Hari semakin gelap, ditengah hutan yang lebat itu hanya ada suara jengrkik, dan terkadang gemerisik semak belukar dan dedaunan, mungkin tertiup angin musim semi atau sekedar ada binatang yang numpang lewat. Ketika itu, PatanYali sedang menuangkan minuman yang diraciknya sendiri -terinci dalam salah satu kumpulan tulisan The Adventurous of PatanYali, yakni: The Garden of Jezera- dari sebuah termos ke dalam cangkir, sebagai alat melakukan perjalanan untuk keluar dari dimensi ke 3. Saat menenggak tegukan pertama, tanpa sengaja sebuah cermin terjatuh dari dalam ransel, persis ke rerumputan yang tumbuh di depannya. Padahal saat itu, setahu PatanYali, dia tidak membawa sepotongpun cermin sebagai alat penting dalam menempuh perjalanan dari Makassar ke kota Makarska. Anehnya lagi, meskipun hari telah semakin gelap, bayang-bayang dedaunan tampak jelas dalam pantulan cermin tersebut. Setengah kaget, diraihnya potongan kaca seukuran -kira-kira- kantong baju yang dikenakannya saat itu. Kekagetan itu semakin menjadi, ketika dia mencoba berkaca, hingga menumpahkan beberapa percikan minuman tersebut membasahi beberapa bagian baju dan celananya. Karena yang nampak dalam cermin tersebut adalah bayangan wajah... Seekor kambing! PatanYali menoleh kebelakang, tapi tak ada satupun makhluk di belakangnya, tak pula seekor kambing, seperti yang ada dalam bayangan cermin aneh tersebut. Di belakang PatanYali yang duduk di atas sebuah bongkahan batu, hanyalah sebuah pohon pinus besar berdiri kokoh diatas bebatuan, dimana bagian bawah batang pohon Pinus itu dikalungi berbagai jenis akar-akaran dari tumbuhan lain dan dipenuhi semak serta bunga-bunga yang sangat harum, berwarna ungu berjenis Ciklame (baca: Tsiklame) PatanYali hanya mengenali baunya saja, karena saat itu, warna ungu sudah tidak nampak lagi dalam kegelapan. Karena kekagetan tersebut, serta merta PatanYali mengumpat dengan nada marah. ½Percuma kamu menakuti saya, memangnya untuk apa bermain-main denganku?½ Hardik PatanYali kepada bayangan wajah seekor kambing, dalam cermin ditangannya. ½He, eh... Memangnya siapa yang menakut-nakuti kamu? Itulah spesies kalian yang hanya mengambil kesimpulan berdasarkan pretensi individu masing-masing!½. Suka atau tidak, PatanYali harus mendengarkan bayangan kambing di cermin tersebut ternyata bisa berkomunikasi kepadanya. ½Lalu, untuk apa mukamu yang jelek itu nampang dihadapanku dalam cermin sialan ini?½ Setidaknya, PatanYali merasa senang dalam hati bahwa -ternyata- dalam kesendiriannya itu ada yang bisa ditemani berbicara, atau mungkin sekedar untuk ngerumpi, meskipun itu hanyalah bayangan seekor kambing. ½Kamu itu terlalu sombong, anak muda! Setiap spesies sejenismu, apa namanya?... Manusia?... Selalu membutuhkan cermin! Setiap bangun pagi, atau mau bertemu siapa saja, kalian selalu butuh cermin! Dan bahkan sekarang... ½ Bayangan kambing itu, terdiam sejenak. ½Dan bahkan sekarang, apa?...½ Sergah PatanYali tak sabar. ½Dan bahkan sekarang, yang kamu sebut sebagai ´Blog´ itu juga adalah cermin dari apa isi fikiran dan perasaan kalian! Kamu lihat, anak muda yang sombong?... Kalian tak bisa lepas dari sepotong cermin! Dan bahkan sejak dahulu kala... ½ Wajah kambing itu terdiam lagi. ½Sejak dahulu kala... Kenapa?½ PatanYali lagi-lagi tak sabar, menunggu lanjutan kalimat si kambing yang tadi dia katakan berwajah jelek, itu. ½Sejak dahulu kala, Freud memformulasi kata ´ego´ demi menempatkannya dalam tahta tertinggi kesadaran psikologis manusia, agar terhindar dari identitas kebinatangannya! Dan bukan itu saja... ½ Lagi-lagi si kambing terdiam. ½Ha..ha...ha.. Tidak usah bermain ´game of mind´ dengan saya kambing jelek! Saya tidak terlalu sombong untuk menyebut diri saya seekor ´Kutu ´. Khotbahmu tidak berlaku buat saya!½ PatanYali terkekeh sambil meminum lagi isi cangkirnya, dan menambah lagi, sesuai dosis yang dia perlukan. ½Jangan angkuh kamu anak muda! Minuman yang kamu minum itu bukanlah temuan spesiesmu, manusia. Itu ditemukan oleh spesiesku, seekor kambing yang hidup di abad ke sembilan!