Reflekis: Jangan dilupakan Arab Saudia!

http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=302510

Kamis, 06 Sept 2007,

Negara yang Kehilangan Karakter 
Oleh Hendra Try Ardianto


Kasus pengeroyokan yang menimpa Ketua Dewan Karate-Ka Wasit Donald Luther 
Kolopita oleh empat polisi Malaysia mengisyarakat sebuah makna. Yakni, bangsa 
Indonesia sudah sedemikian rendah di mata warga negeri jiran itu. Bagaimana 
tidak, polisi Malaysia telah memiliki persepsi serupa dalam menilai orang 
Indonesia. 

Dianggap, orang Indonesia yang berada di Malaysia adalah selalu seorang babu 
(buruh/tenaga kasar). Tak jarang di antara mereka masuk Malaysia secara ilegal, 
sehingga selalu saja butuh operasi untuk menertibkan TKI-TKI ilegal tersebut. 
Parahnya, para polisi itu sudah tak bisa membedakan antara TKI ilegal dengan 
warga Indonesia yang menjadi tamu negaranya (wasit kejuaraan karate). 

Nah, jika wasit berkelas internasional saja diperlakukan sedemikian rupa, apa 
jadinya mereka yang berstatus ilegal di Malaysia? Tentu diperlakukan lebih 
buruk. Sikap keras kepala Malaysia pun tampak dalam proses penyelesaian masalah 
itu. Bahkan, permintaan maaf baru keluar setelah mendapat tekanan, baik dari 
pemerintah Indonesia maupun demonstrasi di berbagai tempat. 

Bukan hanya itu sikap arogan negara serumpun ini. Masih terngiang di ingatan 
kita saat Malaysia mencuri wilayah Sipadan-Ligitan dan mengobok-obok Ambalat 
dari kedaulatan NKRI. Malaysia dengan angkuh mengklaim beberapa wilayah 
Indonesia sebagai wilayahnya. Tentu kejadian seperti itu tak boleh terulang di 
kemudian hari. 

Bukan hanya Malaysia sebagai negara tetangga yang memandang sebelah mata 
terhadap Indonesia. Australia negara seberang selatan Indonesia pun demikian. 
Australia yang dulu pernah disebut sebagai "usus buntu bagi Indonesia" (dengan 
logic dipotong sekali pun tidak jadi soal) oleh salah satu pejabat Orde Baru 
kini mulai menunjukkan keangkuhan terhadap Indonesia. 

Mulai pemberian suaka terhadap anggota gerakan separatis sampai tindakan tidak 
menyenangkan terhadap pejabat Indonesia (Sutiyoso, eks gubernur Jakarta). Tak 
jarang, ketegangan dimulai Australia melalui media massa mereka yang 
menggambarkan Indonesia sebagai negara pelanggar HAM. Semua itu menunjukkan 
sikap yang tak bersahabat terhadap Indonesia. Pertanyaannya, mengapa hal 
semacam itu bisa terjadi?

Negara tanpa Karakter

. keahlian adalah perlu, tetapi keahlian saja tanpa dilandaskan pada jiwa yang 
besar tidak akan dapat mungkin mencapai tujuannya. Inilah perlunya ?sekali lagi 
mutlak perlunya? nation character building. (Presiden Soekarno, Pidato Jas 
Merah 1966, Video Arsip Nasional RI).

Bangsa yang berkarakter adalah modal utama menjadi bangsa yang berjiwa besar. 
Sebab, dengan memiliki karakter yang jelas, jelas pula arah tujuan nasional 
Indonesia. Karena itu, Bung Karno tak segan-segan mengajarkan Berdikari 
(berdiri di atas kaki sendiri) -yang dipinjam dari Mahatma Gandhi, Swadesi- 
untuk membangun karakter bangsa Indonesia.

Mengingat Bung Karno juga mengingatkan kita pada peristiwa "gerakan ganyang 
Malaysia". Dulu, negara yang dikenal dengan negeri jiran itu pernah mengalami 
masa pahit diinvasi oleh tentara Indonesia. Tak hanya diinvasi, mungkin saat 
itu pemerintahan Malaysia hampir bisa dikatakan kolaps. Seandainya tak ada 
bantuan dunia internasional, mungkin Malaysia kini telah menjadi wilayah 
kekuasaan Indonesia.

Namun, tampaknya, itu hanya masa lalu. Dulu, Malaysia selalu minta dikirimi 
guru-guru dari Indonesia. Kini, malah Indonesia yang mengirimkan kelebihan 
penduduknya sebagai babu di Malaysia. Dulu, wilayah Malaysia ingin direbut oleh 
Indonesia. Kini malah Indonesia yang telah kehilangan wilayahnya 
(Sipadan-Ligitan) yang direbut Malaysia. Sungguh kontradiksi sejarah yang tak 
terelakkan. 

Itu semua akibat Indonesia telah kehilangan karakter. Saat ini, karakter yang 
sedang dipegang teguh Indonesia tidak jelas. Bahkan, bisa dikatakan Indonesia 
saat ini telah menjadi negara tanpa karakter. 

Ingin dikatakan berkarakter kerakyatan, tapi kenyatannya banyak kebijakan yang 
tak pro-kerakyatan. Misalnya, kenaikan harga BBM dan kebijakan ketenagakerjaan 
yang kian merugikan rakyat. Ingin dianggap berkarakter nasionalis, namun 
buktinya privatisasi lebih marak dan populer daripada nasionalisasi terhadap 
perusahaan yang menguasai hajat hidup orang banyak. 

Berbeda dari Iran dan Venezuela. Dua negara itu secara jelas meletakkan Islam 
(Iran) dan sosialis (Venezuela) sebagai karakter bangsa. Dengan ketegasan 
karakter negaranya, kedua negara tersebut dengan lantang menolak hegemoni Barat 
(AS) yang berkarakter kapitalis dengan mainstream untung rugi. Apakah hal 
semacam itu berani dilakukan Indonesia? Mungkin tidak untuk saat ini. 

Karena itu, PR utama bangsa Indonesia adalah menemukan karakter sebagai bangsa 
yang besar. Sebab, tanpa memiki karakter, Indonesia hanya akan dipandang 
sebelah mata oleh negara lain. Cukup sudah pengalaman-pengalaman yang telah 
kita lewati. Sudah saatnya negara sebesar Indonesia menunjukkan kebesaran 
sebagai bangsa yang besar. Semoga! 


Hendra Try Ardianto, mahasiswa Ilmu Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada, 
Jogjakarta; aktif sebagai staf Litbang Pers Mahasiswa SINTESA, Fisipol, UGM 
[EMAIL PROTECTED]
)

Kirim email ke