Balada Jenderal-Jenderal Pur Aboeprijadi Santoso
Politik tidak mengenal pensiun, tapi para pensiunan gemar berpolitik - apalagi para jendral purnawirawan untuk mudahnya, sebutlah "jenderal-jenderal pur" - yang tersisih sejak jatuhnya Jenderal Besar Soeharto hampir satu dasawarsa lalu. Baru baru ini mereka menggeliat lagi, kali ini untuk menyiapkan capres dan menggulir-kan isu cabut mandat pemerintahan SBY. Mereka membonceng peringatan Malari dan memanfaatkan kumpulan yang menyebut diri "Dewan Revolusi". Tapi mereka dikejutkan oleh kelompok jenderal pensiunan yang tengah berkuasa, yang segera menuding mereka dengan isu "Dewan Revolusi" tadi. Inilah cerita terbaru Orde Baru versus Orde Baru. Ada jenderal pur yang mau jadi capres dengan mengklaim dirinya mewakili "hati nurani rakyat", ada barisan pendukung yang menggerakkan apa yang disebut "revolusi hati nurani", ada yang mengorbitkan para bekas aktivis Malari 1973, dan ada pula yang mengkooptasi sebuah kumpulan warga di Gedung Joang, Jakarta, lalu mendirikan "Dewan Revolusi". Namun, ujung-ujungnya, demo yang mewakili jenderal-jenderal pur purnawirawan itu gagal membangkitkan massa. Lalu Kepala BIN, atas nama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, muncul di muka para jenderal tsb di Balai Sudirman di Tebet, Jakarta, untuk menendang-balik isu "Dewan Revolusi" tadi. Jadi, hati nurani siapa, revolusi siapa, dewan untuk apa - tak ada yang paham. Barangkali, para jenderal pur itu sendiri pun tak paham. Jenderal Wiranto, misalnya, ketika ditanya pers mengaku melihat kecemasan rakyat menjadi-jadi. Lalu, "kalau rakyat cemas, kok mereka tidak bangkit?" tanya wartawan. "Lhaa, mereka tidak berdaya, yang bergerak kan selalu aktivis mahasiswa dan elit politik," jawab Wiranto. Sejarah, dalam wacana berpikir para jenderal pur rupanya cuma ulah mahasiswa dan elite belaka. Tak ada kemarahan rakyat, kelas menengah atau protes buruh yang terorganisir. Tak ada kelas-kelas sosial yang bergerak. Tak ada pula pergeseran struktural ekonomi dan politik. Jadi, perubahan politik, bagi mereka, cuma soal permainan memanipulasi perilaku segelintir tokoh mahasiswa dan elite. Politik itu cuma rekayasa elite, begitu esensinya. Persis, seperti itulah yang terjadi pada ulangtahun Malari 15 Januari yl. - dengan kata lain, tak ada sangkut pautnya dengan revolusi, hati nurani, dsb. Aksi di Bundaran H.I. itu gagal, tak ada gelombang massa, dan media serta masyarakat pun sepi tanggapan. Menyadari blunder ini, mereka buru buru meralat segala retorika mereka. "Tak ada revolusi", "ini cuma gerakan moral", "tak ada hubungan dengan Dewan Revolusi" , "kami tidak bermaksud menuntut mencabut mandat Presiden", dsb. Celakanya, para jenderal pur tadi pun tak mampu menerangkan apa dan bagaimana hubungan antara berbagai prakarsa itu dengan tatanan dan aturan demokrasi yang tengah berkembang. Sejak Soeharto berhenti, para jenderal pur bergerak, mereka seringkali bikin pertemuan, tapi mengaku cuma "silaturahmi", alias kasak kusuk, lantas sebagian bertandang, atau kumpul-kumpul secara teratur, dengan sejumlah mantan presiden, dan, akhirnya, mereka ramai ramai berkumpul sendiri di gedung resepsi resmi TNI, Balai Sudirman, Tebet. Kumpulan informal jenderal pur itu lambat laun terlembagakan menjadi kekuatan politik. Masih ingat, dua tahun lalu, Presiden SBY yang notabene Kepala Negara merasa perlu bertandang ke balai yang sama untuk menjelaskan kebijakan pemerintah soal BBM dan perdamaian dengan GAM di Helsinki. Pantas, kalangan pengamat bingung: apanya sih yang "purna" dari para jenderal "purnawirawan" itu? Walhasil, pasca Soeharto, mereka berhasil mensiasati demokratisasi dengan membongkar Dwi Fungsi dan mundur dari kursi MPR dan DPR, tapi tetap bermain politik meski tak resmi atas nama TNI. Tak mengherankan, sebab jenderal-jenderal pur sudah terbiasa berada di tengah pusat kekuasaan negara. Secara politik mereka lahir dari dalam habitat Orde Baru, mereka muncul dari rahim "surplus kekuasaan" dari sebuah rezim yang anti-demokrasi. Tiga tokoh intinya pernah dekat dengan pucuk Orde Baru, dan terbiasa terlibat manipulasi politik untuk mengguncang masyarakat dan menggertak lawan. "Surplus" kekuasaan negara Orde Baru itu memungkinkan mereka bila perlu bermain