KOMPAS - Jumat, 27 Juli 2007



      Kekerasan atas Nama Agama


      Azyumardi Azra

      Insiden ancaman yang kerap berujung kekerasan tampaknya masih 
berlanjut di negara ini. Kasus terakhir, 20 Juli, saat sekitar 2.000 orang 
datang ke Lembah Karmel, Puncak, memprotes pelaksanaan Konferensi Tritunggal 
Mahakudus yang diikuti sejumlah umat Katolik pada 24-29 Juli.

      Mereka dihadang polisi di gerbang lokasi. Massa menuntut bukti izin 
kegiatan dari polisi; jika tidak, mereka akan membubarkan paksa konferensi 
itu.

      Kejadian semacam ini sama sekali tidak baru; khususnya sejak masa 
pasca-Soeharto. Dari waktu ke waktu, kita menyaksikan berbagai bentuk 
ancaman dan kekerasan atas nama agama. Pada satu segi, ini terjadi di antara 
kelompok massa Islam— seperti contoh di atas—terhadap penganut agama lain, 
khususnya Kristen dan Katolik dan agama-agama lain.

      Pada sisi lain orang juga bisa menyaksikan kekerasan di antara para 
pengikut agama yang sama; ada beberapa kelompok Islam, yang atas nama Islam, 
mengancam atau bahkan melakukan kekerasan terhadap penganut Islam lainnya. 
Dan secara tipikal, pelaku ancaman dan kekerasan menganggap kelompok Islam 
lainnya sudah sesat, menyimpang; seolah kebenaran Islam menjadi monopoli 
mereka sendiri, atau seolah mereka mengambil alih peran Tuhan untuk 
menentukan mana yang benar dan mana yang salah.

      Mengapa terus terjadi?

      Mengapa tindakan-tindakan seperti itu terus terjadi? Jawabannya amat 
rumit. Namun, jika bisa disederhanakan dalam perspektif hubungan antaragama 
adalah, pertama, masih kuatnya rasa saling curiga di antara umat agama 
berbeda. Masih kuat, misalnya, kecurigaan di kalangan umat Islam, bahwa 
lembaga, kepemimpinan, dan organisasi Kristiani terus melakukan 
"kristenisasi" dengan berbagai cara yang mungkin. Sebaliknya, umat Kristiani 
mencurigai umat Islam terus berusaha menciptakan negara Islam di Indonesia. 
Kecurigaan yang kuat di kalangan umat Kristiani tentang hal ini bukan tidak 
mungkin membuat mereka nervous dan defensif dengan psikologi minoritas 
tertentu.

      Kedua, belum terejawantahnya dialog-dialog yang workable antara 
kepemimpinan agama level tengah dan bawah. Memang dialog-dialog intra dan 
antaragama kelihatan terus berlangsung, tetapi— harus diakui—umumnya baru 
sampai pada level kepemimpinan puncak, di tingkat nasional maupun daerah. 
Jarang sekali terjadi dialog-dialog intra dan antaragama pada level tengah 
dan bawah kepemimpinan agama, yang justru bergerak dan amat berpengaruh 
terhadap masyarakat tingkat akar rumput. Padahal kepemimpinan agama pada 
level inilah yang bisa menghitamputihkan massa, yang bisa membuat massa 
murka, atau, sebaliknya, menjadikan mereka lebih tenang dan beradab.

      Dalam konteks ini, hemat saya perlu pengembangan dialog-dialog intra 
dan antar agama, tidak hanya pada level puncak, tetapi juga pada level 
tengah dan bawah kepemimpinan agama. Memang beberapa daerah provinsi dan 
kabupaten/kota telah membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), tetapi 
dialog-dialog yang diselenggarakan FKUB belum tersosialisasikan ke tingkat 
bawah untuk kemudian bisa menciptakan hubungan intra dan antarumat beragama 
yang lebih sehat, harmonis, dan dinamis.

      Pada segi lain, tetap maraknya ancaman dan tindakan kekerasan atas 
nama agama juga karena tidak efektifnya kekuasaan negara, yang biasanya 
diwakili polisi di lapangan. Dalam banyak kasus, polisi ada di lapangan, 
tetapi mereka tidak mampu mencegah terjadinya kekerasan, seperti dalam kasus 
penyerbuan massa anti-Ahmadiyah ke markas Ahmadiyah di Parung atau lokasi 
Ahmadiyah lainnya. Bahkan, hanya satu-dua kasus, yang pelaku ancaman dan 
tindak kekerasan atas nama agama diajukan ke pengadilan dan mendapat hukuman 
tidak setimpal dengan tindakan mengacau kehidupan umat beragama dan 
kehidupan publik umumnya.

      Negara gagal

      Negara seolah tidak memiliki kemauan politik (political will) dan 
kapasitas untuk bertindakan tegas guna melindungi setiap dan seluruh warga 
negaranya dari ancaman dan tindakan kekerasan dari individu atau kelompok 
warga lainnya.

