GALAMEDIA
SENIN, 13 AGUSTUS 2007

      Perjalanan Pahit Anak-anak Korban G-30-S/PKI (1)  
      Aku Menjadi Korban Orangtuaku  
     
      PERISTIWA G-30-S/PKI tidak hanya menewaskan tujuh jenderal dan beberapa 
perwira serta membuat keluarga para pahlawan bersungkawa. Peristiwa brutal itu 
juga menyisakan derita berkepanjangan bagi anak-anak anggota partai terlarang 
tersebut. Anak-anak yang tidak tahu permasalahan orangtuanya saat itu, 
dikejar-kejar dan diintimidasi sehingga terpaksa harus mengungsi. Berikut 
penuturan seorang anak "korban" dari orangtuanya sendiri yang terlibat Partai 
Komunis Indonesia. Ia menuturkannya dari sisi kemanusiaannya kepada M. Irfan 
Ar.  
     
SEBUT saja namaku Elvi. Tiga tahun lagi usiaku genap setengah abad. Sejak 30 
tahun lalu, aku tinggal di Kota Bandung, menjadi buruh pabrik dan kini 
berwiraswata. Meski aku dan suamiku hanya lulusan sekolah dasar, tapi kami 
sangat bahagia karena anak-anak kami sudah menjadi sarjana dan telah 
mendapatkan pekerjaan yang layak. Ini merupakan kebanggaan yang tiada terkira. 
Yang lebih membanggakan, anak-anak kami termasuk anak-anak yang sangat soleh, 
berbakti pada orangtua, dan tidak pernah terlibat dalam kenalan remaja, bahkan 
merokok pun tidak pernah. Alhamdulillah.

Namun di balik kebahagiaanku sekarang, ada sebuah peristiwa menyakitkan yang 
tidak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Peristiwa itu betul-betul 
menyakitkanku secara fisik dan mental. Hatiku seakan dicabik-cabik, 
dikoyak-koyak hingga aku nyaris kehilangan harga diri sebagai manusia.

Kisah ini sengaja kuceritakan agar menjadiibroh, pelajaran, dan bahan renungan 
bagi setiap orang --yang pada saatnya nanti akan menjadi orangtua-- agar selalu 
bertidak bijak, agar setiap akan memutuskan sesuatu itu mesti 
dibeuweung-diutahkeun (dipikir secara matang kebaikan dan keburukannya), 
sehingga tidak merugikan keluarga dan anak-anaknya.

Orangtuaku, terutama ayahku, boleh jadi termasuk orang yang kurang jeujeuhan 
dalam memilih perjalanan hidup. Akibatnya, bukan hanya dia sendiri yang 
tersesat, melainkan kami --anak-anaknya-- pun harus menanggung akibatnya.

Padahal jujur, aku tidak mengerti apa yang dilakukan ayahku 45 tahun yang silam 
karena saat itu aku baru berusia 5 tahun, kakakku 8 tahun, dan adikku masih ada 
dalam kandungan ibuku. Tetapi, kenyataan berbicara lain. Kami yang tidak tahu 
menahu tentang perjalanan politik ayahku saat itu, terpaksa harus menanggung 
derita yang sangat berat. Kami disakiti orang, dikejar-kejar bagaikan tikus, 
setelah itu dicemooh dan harga diri kami diinjak-injak. Tak seorang pun yang 
tergerak hatinya melihat nasib kami yang masih bocah. Kami telah dianggap 
sampah karena ayahku terlibat partai terlarang. Beruntunglah, Allah masih 
melindungi kami sehingga kami masih bisa bertahan hidup, tumbuh menjadi remaja, 
membina rumah tangga, dan mendidik anak-anak menjadi orang yang bermanfaat dan 
memiliki harga diri.

Masih terbayang dalam ingatanku. Sebelum peritiwa itu, kami hidup dalam 
kedamaian dan kebahagiaan. Ibuku seorang guru. Ia sangat lembut, hangat, 
bijaksana, dan sangat sayang kepada anak-anak, tidak hanya kepada aku dan 
kakakknu sebagai anaknya, tetapi juga kepada anak-anak yang lain. Sedangkan 
ayahku seorang pegawai negeri sipil di lingkungan Dinas Kesehatan. Waktu itu 
aku tahu, ayahku adalah seorang pria tangguh, bertanggung jawab, penyayang, dan 
penuh perhatian.

Secara ekonomi kami hidup cukup, meskipun tidak kaya raya. Kami menempati 
sebuah rumah permanen di tengah-tengah sebuah kota kecamatan di Kab. Ciamis. 
Setiap hari aku dan kakakku selalu mendapat belaian kasih sayang dari kedua 
orangtuaku.

Kami juga tidak pernah kesulitan untuk menengok nenekku di sebuah kampung yang 
cukup jauh, karena ayahku secara kebetulan memegang kendaraan dinas. Pada zaman 
itu, tidak semua orang boleh memiliki keahlian menyetir dan diperbolehkan 
membawa kendaraan. Singkat kata, secara ekonomi kebutuhan kami tidak pernah 
kekurangan.

Kehidupan memang selalu berubah-ubah. Di tengah-tengah kebahagiaan dan 
kedamaian, tiba-tiba saja malapetaka itu datang menghantam keluarga kami, 
meporak-porandakan keutuhan keluarga kami. Ayahku yang saat itu terlibat dalam 
partai terlarang diambil oleh aparat, demikian pula ibuku. Aku tidak tahu 
apakah ibuku benar-benar masuk dalam partai itu atau hanya terbawa karena 
ayahku yang aktivis. Buktinya, ibuku hanya mendekam selama tiga bulan dalam sel 
tahanan, bahkan melahirkan adikku di tempat yang pengap itu.

Aku tidak dapat membayangkan betapa tersiksanya ibu, betapa tersayat hatinya 
saat itu. Orang yang setiap hari dihormati oleh murid-muridnya dan juga 
orang-orang sekitar karena keramahan dan kearifan perilakunya, tiba-tiba saja 
harus mendekam dalam rumah tahanan di bawah pengawasan yang sangat ketat. Ya 
Allah, mengapa ini terjadi? Mengapa ayahku salah memilih jalan kehidupan? Dan 
Mengapa kami yang menjadi korban? (bersambung)** 

Kirim email ke