SUARA PEMBARUAN DAILY
--------------------------------------------------------------------------------

Imlek Perayaan Agama atau Budaya?
Oleh Benny G Setiono

ada 18 Februari 2007 masyarakat Tionghoa di Indonesia kembali akan merayakan 
Tahun Baru Imlek 2558 secara terbuka dan meriah, yang pada masa rezim Orde 
Baru mustahil dilakukan karena adanya larangan dari pihak penguasa yang 
sangat otoriter dan represif.

Seiring dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan berlangsungnya reformasi maka 
saat ini hampir seluruh peraturan yang mendiskriminasi etnis Tionghoa, 
termasuk kesempatan untuk menjadi presiden dan pelarangan ritual 
kepercayaan, agama, tradisi, bahasa, dan aksara Tionghoa boleh dikatakan 
hampir seluruhnya telah dieliminasi.

Yang tersisa adalah peraturan-peraturan dalam Staatsblad yang mengatur 
Catatan Sipil yang mudah-mudahan dengan Undang-undang mengenai Administrasi 
Kependudukan yang RUU-nya sedang digodok di DPR akan lenyap untuk 
selama-lamanya.

Selaras dengan dihapuskannya pelarangan-pelarangan tersebut, Tahun Baru 
Imlek yang telah dinyatakan sebagai hari libur nasional dengan sendirinya 
bebas untuk dirayakan secara terbuka.

Tahun Baru Imlek yang semasa Orde Baru dijauhi dan dianggap haram oleh 
sebagian kalangan masyarakat Tionghoa karena takut kepada penguasa, sekarang 
telah menjadi bahan rebutan dan klaim-klaiman dari sebagian kalangan 
Tionghoa tersebut.

Imlek bagi sekelompok "tokoh" Tionghoa tersebut telah menjadi komoditi yang 
perlu dikuasai. Argumentasi kelompok ini perayaan Imlek adalah perayaan 
budaya yang menjadi milik seluruh masyarakat Tionghoa dan bukan milik 
sekelompok Tionghoa saja.

Di sisi lain bagi Matakin (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) yang 
mewadahi umat Khonghucu di Indonesia, Tahun Baru Imlek adalah puncak dari 
ritual keyakinannya, namun walau begitu mereka tentunya tidak berhak untuk 
mengklaim bahwa Tahun Baru Imlek hanya milik umat Khonghucu saja dan memang 
selama ini belum pernah ada pernyataan yang berisi klaim tersebut.

Dengan jujur kita harus mengakui bahwa karena keyakinannya, di masa rezim 
Orde Baru umat Khonghucu tetap konsisten merayakan Tahun Baru Imlek dengan 
ritual Sembahyang Tahun Baru, Sembahyang Tuhan Allah, Capgomeh dan 
sembahyang ke litang-litang atau kelenteng-kelenteng.

Keluarga umat Khonghucu tetap menyambut Tahun Baru Imlek dengan berpakain 
baru, makan bersama, saling mengucapkan selamat dan membagi angpao.

Yang menjadi masalah bagi sekelompok "tokoh" Tionghoa tersebut mereka 
penasaran dan tidak merasa nyaman bahwa perayaan Imlek nasional yang 
diselenggarakan umat Khonghucu yang pada umumnya kalangan peranakan menengah 
ke bawah setiap tahun dihadiri oleh presiden yang dimulai oleh Presiden 
Abdurrahman Wahid kemudian diteruskan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri 
dan terakhir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.


Penghapusan Pelarangan

Di setiap perayaan Imlek itulah presiden-presiden tersebut mengeluarkan 
pernyataan yang menyangkut penghapusan pelarangan-pelarangan terhadap 
tradisi, agama, dan budaya Tionghoa di Indonesia. Presiden Yudhoyono pada 
saat menghadiri perayaan Imlek 2006 menyatakan bahwa Khonghucu adalah agama 
yang sah di Indonesia.

