IDUL ADHA, MENGAPA BEDA (LAGI) ?

Pemerintah telah menetapkan Idul Adha jatuh pada 31 Desember 2006.
Sedang Arab Saudi merayakannya sehari sebelumnya, 30 Desember 2006.
Dijelaskan Dirjen Bimas Islam Depag, Nasaruddin Umar, hal itu
dikarenakan bulan lebih dulu muncul di wilayah Arab Saudi. Meski
secara hitungan, waktu Indonesia lebih dulu 4 jam dibanding Arab
Saudi, namun Indonesia menggelar Idul Adha lebih lambat dibandingkan
Arab karena sudah berdasarkan rukyat yang disepakati (detik.com).

Terus terang ini adalah kebijakan resmi pemerintah yang janggal. Idul
Adha sangat berkaitan erat dengan rangkaian ritual ibadah haji yang
sedang ditunaikan oleh para jamaah haji di tanah suci. Pelaksanaan
wukuf di Arafah yang jatuh pada 9 Dzulhijjah ditetapkan pemerintah
Saudi bertepatan dengan hari Jumat, 29 Desember 2006, lalu esoknya
pada 10 Dzulhijjah atau  bertepatan dengan hari Sabtu, 30 Desember
2006, adalah hari raya Idul Adha.

Jika penetapannya berbeda seperti ini, maka yang terjadi adalah kaum
muslimin di Indonesia akan melakukan puasa "Arafah" pada Sabtu, 30
Desember 2006, padahal saat itu para jamaah haji (yang sebagian juga
berasal dari Indonesia) sebenarnya sudah meninggalkan Arafah?
Pertanyaannya, bukankah pensyariatan puasa sunnah Arafah bagi kaum
muslimin adalah untuk menghormat para jamaah haji yang sedang wukuf di
Arafah? Dan ketika kita sholat ied pada hari Minggu, 31 Desember 2006,
sesunngguhnya itu bertepatan dengan hari tasyriq. Dimana logika yang
bisa menjelaskan masalah ini?

Penentuan Idul Adha Menurut Syara' 

Pelaksanaan Idul Adha wajib dilakukan secara serentak dalam hari yang
sama oleh segenap kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Kewajiban
tersebut ditentukan berdasarkan berbagai dalil syar'i, di antaranya : 

1. Hadits Rasulullah SAW : 

"Idul Fitri adalah hari saat umat manusia berbuka, dan Idul Adha
adalah hari ketika umat manusia menyembelih kurbannya." 
(HR. Tirmidzi dari `Aisyah ra). 

Selain itu Imam Tirmidzi juga meriwayatkan hadits Nabi SAW dengan
lafadz berbeda : 
"Berpuasa (Ramadlan) adalah saat mereka berpuasa, Idul fitri adalah
saat mereka berbuka, dan Idul Adha adalah saat mereka menyembelih
(hewan kurban)."
(HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah ra) 

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perayaan Idul Adha dilakukan
pada saat (jamaah haji) melakukan penyembelihan hewan kurban
(berkurban), tanggal 10 Dzulhijah, yaitu sehari setelah mereka wukuf
di Arafah, bukan hari yang lain. 

Dalam hal ini Ummul Mukminin `Aisyah ra mengatakan : 
"Bahwa hari Arafah (yaitu tanggal 9 Dzulhijjah) itu adalah hari yang
telah ditetapkan oleh Imam (Khalifah), dan hari berkurban itu ada-lah
saat Imam menyembelih kurban." 
(HR. Thabrani dalam kitab al-Ausath, dengan sanad hasan). 

Ini lebih menegaskan lagi bahwasanya penetapan hari (wukuf) di Arafah,
dan Idul Adha (yaumul hadyi) diputuskan oleh Khalifah kaum muslimin,
yang berlaku serentak untuk seluruh kaum muslimin di negeri mana pun,
baik mereka tinggal di negeri Hijaz, Mesir, Suriah, Turki, Irak,
Pakistan, Uzbekistan, atau pun di Indonesia. 

2. Hadits yang berasal dari Husain bin Harits Al Jadali, yang
menyampaikan : 

"Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah, yakni Al Harits bin Hathib)
berkhutbah dan menyatakan : `Rasulullah SAW berpesan pada kami (para
wali Makkah) agar memulai manasik (haji) berdasarkan ru`yat. Apabila
kami tidak melihat (ru`yat)nya, sementara ada dua orang yang adil
menyaksikan (munculnya hilal) maka kami harus memulai manasik dengan
kesaksian dua orang tersebut." 
(HR. Abu Daud). 

