluarga (baca: harus berhemat), kami sempat
terkejut melihat tagihan listrik bulanan yang melonjak hingga 10 kali lipat.
Setelah melakukan pengusutan sederhana, tahulah kami bahwa ada kesalahan
pencatatan meter listrik oleh petugas - sebuah kesalahan yang tidak umum di
negeri
ini. Segera saat itu pula saya telpon perusaah listrik wilayah Kansai untuk
mengkonfirmasikan kesalahan tersebut. Berkali-kali kata sumimasen (yang bisa
pula
berarti maaf) keluar dari mulut operator telepon. Saya menganggapnya sudah
selesai, karena operator berjanji untuk segera melakukan tindak lanjut.
Belum berapa lama meletakkan tas di laboratorium pagi itu, istri menelpon
dari rumah perihal kedatangan petugas listrik untuk meminta maaf dan menarik
slip tagihan. Setibanya di rumah malam harinya, baru tahulah saya bahwa yang
datang bukanlah sekelas petugas lapangan (dari kartu nama yang
ditinggalkannya) dan tahulah saya bahwa dia tidak sekedar meminta maaf,
karena bingkisan berisi sabun dan shampo merk cukup terkenal menyertai kartu
nama petugas tersebut. Saya hanya berharap, waktu itu, bahwa petugas
pencatat yang keliru tidak akan bunuh diri. Karena kekeliruan dalam bekerja,
secara umum, menyangkut kehormatan di negara ini.

Saya mengetahui dari sebuah perusahaan penyalur tenaga
kerja di Jepang akan sebuah paradigma "Bila anda datang ke kantor pada pukul
09.00 (jam resmi masuk kantor di Jepang) dan pulang pada pukul 17.00 (jam
resmi pulang kantor di Jepang), maka atasan dan kawan-kawan anda akan
mengatakan bahwa anda tidak memiliki niat bekerja". Saya membuktikan pameo
tersebut, karena setiap hari saya bersepeda melintasi kantor walikota
(shiyakusho) . Sebagian besar lampu di kantor itu masih menyala hingga pukul
20.00. Dan
beberapa kali saya jumpai staf kantor tersebut memasuki stasiun kereta, juga
sekitar pukul 20.00. Hal ini berarti, mereka semua memiliki niat bekerja -
versi Jepang.

Pasar, pertunjukan kejujuran dan perhatian Suatu kali pernah kami membeli
sebungkus buah-buahan dengan bandrol murah; favorit bagi kalangan mahasiswa
asing seperti saya. Saya sudah mengetahui bahwa ada sedikit cacat (gores
atau bekas benturan) pada permukaan beberapa buah-buahan - sesuai dengan
harga
murah yang disematkan padanya. Pada saat kami hendak membayar buah tersebut,
penjual buah buru-buru menerangkan dan menunjuk-nunjuk kondisi sedikit cacat
pada beberapa buah-buahan tersebut, dan kembali memastikan niat kami
membelinya. Sembari tersenyum, tentu saja kami mengatakan "daijobu" (tidak
apa-apa),
karena kami sudah melihatnya dari awal. Beberapa kawan kami mengiyakan pada
saat kami menceritakan kejadian yang bagi kami cukup mengherankan ini; ini
berarti sikap jujur tersebut tidak dimonopoli oleh satu-dua pedagang. Mereka
mengerti betul bahwa kejujuran adalah prasyarat utama keberhasilan dalam
berdagang. Tidak perlu meraup untung sesaat dalam jumlah besar, bila
nantinya akan kehilangan pelanggan.

Hingga hari ini, pada saat bertransaksi di kasir, kami selalu menerima uang
kembalian dalam jumlah yang utuh - sesuai dengan yang tertera pada slip
pembayaran. Tidak kurang, meski hanya satu yen (mata uang terkecil di
Jepang). Tidak ada "pemaksaan" untuk menerima permen sebagai pengganti
nominal tertentu. Selain kagum dengan praktek berdagang yang baik ini, kami
sekaligus kagum dengan sistem perbankan Jepang yang mampu menyediakan uang
recehan untuk pedagang dan vending machine (mesin penjual otomatis) di
se-antero Jepang. Meski bagi sebagian kalangan, uang kembalian terlihat
"sepele"; hal ini bisa menyebabkan ketidakikhlasan pembeli terhadap
transaksi jual-beli.

Istri saya selalu berbelanja bersama anak-anak; dan karena "keriangan"
anak-anak, pada beberapa kasus, pak telur atau buah-buahan bisa meluncur ke
lantai. Dua kali terjadi beberapa telur dalam satu pak pecah akibat
keriangan anak-anak, dan satu kali melibatkan buah yang mudah penyok. Pada
semua kejadian tersebut, petugas supermarket melihat dan segera mengganti
barang-barang tersebut dengan yang baru. Padahal kami datang dengan wajah
lelah dan pasrah untuk
membayarnya, karena kami menyadari benar bahwa ini adalah kelalaian kami.
Bahkan pada satu kasus, barang tersebut sudah dibayar istri saya. Pada saat
kami
menerangkan bahwa ini semua ketidaksengajaan anak-anak kami, dengan ramah
petugas supermarket menyahut "daijobu yo" (tidak apa-apa).