Sebagian golongan yang merasa tidak nyaman itu juga lupa atau tidak 
menyadari bahwa presiden-presiden tersebut menghadiri perayaan Imlek yang 
diselenggarakan Matakin seperti juga menghadi- ri perayaan Natal, Waisak dan 
Galungan.

Apakah presiden pernah menghadiri perayaan tahun baru Masehi atau tahun baru 
internasional (Gregorian)? Apakah perayaan Natal yang diselenggarakan oleh 
gabungan umat Kristen/Katolik yang dihadiri Presiden hanya satu-satunya 
perayaan Natal yang diselenggarakan umat Kristen/Katolik?

Tahun ini sekelompok golongan itu berusaha membuat perayaan tandingan dan 
berusaha mengundang Presiden Yudhoyono untuk menghadirinya, padahal dalam 
setiap perayaan Imlek yang diselenggarakan Matakin wajah-wajah merekalah 
yang muncul di media masa.

Kalau tujuannya memang mau merayakan Imlek, rayakan saja dan tidak usah iri 
kalau Presiden menghadiri perayaan Imlek yang diselenggarakan umat 
Khonghucu. Sekali lagi kalau memang mau merayakan Imlek, rayakan saja dengan 
atau tanpa kehadiran Presiden.

Sungguh ironis sekali ketika Imlek sekarang telah menjadi hari libur 
nasional dan bebas dirayakan, malah ditebarkan bibit perpecahan di kalangan 
masyarakat Tionghoa karena memperebutkan kehadiran Presiden! Numpang Tanya, 
ketika Imlek dilarang di manakah mereka?

Imlek seperti juga Natal, Tahun Baru, dan Idul Fitri sekarang telah menjadi 
komoditi bisnis. Toko-toko, mal, restoran, café, media massa baik cetak 
maupun elektronik berlomba-lomba menjual produknya.

Di samping itu banyak keluarga Tionghoa yang beragama baik itu Kristen, 
Katolik, dan Budha, sekarang juga telah kembali merayakan Imlek dengan makan 
bersama, membakar kembang api dan membagikan angpao tanpa melakukan 
sembahyang Tahun Baru tentunya.


Seluruh Masyarakat

Jadi memang Imlek di samping dirayakan oleh umat Khonghucu sebagai ritual 
agama sekarang telah kembali menjadi milik seluruh masyarakat Tionghoa di 
Indonesia. Di daratan Tiongkok sendiri Imlek dirayakan dengan luar biasa 
meriah sebagai pesta menyambut musim semi.

Demikian juga di Korea dan Jepang dirayakan sebagai Lunar New Year. Di 
Vietnam dirayakan sebagai Tahun Baru Tet. Imlek tahun ini didahului dengan 
berbagai bencana yang menimpa negeri kita. Gempa bumi, tsunami, banjir 
bandang, longsor, tragedi Lumpur Lapindo, dan puncaknya banjir besar yang 
merendam hampir seluruh Jakarta.

Berjuta-juta rakyat Indonesia hidup menderita, kedinginan, kelaparan, 
kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan, dan anak-anak ke- hilangan 
kesempatan untuk ber- sekolah. Daripada uang bermiliar-miliar dihamburkan 
untuk rebutan perayaan Imlek, lebih baik kalau uang tersebut disumbangkan 
untuk korban bencana tersebut sebagai bentuk peduli dan empati kita sebagai 
sesama anak bangsa.

Marilah kita rayakan Imlek dengan sederhana dan penuh keprihatinan sebagai 
momen mawas diri dan bukan untuk pesta-pesta menghambur-hamburkan uang di 
tengah-tengah penderitaan sebagian besar rakyat kita.

Janganlah kita menyakiti hati rakyat yang sedang menderita! Marilah kita 
rayakan Imlek sebagai momen untuk persatuan bangsa terutama di kalangan 
masyarakat Tionghoa dan bukan menjadi sumber perpecahan!


Penulis adalah pengamat politik dan sosial



--------------------------------------------------------------------------------
Last modified: 14/2/07 

Reply via email to