Perkataan Amir Mekkah Al Harits bin Hathib "ahida ilainaa Rasulullah
SAW  an nansuka lirru'yah,"  (Rasulullah saw. telah berpesan pada kami
agar menjalankan manasik haji berdasarkan ru'yah) dikemukakan dalam
kedudukannya sebagai Amir Mekkah (ia menduduki jabatan tersebut pada
masa kekhilafahan Abdullah bin Azzubair, kekhilafahan Abdull Malik bin
Marwan, dan sesudahnya). Hal ini berarti bahwa pesan (al `ahdu) itu
adalah dari Rasulullah bagi orang seperti dirinya selaku Amir Mekkah.
Adalah Attaab bin Usaid yang bertindak sebagai Amir Mekkah pada masa
Rasulullah. Sehingga, kandungan pesan Rasulullah SAW tersebut tertuju
untuk Amir Mekkah, bukan untuk kaum muslimin secara umum. Sebab, kata
al `ahdu dalam konteks ini bermakna suatu yang diwasiatkan Rasulullah
kepada amir atau wali Mekkah ketika Nabi SAW mengangkatnya sebagai
wali di sana. Dalam Kamus Lisaanul Arab, juz 3 halaman 311,
disebutkan: " Dan pesan (al `ahdu) adalah suatu yang ditetapkan bagi
para wali; al `ahdu merupakan pecahan kata -musytaq- dari `ahida,
jamaknya `uhuudun. Wa qod `ahida ilaihi `ahdan (sungguh dia telah
menyampaikan pesan kepada-nya). Dikatakan pula dalam kitab itu: "
`ahida ilayya fii kadza (dia menyampaikan pesan kepadaku dalam hal
anu), artinya adalah aushaani (dia berwasiat kepadaku).
 
Adapun sabda Nabi SAW "an nansuka lirru'yah" maksud-nya adalah agar
kami menyembelih kurban pada yaumun nahar, atau agar kami menunaikan
syiar-syiar haji, setelah terbukti adanya ru'yah. Hal ini karena,
sekali pun bahasa Arab menggunakan kata nusuk dalam arti ibadah dan
setiap aktivitas penghambaan diri kepada Allah, akan tetapi syara',
sebagaimana ditunjukkan dalam banyak nash baik dalam al Quran maupun
sunnah, telah menggunakannya dengan arti (untuk) manasik haji. Jadi,
kata nusuk memiliki makna syar'i yang relatif berbeda dengan makna
lughawinya. 

Wajib Mengikuti Pengumuman Hari Wukuf oleh Penguasa Kota Mekkah 

Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bah-wa pada masa itu
Amir Mekkah-lah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari
wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhah, bermalam di Muzdalifah, melempar
Jumrah, dan seterusnya. Dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota
Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah),
pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian
manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya
harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari
penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan
keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah. 

Maka, tidak diperbolehkan kaum muslimin menjalankan puasa sunat pada
hari tatkala jamaah haji tengah melempar jumrah dan menyembelih
kurban, karena hari itulah hari Idul Adha. Sebab, berpuasa pada hari
itu serta hari tasyriq haram hukumnya. Apa yang dilakukan oleh
kebanyakan kaum muslimin di Indonesia yang tahun lalu berbeda
penetapan jatuhnya Idul Adha (sehari lebih lambat) adalah suatu yang
salah. Perbedaan waktu di Indonesia dengan di Arafah hanya terpaut
sekitar 4 jam saja, tidak sampai 24 jam (1 hari). 

Dari paparan di atas jelaslah bahwasanya penetapan Idul Adha ditempuh
melalui cara ru`yatul hilal yang yang disahkan oleh Amir Mekkah atau
penguasa yang mengelola kota Mekkah. Hal ini juga menunjukkan bahwa
jatuhnya hari raya Idul Adha itu harus sama dan serentak di setiap
negeri kaum muslimin, mengikuti penetapan jatuhnya Yaumun Nahar
(sehari setelah wukuf Arafah) yang dijalankan oleh jamaah haji di
tanah suci. Apabila terdapat perbedaan jatuhnya hari Arafah, begitu
pula hari raya Idul Adha seperti terjadi di Indonesia tahun ini,
dengan yang dilakukan oleh jamaah haji, lalu atas dasar syariat siapa
dan argumen apa kaum muslimin di sini merayakan Idul Adha?
 
Oleh karena itu, kaum muslimin di Indonesia tidak boleh membedakan
diri dalam merayakan hari raya Islamnya dari kaum muslimin di
negeri-negeri mereka lainnya, seperti halnya seluruh negeri-negeri
Islam yang lain mengikuti hari ke-10 bulan Dzulhijjah berdasarkan
ru`yat negeri Hijaz sebagai hari raya Idul Adha mereka. Mereka
beraklamasi untuk menjalankan Idul Adha berdasarkan satu ru`yat, sama
hari-nya dengan yang dijalankan oleh jamaah haji di tanah suci. 

Lalu mengapa Indonesia pada tahun ini begitu berani membedakan diri?
Apakah Indonesia hendak menjadi negeri pertama yang membuat kebiasaan
buruk (sunnatan sayyiatan) dalam Islam. Tentu dosa perbuatan itu harus
ditanggung oleh para ulama dan penguasanya yang membiarkan hal ini
terjadi, padahal mereka mampu mengubahnya sekaligus mengikuti hari
raya Idul Adha sebagaimana yang dirayakan oleh jamaah haji di tanah suci? 

Penutup

Pemerintah Arab Saudi sebagai pengelola kota Mekkah dan rangkaian
ibadah haji telah menetapkan wukuf jatuh pada Jumat, 29 Desember 2006,
sehingga Idul Adha jatuh pada esoknya, Sabtu tanggal 30 Desember 2006. 

Kita berharap kaum musimin di seluruh dunia merayakan hariraya Idul
Adha tahun ini pada hari dan tanggal yang sama. Sebab Allah SWT
memerintahkan kita untuk senantiasa bersatu dalam agamaNya dan tidak
bercerai-berai (QS. Ali Imran 103). 

Wallahu a'lam! 
M. Ihsan Abdul Djalil



Reply via email to