½. PatanYali terdiam, menunggu si kambing congek dan congkak ini melanjutkan kalimatnya. ½Kalian membutuhkan cermin, dan bahkan ´cermin-cermin´ itu juga kalian sebut-sebut sebagai ´Tuhan´ dengan bayangan yang tampil berganti-ganti dari waktu ke waktu. Entah itu bayangan dalam cermin tersebut berwujudkan binatang, patung, semak terbakar, manusia, Bapak, Om, zat tak berwujud atau, wajah-wajah kalian sendiri. Kamu lihat, wahai anak muda yang congkak? Itu semua adalah tak lebih sebagai ´cermin´ atas kerinduan dan kesepian kalian atas nama ´kebaikan´ dan ´kesucian´...½ Kali ini, giliran si kambing yang terkekeh-kekeh. ½Oh, kalau Cuma itu yang ingin kamu khotbahkan padaku, aku tidak membutuhkan petuah-petuahmu, wahai kambing jelek!.. Sebaiknya aku pecahkan saja cermin ini...½ PatanYali serta merta mengangkat cermin itu, untuk dihempaskan ke atas batu yang didudukinya. ½Eit... Eit... Tunggu! Cermin yang ada ditanganmu ini adalah bagian kecil dari denah Taman Jezera, yang kamu curi site plan dan denahnya itu. Lalu karena ketololanmu dan kegoblokan kawan-kawanmu, denah itu hilang. Lalu berusaha kamu cari dan temukan kembali sampai-sampai kamu harus berkelana ke ujung dan pelosok pelosok planet yang membusuk bernama Ki ini, dasar anak muda goblok! Hahaha, dan sekarang? Vuk juga ikut-ikutan hilang!½ ½Ini planet bumi... Bukan planet Ki, kambing tolol!½ PatanYali setengah berteriak, gusar. ½Ki, bumi, earth, lino... Apalah istilahmu, zaman saya dulu disana, namanya Ki... ½ Kambing itu menjelaskan perbedaan terminologi yang ternyata berbeda jarak dan waktunya selama berabad-abad. Lalu, kemudian kambing itu melanjutkan. ½Dengar! Apa katamu tentang ´The Traveler Verses´? Kamu bilang bahwa semua makhluk punya tujuan unik, bukan? Tujuan unikmu adalam menemukan dan mengumpulkan kembali serpihan denah Taman Jezera, apa yang kamu miliki sebagai petunjuk, selain teman-temanmu di Makarska dan Vuk?½. ½Angka sial yang saya tak tahu apa artinya...½ PatanYali mengangkat lengan bajunya, di lengan kanan atas tergambar sebuah tattoo aneh, diantaranya ada angka 22 66 10... Saya harus tahu apa artinya itu... Dan untuk itu, tak ada waktu buatku untuk mendengar ocehanmu, kambing jelek!½ Ketika mengatakan kalimat itu, cairan yang diminumnya sudah cukup untuk melakukan perjalanan keluar dari dimensi ke 3, PatanYali tinggal mensetting beberapa kalimat yang diambilnya dari cuplikan lirik sebuah lagu, dalam rangka meleburkan diri dengan tiupan ´angin sang waktu´. ½Saya akan menunjukkan sesuatu, sebelum kamu menemukan Vuk, ikuti saya...½ Terdengar suara si kambing jelek, kini samar-samar. Tanpa sempat untuk protes, PatanYali merasakan pijakan di kakinya yang tadi lembut, serta merta semakin lembut sampai-sampai kakinya terasa tertanam hingga betis. Suasana yang tadinya hening dan tenang, sekonyong-konyong berubah perlahan menjadi suara riuh rendah orang-orang membakar sesuatu, nampaknya yang dibakar itu seperti sebuah patung, raksasa setinggi 13 meter, panjangnya sekitar 7 meter dengan berat sekitar 3 ton. Alam sekitar PatanYali yang tadinya rimbun dan lebat dengan tumbuhan musim semi, semakin menipis serta angin dingin merambat ke dalam sum-sum tulang, membuat giginya gemeretak. Tapi kedinginan itu hanya sekilas saja, secepat fikirannya membatnha dingin tersebut, seketika itu pula tidak terasa lagi. Musim itu berputar ulang -atau maju?- ke musim dingin di bulan Desember, tak jelas tahun berapa. Dalam pusaran ´angin sang waktu´ tersebut, terlintas sebuah pin selamat datang yang mencantumkan kata-kata asing, disamping kalimat itu ada kata-kata ´Welcome to Gävle´ Patung itu, ternyata patung seekor kambing yang sejak tahun 1966 hingga tahun 2005 telah mengalami vandalisasi, dibakar dan dimusnahkan sebanyak 22 kali, di pusat Gävle, Swedia! Dan Swedia adalah asal muasal Bangsa Vikings!... Bersambung. SeksPeare http://kopitalisme.tk http://blog.indosiar.com/patanyali http://kumaniora.blogspot.com
--------------------------------- Ahhh...imagining that irresistible "new car" smell? Check outnew cars at Yahoo! Autos.