Pada saat berkesempatan mengunjungi sebuah negara lain di Asia untuk sebuah
konferensi, saya baru menyadari keramahtamahan petugas supermarket di
Jepang. Di
Jepang, bila anda menanyakan keberadaan sebuah barang, maka petugas tidak
sekedar memberi arah petunjuk pada anda, namun dia akan mengantarkan anda
hingga berjumpa dengan barang yang dicari; dan petugas baru akan
meninggalkan anda setelah memastikan bahwa everything is ok.

Hal ini tidak berarti bahwa jumlah petugas supermarket di Jepang demikian
banyaknya hingga mereka berkesempatan jalan-jalan di dalam supermarket yang
sangat besar; justru sebaliknya, jumlah petugas selalu sesuai benar dengan
kebutuhan, dan mereka selalu bergerak - seperti semut. Di sebuah toko
elektronik,
seorang petugas yang menjelaskan spesifikasi komputer yang anda tanyai
adalah juga kasir tempat anda membayar serta petugas yang melakukan packing
akhir
terhadap komputer yang anda beli.

Polisi, sistem yang bekerja dan melindungi Kami sempat terheran-heran
manakala pertama menginjakkan kaki di Kobe demi melihat postur polisi dan
kendaraannya yang tidak lebih gagah dibandingkan dengan petugas pos di
Indonesia . Benar, ini bukan metafora.

Memang ada pula polisi di tingkat prefecture (propinsi) yang gagah
mengendarai motor besar bak Chip - ini jumlahnya sedikit. Namun polisi kota
besar
seukuran Kobe - salah satu kota metropolis di Jepang, posturnya tidak
segagah polisi yang sering saya jumpai di jalan-jalan Republik. Anda tentu
menganggap saya sedang bergurau bila saya mengatakan bahwa motor polisi di
Kota Kobe dan Ashiya serupa benar dengan bebek terbang tahun 70-an. Saya
tidak bergurau.

Ini Kobe dan Ashiya, dua kota di negara macan ekonomi dunia. Bebek terbang
tersebut dilengkapi dengan boks besi di bagian belakang - mirip dengan
petugas
pengantaran barang kiriman. Namun, sekali bapak atau mbak polisi ini
menghentikan kendaraan, tidak pernah saya melihat ada diantaranya yang
berusaha lari. Tidak ada gunanya lari di negara dengan sistem network yang
sangat baik ini. Ke mana pun anda lari, kesitu pula polisi dengan uniform
yang serupa akan menghampiri anda. Pelan namun pasti. Saya akhirnya mafhum,
bahwa polisi di sini lebih pada fungsi kontrol dan pengambilan keputusan
(decision maker) - kedua fungsi ini memang tidak mensyaratkan badan yang
harus berotot dan berisi. Tak heran saya melihat mas-mas polisi muda
berkacamata melakukan patroli dengan bebek terbangnya. Mereka hanya perlu
melihat, mengawasi, dan mengambil keputusan. Selebihnya, sistem yang akan
bekerja.

Lingkungan hidup dan transportasi
Jepang bukanlah negara dengan penduduk kecil. Populasi negara ini hampir
separuh populasi Republik tercinta.Di sisi lain, wilayah negara ini
didominasi oleh
pegunungan yang sulit untuk dihuni. Pegunungan yang tetap hijau, membuat
saya menduga bahwa Pemerintah Jepang memang sengaja membiarkan kehijauan
melekat
pada daerah pegunungan tersebut. Tokyo adalah kota besar dengan jumlah
penduduk terbesar se-dunia, mengalahkan New York dan berbagai kota besar di
mancanegara. Besarnya penduduk, sempitnya dataran yang bisa dihuni, dan
tingginya tingkat ekonomi mensiratkan dua hal: kerapian dan kebersihan.

Anda akan sangat kesulitan menjumpai sampah anthrophogenik (akibat aktivitas
manusia) di jalan-jalan di Jepang. Kemana mata anda memandang,
maka kesitulah anda akan tertumbuk pada situasi yang bersih dan rapi. Orang
Jepang meletakkan sepatu/alas kaki dengan tangan, bukan dengan kaki ataupun
dilempar begitu saja. Mereka menyadari bahwa ruang (space) yang mereka
miliki tidak luas, sehingga semuanya harus rapi dan tertata. Sepatu dan alas
kaki diletakkan dengan posisi yang siap untuk digunakan pada saat kita
keluar ruangan. Hal ini sesuai dengan karakteristik mereka yang senantiasa
well-prepared dalam berbagai hal.
Kadang saya menjumpai kondisi yang ekstrim; seorang pasien yang sedang
menunggu giliran di depan saya berbicara dan menggerakkan anggota tubuhnya
sendiri.

