Kolom IBRAHIM ISA
-----------------------------
Kemis, 17 Mei 2007

SUMBANGAN BERMUTU PRO LITERATUR SOSIALISME di INDONESIA
<Baca Pengantar S. Munandar pada Peluncuran DAS KAPITAL III>
( Bagian-1 )
*   *   *
Memang agak anéh kedengarannya, tetapi benar!
Generasi muda kita sekarang banyak yang tidak tau, bahwa Indonesia
pernah mengalami kehidupan di bawah sistim demokrasi parlementer  pada
periode Presiden Sukarno. Ini berlangsung sampai 5 Juli 1959, ketika
Presiden Sukarno dengan keterlibatan dan dukungan TNI, memaklumkan
DEKRIT PRESIDEN Kembali Ke UUD 1945.

Sampai ketika itu di negri kita terdapat kebebasan berbicara,
kebebasan pers, berorganisasi, berparpol, ada hak berdemo dan mogok.
Ada pemilu yang 'lubér'. Ada parlemen yang pada pokoknya berfungsi
sebagai badan legeslatif, pembuat uu serta mengontrol pekerjaan
pemerintah, punya wewenang untuk menjatuhkan pemerintah.  Parlemen
ketika itu mencerminkan kekuatan politik di dalam masyarakat.
Generasi muda kita banyak yang tidak menyadari hal ini. Karena semasa
rezim Orba, yang diajarkan kepada mereka, adalah cerita rekayasa
mengenai pemerintahan pra Orba, yang secara sinis dijuluki sebagai
'orde lama',  yang serba bréngsék. Maka 'Orla' di-kup oleh tentara dan
ditegakkanlah rezim Orba.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959, selain dimaksudkan untuk mencegah bahaya
perpecahan bangsa antara pendukung sekularisme dan kehendak mendirikan
negara Islam, serta mempersatukan kekuatan nasional untuk membebaskan
Irian Barat, menghadapi ancaman dan subversi imperialisme; -- juga
punya dampak negatif. Dekrit Presiden mengakibatkan dikuranginya
hak-hak demokrasi parlementer yang berlaku selama itu. Selain itu,
pemberlakuan Undang-undang Darurat Perang, (SOB), sistim pemerintahan
menurut konsep Dekrit tsb memberi kesempatan kepada tentara
memperbesar keterlibatan dan campur tangan dalam sistim kekuasaan
politik negara. Konsep 'Dwifungsi Abri' menjadikan tentara yang
sesungguhnya merupakan aparat kekuasaan negara di tangan pemerintah,
menjadi kekuatan politik yang berdiri sendiri. Bebas dari kontrol
parlemen dan kepala negara serta pemerintah. Perkembangan politik
Indonesia menunjukkan bahwa periode Dekrit Presiden telah memberikan
syarat bagi tentara untuk lebih banyak dan lebih mendalam BERPOLITIK.
Hingga akhirnya menjadikan tentara penguasa tunggal.

*   *   *

Mungkin generasi muda kita juga tidak menyadari bahwa semasa Indonesia
masih dikuasai Belanda, ketika bangsa kita sedang terlibat dalam
perjuangan kemerdekaan, pemerintah kolonial masih memberikan
kesempatan kepada Bung  Karno untuk membela diri <Bandingkan ini
dengan situasi ketika Presiden Sukarno dikenakan 'tahanan rumah',
disekat dari dunia luar oleh Jendral Suharto dan dibungkam
sepenuhnya>. Sebagai tertuduh Bung Karno masih bisa  menggugat
kolonialisme Belanda di muka pengadilan Bandung (1930).  Yang menarik
dan penting diketahui ialah bahwa,  ketika itu Bung Karno sudah pandai
menggunakan pisau analisa Marxis untuk  menjelaskan apa itu
kolonialisme, apa itu imperialisme. Bung Karno menerangkan bagaimana
kapitalisme dan imperialisme beroperasi di Indonesia mengeksploitasi
rakyat kita. Bung Karno menjelaskan bahwa imperialisme adalah  produk
dari kapitalisme,  yang menguasai, menindas dan mengeksploitasi
kekayaan bumi dan air dan rakyat Indonesia.  Gugatan Bung Karno
terhadap kolonialisme Belanda itu, telah menjadi literatur bahan
pendidikan politik penting bagi kader-kader pejuang kemerdekaan.
Kemudian, pembelaan Bung Karno itu, setelah disiarkan  menjadi
terkenal dengan nama 'INDONESIA MENGGUGAT'. Suatu karya politik klasik
yang unik, patrotik dan progresif, dalam literatur perjuangan
kemerdekaan negeri kita. Yang memainkan peranan sebagai penggugah
semangat dan kesadaran berbangsa.