      Jika keadaan ini terus berlanjut, bukan hanya kekerasan yang dapat 
kian merebak di antara umat beragama, bahkan negara sendiri dapat menjadi 
sebuah "negara gagal" (failed states). Jika Indonesia menjadi "negara 
gagal", bisa dibayangkan implikasi dan konsekuensi selanjutnya; integrasi 
negara sulit dipertahankan sehingga seolah menunggu waktu bagi terjadinya 
apa yang sering disebut sebagai "Balkanisasi".

      Oleh karena itu, dalam konteks hubungan intra dan antarumat beragama, 
perlu pemulihan kembali kemauan politik dan kapasitas bertindak aparat 
negara.

      Jika saya menyarankan perlunya sebuah strong state yang memiliki 
kemauan politik dan kapasitas untuk melindungi setiap dan seluruh warganya, 
tidak berarti saya menyetujui kembalinya negara otoriter dan diktatorial di 
Indonesia Sebaliknya yang saya sarankan adalah negara demokrasi yang kuat 
karena sesungguhnya demokrasi tidak bisa tegak jika negara memble, tidak 
berdaya apa-apa melindungi warganya, tidak mampu menegakkan demokrasi. 
Jelas, hanya dengan kepatuhan pada tata hukum, ketertiban, dan keadaban 
publik, demokrasi bisa tegak secara lebih otentik.

      Tak kurang pentingnya, representasi negara yang diwakili para pejabat 
dalam berbagai level harus pula senantiasa memperlihatkan komitmennya pada 
penegakan hukum. Hal ini karena bukan tidak jarang pejabat yang memikul 
tanggung jawab dalam kehidupan keagamaan, seperti Departemen Agama, tidak 
memberi garis yang tegas tentang ketidakbolehan melakukan ancaman atau 
kekerasan terhadap penganut atau kelompok keagamaan tertentu. Sebaliknya, 
bukan tidak jarang pejabat-pejabat ini mengeluarkan pernyataan dan kebijakan 
yang justru seolah menjadi justifikasi bagi tindakan-tindakan melanggar 
hukum itu.

      Sudah saatnya berbagai pihak melakukan berbagai upaya lebih 
komprehensif dan terarah untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang toleran 
dan damai di bumi Indonesia. Jika tidak, berarti kita menyimpan bom waktu 
yang dapat meledak sewaktu-waktu, bukan hanya menghancurkan umat beragama, 
tetapi juga Indonesia tercinta.

      Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri 
Syarif Hidayatullah Jakarta



      Jumat, 27 Juli 2007




      Thailand Selatan
      Ekonomi dan Pendidikan Kunci Kemajuan Islam


      Patani, Kompas - Pemberdayaan ekonomi dan penguasaan ilmu pengetahuan 
melalui pendidikan merupakan kunci penting bagi kemajuan Islam. Itu 
sebabnya, umat Islam saat ini harus memfokuskan usahanya untuk mengejar 
ketertinggalannya di dua bidang itu demi terwujudnya kesejahteraan.

      Hal ini disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din 
Syamsuddin di depan anggota Dewan Penasihat Pusat Administrasi 
Provinsi-provinsi Perbatasan Selatan Thailand di Patani, Thailand, Kamis 
(26/7). "Muhammadiyah selama ini sudah menjalankan gerakan Islam di bidang 
pendidikan, ekonomi, sosial, dan dakwah Islamiyah," ujarnya.

      Din menawarkan bantuan kepada masyarakat Muslim di Patani, Yala, dan 
Narathiwat untuk belajar di lembaga pendidikan Muhammadiyah di Indonesia. 
"Bahkan, bagi yang berminat juga bisa ikut magang sebagai perawat di rumah 
sakit Muhammadiyah di seluruh Indonesia," ujarnya.

      Apalagi, menurut Din, Raja Bhumibol Adulyadej ketika bertemu dengan 
dirinya juga menyampaikan permintaan bantuan untuk mewujudkan perdamaian di 
beberapa provinsi di Thailand Selatan. "Beliau meminta agar Indonesia bisa 
membantu membuka cakrawala pemikiran masyarakat tentang pentingnya 
perdamaian dan kerja sama demi kesejahteraan rakyat," ujarnya.

      Direktur Jenderal Pusat Administrasi Provinsi-provinsi Perbatasan 
Selatan Thailand Pranai Suvannarat mengatakan, Pemerintah Thailand saat ini 
sudah melakukan pendekatan damai dan sudah mengajak masyarakat setempat 
untuk berpartisipasi dalam mencari perdamaian di Thailand Selatan.

      Tugas lain dari Pusat Administrasi Provinsi-provinsi Perbatasan 
Selatan Thailand ini, menurut Pranai, adalah mengoordinasikan berbagai 
kebijakan pemerintah demi terwujudnya keadilan, kerja sama, dan 
kesejahteraan masyarakat.

      Wakil Rektor Universitas Islam Yala Maslan Muhammad menilai, langkah 
yang diambil pemerintah sudah cukup baik. Meski masih ada kelompok militan, 
jumlahnya tidak besar.

      "Kelompok militan itu umumnya berasal dari kalangan tidak terpelajar. 
Mereka sangat mudah diajak bergabung," ujarnya. (MAM)

Reply via email to