Saya tahu bahwa ruang periksa di hadapan kami bukan ditempati psikiater
ataupun neurophysicist. Belakangan saya tahu dari kawan yang belajar di
bidang
kedokteran, boleh jadi pasien tersebut sedang mempersiapkan dialog dengan
dokternya.

Transportasi di Jepang didominasi oleh angkutan publik, baik bus, kereta
(lokal, ekspres, super ekspres), shinkansen, dan pesawat terbang (antar
wilayah). Baiknya sistem dan sarana transportasi di Jepang membuat anda
tidak perlu berkeinginan untuk memiliki kendaraan sendiri - kecuali bila
anda tinggal
di country-side yang tidak memiliki banyak alat transportasi umum. Kereta
dan shinkansen (kereta antar kota super ekspres) mendominasi moda
transportasi di
Jepang. Sebuah sumber yang saya ingat menyebutkan bahwa kepadatan lalu
lintas kereta di Jepang adalah yang tertinggi di dunia. Di Jepang, kereta
dan
shinkansen digerakkan menggunakan listrik. Hal ini tidak menyebabkan polusi
udara di perkotaan, karena listrik diproduksi terpusat. PLTN sebagai salah
satu
sumber pemasok utama energi listrik di Jepang, tentu saja, juga
berkontribusi pada rendahnya polusi udara karena, praktis, PLTN tidak
mengemisikan CO2.

Nasehat "tengoklah duru kiri dan kanan sebelum menyeberang jalan" mungkin
tidak sangat penting untuk diterapkan bila anda menyeberang di tempat yang
telah
disediakan di Jepang. Anda cukup menunggu lambang pejalan kaki berubah warna
menjadi hijau; insya Allah anda akan selamat sampai ke seberang - tanpa
perlu
menengok kiri dan kanan. Saat berkesempatan mengunjungi kota besar lain di
Asia, kebiasaan menyeberang ala Jepang sempat membuat saya hampir
terserempet motor; lampu hijau saja ternyata tidaklah cukup di kota ini.

Kesehatan dan rumah sakit

Jepang mengerti benar bahwa orang-orang yang sehatlah yang lebih mampu
memajukan bangsa dan negaranya. Mahasiswa di tempat saya belajar, Kobe
University ,
wajib melakukan pemeriksaan kesehatan (gratis) setahun sekali. Fasilitas
kesehatan di Jepang mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah. Sebagai
orang
asing, mahasiswa pula, kami dianjurkan untuk mengikuti program asuransi
nasional. Dengan mengikuti program ini, kami hanya perlu membayar 30% dari
biaya berobat.Dari yang 30% tersebut, sebagai mahasiswa asing, saya akan
mendapatkan tambahan potongan sebesar 80% (yang belakangan turun menjadi
35%) dari Kementrian

Pendidikan Jepang.

Berstatuskan mahasiswa, kami membayar premi asuransi per-bulan yang jauh
lebih kecil dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dari laporan rutin yang
dikirimkan
oleh pihak asuransi kepada kami, tahulah saya bahwa ongkos berobat kami
selalu (jauh) lebih besar dari premi asuransi yang saya bayarkan setiap
bulannya.
Berbekal kartu asuransi nasional, datang ke rumah sakit ataupun ke klinik
swasta bukan lagi menjadi hal yang menakutkan bagi keluarga kami di Jepang.

Jangan membayangkan bahwa pihak rumah sakit atau klinik swasta akan
memberikan perlakuan yang berbeda kepada para pemegang kartu asuransi -
apalagi untuk
kami yang mendapatkan kartu tambahan khusus keluarga tidak mampu. Para
dokter dan perawat melayani dengan keramahan yang tidak berkurang serta
prosedur yang
sama sederhananya. Keramahan di sini berarti keramahan yang
sebenar-benarnya.

Baik anda kaya ataupun miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit di
Jepang adalah sama mudahnya. Saat istri melahirkan di rumah sakit pemerintah
di Ashiya, saya disodori formulir yang berisi opsi pembayaran: tunai, lewat
bank, dll. Tidak menjadi sebuah keharusan bagi seorang pasien untuk
menyelesaikan kewajiban pembayaran di hari dia harus keluar dari rumah
sakit.
Alhamdulillah kami mendapatkan keringanan biaya melahirkan dari Pemerintah
Kota Ashiya; selain bisa melenggang dari rumah sakit tanpa bayar pada hari
itu,
tagihan dari Kantor Walikota (setelah dipotong subsidi dari pemerintah) juga
baru datang dua bulan kemudian.
Saling percaya adalah kuncinya.

Yuli Setyo Indartono
Mahasiswa S3 di Graduate School of Science and
Technology, Kobe University , Japan .



--
Create U'r Business
Click http://arifhidayat.com

Reply via email to