Dalam periode pasca perang kemerdekaan, setelah kedaulatan Republik
Indonesia diakui dunia internasional, Indonesia mengalami periode
demokrasi parlementer. Partai-partai politik menikmati kehidupannya
yang wajar, dan rakyat mengenal lebih lanjut apa itu faham demokrasi,
melalui literatur dan praktek kongkrit kehidupan politik. Buku-buku
politik termasuk buku-buku Sosialis, Marxis dan Sosial demokrat banyak
diimpor, diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia.

Meski syarat-syaratnya ada,  seperti kebebasan menerbitkan, dsb,
namun, karya klasik Marx dan Engels yang terbesar yaitu Das Kapital,
juga karya falsafah klasik F. Engels 'Anti-Dühring', tidak pernah
terbit dalam bahasa Indonesia. Entah mengapa?  Mungkin saja
karya-karya klasik Marx dan Engels tsb dianggap terlalu 'njelimet'.
Memang karya-karya tsb adalah literatur ilmu dan tak mudah dicernakan.
Bisa juga dianggap orang bahwa tokh sudah ada bahasa asingnya.
Mungkinkah ketika itu belum ada yang sanggup atau mampu
menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia yang baik? 'A good question!'.

Pada periode berikutnya, ketika di Indonesia berkuasa suatu rezim
otoriter di bawah Presiden Jendral  Suharto, Marxisme dan semua
literatur Kiri 100 persen dilarang. Segera  larangan ini
'dilegalisasi' melalui TAP MPRS No XXV Th 1966. Semua buku Marxis
dibeslah, dibakar dan penerbitan baru dilarang.

*   *   *

Dewasa ini,  di satu fihak,  TAP MPRS No XXV/1966,  masih berlaku,
masih belum dicabut. Karena dimaksudkan untuk digunakan apabila dirasa
perlu. Penguasa tidak setuju usul Gus Dur membatalkan TAP MPRS No
XXV/1966, yang bertentangan dengan UUD dan HAM itu. Di lain fihak
berkat gerakan Reformasi dan Demokratisasi,  dan jatuhnya Presiden
Suharto, serta Orba formal sudah tak ada lagi,  kebebasan demokratis
sampai batas cukup jauh, diberlakukan di Indonesia.
Antara lain, berlaku kebebasan menyatakan pendapat dan menerbitkan.
Demikianlah, kita saksikan banyak bermunculan buku-buku sosialis dan
Marxis. Selama 8 tahun periode pasca Suharto, telah diterjemahkan dan
terbit a.l. karya-karya klasik ilmiah Marx dan Engels DAS KAPITAL,
jilid  I, II dan belakangan ini Jilid III. Juga terbit tulisan Lenin
seperti NEGARA DAN REVOLUSI. Gejala ini bisa dilihat sebagai pertanda
bahwa 'kamujaraban' TAP MPRS No XXV/1966, untuk membungkam atau
membendung meluasnya literatur sosialis, atau ide-ide dan teori
Marxis, hakikatnya sudah impoten, sudah tak berdaya lagi. Bisa juga
dilihat 'impotensi' TAP MPRS XXV/1966, menunjukkan sebagian karena
keberhasilan gerakan Reformasi dan Demokratisasi. Suatu indikasi lagi
bahwa sesungguhnya benar apa yang dikatakan Gus Dur, bahwa TAP MPRS No
XXV/1966 bertentangan dengan UUD RI, bertentantangan dengan hak-hak
demokrasi! Oleh karena itu harus dibatalkan segera!

Jerih payah penterjemahnya Oe Hai Djoen, penerbit Hasta Mitra  serta
dukungan Institute for Global Justice, menerbitkan DAS KAPITAL Jilid
III, adalah suatu sumbangan berharga terhadap khazanah literatur
Sosialisme di Indonesia.

Di bawah ini, dengan persetujuan penulisnya disiarkan  ulasan SUCIPTO
MUNANDAR, Ketua Harian  Stichting Azië Studies, Onderzoek en
Informatie, Amsterdam, pada peluncuran DAS KAPITAL Jilid III, di
Jakarta pada tanggal 03 Mei 2007 y.l. ULASAN TSB BRBOBOT! Silakan baca
sendiri!

*  *   *
PENGANTAR pada PELUNCURAN BUKU III KAPITAL KARL MARX
JAKARTA, 03 MEI 2007
Para hadirin yang terhormat,
Pada malam hari ini kita menghadiri peluncuran penerbitan Buku III Das
Kapital, karya besar dan utama KARL MARX. Saya mendapat kehormatan
memberi pengantar pada peluncuran penerbitan ini. Terima kasih saya
atas kesempatan ini kepada para penyelenggara pertemuan malam ini.