sewenang-wenang. Jenderal Wiranto, misalnya, bertahun-tahun jadi ajudan Soeharto, jadi Pangab tanpa pernah jadi Pangdam, dan ujung-ujungnya ikut bertanggung-jawab atas bumi hangus di TimTim 1999; Jenderal Try Soetrisno, juga mantan Pangab, juga mantan ajudan Soeharto, bahkan mantan Wapres, juga ikut bertanggungjawab atas pelanggaran HAM seperti di Tanjung Priok 1984 dan Santa Cruz, Dili 1991; dan Jenderal Tyasno Sudarto, mantan KSAD, pernah jadi Wakil Kepala Intel BAIS Direktur Protokol, jadi tugasnya menguntit Presiden Soeharto, tetapi sewaktu KTT APEC di Osaka 1996, saya melihat dia membuntuti aktivis mahasiswa dan merecokin wartawan dan anakbuahnya terlibat perkelahian dengan aktivis pro-TimTim di Tokio; Tyasno juga termasyhur sebagai penggalang uang palsu untuk membayar milisi pro-Jakarta di TimTim pada 1999. Di seputar mereka ada dua tokoh lagi yang karena tak pernah dekat dengan Soeharto masuk PDI-P, namun ikut mengamini gerak gerik jenderal pur Wiranto dkk, yaitu mantan bos BIN Jenderal Hendropriyono, meski tidak dekat dengan pucuk Orde Baru tapi terlibat "surplus" kekuasaan Orba (pembantaian Lampung 1989, deportasi TimTim 1999) dan mantan KSAD Jenderal Ryamirzad ryacudu, mantunya Jendral Try yang dijagoi oleh Megawati untuk menggempur GAM dan rakyat Aceh. Ada pula sejumlah jendral pur di luar kelompok Wiranto dan PDI-P, seperti Jenderal Yunus Yosfiah di pucuk PPP dan Jenderal Bibit Waluyo, calon Gubernur Jakarta, keduanya juga tak akrab dengan Soeharto tapi keduanya terlibat pembantaian wartawan asing di Balibo, Tim-Tim, 1974, kasus yang dilupakan pers dan publik Indonesia. Tentu, bukan cuma mereka saja yang jenderal pur dan keturunan langsung dari "surplus" negara Orde Baru. Pemerintahan SBY-Kalla merupakan konfigurasi militer, politisi dan saudagar semasa Orba. Mereka adalah sayap Orba paling mutakhir karena naik jenjang pasca- Soeharto. Kini, mereka ini menjadi lawan dari sayap Orde Baru lama, yaitu para jenderal pur yang tersisih tadi dan merupakan produk ortodoks Orde Baru zaman Soeharto. Sebaliknya, sayap Orba mutakhir berhasil menduduki lembaga negara melalui pemilu, sedangkan sayap Orba ortodoks tersisih dari negara dan parlemen, sehingga tercerabut dari legitimasi demokrasi pasca-Soeharto; mereka bahkan tersingkir dari partainya sendiri, Partai Golkar, lantas perlu mendirikan partai baru untuk membangun legitimasi baru. Para jenderal pur tersisih ini gerah melihat presiden yang seorang mantan jenderal tapi suka bimbang, namun cukup kuasa karena sohibnya menjabat KSAD dan sejumlah kerabatnya menjadi Pangkostrad, Pangdam Jaya, dan Waka Kopassus, jadi, praktis dapat menguasai pasukan. Selain itu, jenderal yang kini presiden itu adalah yunior dari kebanyakan jenderal pur yang resah tsb. Di situ terjadi hirarki personal yang terganggu yang saling merepotkan kedua pihak; yang mantan senior angkuh, sedang yang mantan yunior tapi presiden menderita tenggang rasa; jadi, elit TNI lebih terbiasa dengan feodalisme ketimbang demokrasi. Akhirnya, kemenangan calon Gubernur dari GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dalam Pilkada Aceh Desember yl. melejitkan puncak frustrasi para jenderal pur yang tersisih itu. Namun, seperti supir bus Jakarta, sama sama supir tak mau diselip, maka para jenderal pur yang kuasa pun tak mau diusik oleh mantan rekan mereka. SBY, meski terpilih langsung secara demokratis, toh tak sanggup menerima kritik dari para bekas kolega senior, terkesan paranoid, lalu mengirim bos BIN Syamsir Siregar, juga seorang jenderal pur, untuk menyudutkan mereka dengan isu "Dewan Revolusi". Demo menuntut cabut mandat tetap konstitusional asalkan tidak menjalar menjadi kerusuhan dan kekerasan. Tapi, absurdnya, para jenderal purnawirawan tersisih tsb malah mengangkat isu UUD 45 yang telah diamandemen (2004), dan menderita frustrasi karena perdamaian Aceh menghasilkan Pilkada yang dimenangkan GAM. Padahal kedua ihwal ini justru menunjukkan gradasi kemajuan relatif soal HAM dan demokratisasi yang meningkat di Indonesia. Impunitas telah menyelamatkan para jenderal pur dari tribunal HAM. Kini mereka dapat melampiaskan syndrom pasca-kekuasaan mereka. Duh, jenderal pur! Poor generals! Sumber: Percikan Sepekan, Radio Nederland Wereldomroep, 28 Jan. 2007