Jakarta 23 februari 2007
   
  MK UJI PASAL HUKUMAN MATI 
  
         Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan judicial review UU No. 22 Tahun 
1997 tentang Narkotika (UU Narkotika) terhadap UUD 1945, Kamis 1 Februari 2007 
pukul 10.00 WIB di ruang sidang MK. Persidangan ini mengagendakan Pemeriksaan 
Pendahuluan.
  Permohonan dengan nomor perkara 2/PUU-V/2007 ini diajukan oleh empat orang, 
yaitu Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani (Melisa Aprilia), keduanya sedang 
menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta 
Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang 
menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan Krobokan, Kuta, Bali. 
  Para Pemohon tersebut diwakili Kuasa Hukumnya, Dr. Todung Mulya Lubis, S.H., 
LL.M., Ir. Alexander Lay, S.H., LL.M., dan Arief Susijamto Wirjohoetomo, S.H., 
M.H., merupakan terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan mulai 
dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung dalam perkara tindak 
pidana yang diatur dalam UU Narkotika di wilayah hukum Negara Republik 
Indonesia. 
  Putusan hukuman mati bagi para Pemohon didasarkan pada pasal-pasal ancaman 
pidana mati dalam UU Narkotika, yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum 
mengikat (in kracht van gewijsde). Namun terhadap diri para Pemohon belum 
dilaksanakan hukuman mati. Dalam penjelasan permohonan, para Pemohon menyatakan 
bahwa putusan hukuman mati tersebut jelas sangat merugikan kepentingan dan hak 
konstitusional para Pemohon untuk hidup, sebagaimana dijamin dan dilindungi 
oleh UUD 1945.
  Oleh karena itu, para Pemohon meminta Majelis Hakim Konstitusi menyatakan 
Pasal 80 ayat (1) huruf a, Pasal 80 ayat (2) huruf a, Pasal 80 ayat (3) huruf 
a, Pasal 81 ayat (3) huruf a, Pasal 82 ayat (1) huruf a, Pasal 82 ayat (2) 
huruf a, dan Pasal 82 ayat (3) huruf a UU Narkotika bertentangan dengan Pasal 
28A, Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945, serta menyatakan 
pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
  Selain itu, terkait dengan adanya Pemohon berkewarganegaraan asing, Todung 
menjelaskan bahwa banyak hal yang asasi dan fundamental terkait hak asasi 
manusia, salah satunya tentang hak hidup, yang sebenarnya tak semata menjadi 
hak warga negara (citizen’s rights) saja, tetapi menjadi hak setiap orang 
(human rights). “Oleh karenanya, dalam persidangan ini kami meminta masukan 
dari majelis hakim terkait dengan batasan ketentuan legal standing yang diatur 
dalam Pasal 51 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,” kata Todung.
  Menanggapi Todung, Ketua Hakim Panel Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H., M.S. 
menyarankan supaya Kuasa Hukum Pemohon menambahkan argumentasi terkait hak 
warga negara asing untuk menguji undang-undang, yang bisa dilakukan dengan cara 
menguraikan referensi-referensi dari negara lain. “Kalau ingin menguji Pasal 51 
(UU MK), ya silahkan saja. Hal ini baik demi perkembangan hukum Indonesia,” 
papar Mukthie.
  Menyambung penjelasan Mukthie, Hakim Anggota Panel H. Achmad Roestandi, S.H. 
mencontohkan bahwa dibatalkannya Pasal 50 UU MK merupakan upaya awal Pemohon 
(pada waktu itu) sebelum menguji undang-undang yang eksis sebelum perubahan UUD 
1945. “Hal yang sama, juga bisa dilakukan Pemohon dalam kasus ini,” tambah 
Roestandi. 
  Menanggapi masukan tersebut, Todung menyatakan terpanggil dan akan mencoba 
melakukan proses terobosan hukum melalui MK, terkait dengan legal standing uji 
materi undang-undang khususnya yang terkait dengan hak asasi manusia.
   
  Wassalam
   
  Rachmad
  INDEPENDENT
Pemerhati public & media
  rbacakoran at yahoo dot com




 
---------------------------------
Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.

Kirim email ke