Karya Karl Marx Das Kapital terdiri atas tiga Buku. Buku I mengupas
Proses Produksi Kapital. Buku II bertemakan Proses Sirkulasi Kapital
dan Buku III mengenai Proses Produksi Kapitalis secara Menyeluruh.
Untuk menyiapkan dan menulis karya utama ini Marx melakukan penelitian
dan pengkajian selama hampir duapuluh tahun. Hanya Buku I yang sempat
diselesaikan dan diterbitkan  pada 1867 semasa Marx masih hidup. Tapi
manuskrip-manuskrip serta catatan rinci dan luas telah ditinggalkan
oleh Marx untuk menulis buku-buku berikutnya. Buku II dan Buku III
Das Kapital digarap dan diselesaikan oleh Fredrick Engels dengan
mendasarkan diri pada manuskrip-manuskrip dan catatan luas yang
ditinggalkan oleh Marx itu. Buku II terbit pada 1885 dan Buku III pada
1894. Penggarapan  dan penyelesaian kedua Buku itu dapat terlaksana
karena kesepahaman dan kesepikiran  yang terbangun selama puluhan
tahun pergaulan dan aktivitas bersama antara Marx dan Engels, dua
kawan seperjuangan dan sahabat karib itu.

Buku III mengenai produksi kapitalis secara menyeluruh melengkapi
kritik Marx atas sistem ekonomi kapitalisme. Hal-hal yang belum atau
kurang dikupas dalam Buku I dan II diuraikan dalam Buku III. Antara
lain penelitian mengenai empat kelompok kelas berkuasa: kaum kapitalis
industri, kaum kapitalis komersial, kaum bankir dan para pemilik-tanah
kapitalis. Kemudian pengupasan mengenai masalah penyetaraan tingkat
laba, masalah sewa tanah mutlak dan hal-hal lain. Dari pekerjaan
Engels untuk menyusun Buku III ini kita terkesan oleh sikap Engels
yang amat bertangungjawab di satu pihak dan rendah hati di pihak lain.
Dalam SUPLEMEN DAN ADDENDUM PADA KAPITAL BUKU III ini Engels menulis,
"Buku ketiga Kapital sudah mengalami berbagai jenis penafsiran karena
ia telah terbuka bagi penilaian publik. Ini sudah dapat diduga
sebelumnya. Dalam penyuntinganku aku di atas segala-galanya berusaha
menghasilkan sebuah teks yang seotentik mungkin, menyajikan
hasil-hasil baru yang telah dicapai Marx sejauh-jauh mungkin dalam
kata-kata Marx sendiri ... Tulis Engels selanjutnya: "Aku tidak
mempunyai kewenangan..." `mengorbankan keotentikan teks itu demi untuk
kemudahan para pembaca'. "Aku juga tidak mempunyai suatu hasrat
.....bercampurtangan sedemikian rupa dengan warisan seseorang yang
begitu lebih unggul daripada diriku akan sepertinya aku melakukan
suatu perbuatan ketidaksetiaan".

Para peminat dan pengkaji Indonesia atas pemikiran Karl Marx yang
dipaparkan dalam karya utamanya ini selama puluhan tahun tak dapat
mengaksesnya dalam bahasa Indonesia. Mereka bergantung pada penerbitan
dalam bahasa asing, khususnya bahasa Jerman dan Inggris. Pada 2004
terbitlah Buku I dalam bahasa Indonesia. Buku II terbit pada tahun
2006. Kini pada tahun 2007 dengan sudah terbitnya Buku III, ketiga
Buku Das Kapital, Karl Marx, boleh dikatakan, karya utama sudah
lengkap dapat diakses dalam bahasa Indonesia. Patutlah kita memberi
penghargaan serta pengucapan selamat atas prestasi besar ini kepada
pak Oey Hay Djoen, yang dengan tekun, sabar dan ulet mengatasi
bermacam-macam kesulitan dalam pengalihan-bahasanya. Tak kurang
penghargaan serta ucapan selamat kita kepada pak Joesoef Isak,
penerbit Hasta Mitra yang memperkaya Kepustakaan Ilmu Indonesia dengan
menerbitkannya dalam Seri Buku Ilmiah.
Sistem kapitalisme sebagai sistem masyarakat yang tumbuh dan
berkembang di Inggris menjadi subjek studi, analisis dan penelitian
Marx. Dari studi ini telah ditarik kesimpulan-kesimpulan serta
hukum-hukum yang berlaku pada sistem kapitalisme pada umumnya. Materi
yang dibahas dan dikupas Marx tidak mudah untuk dipelajari dan
dicerna. Pengupasannya tidak saja berkaitan dengan materi fakta yang
begitu kaya tapi juga dengan metodologi, cara berpikir yang diterapkan
dalam pengkajiannya. Metodologi dan cara berpikir ini menjelujuri
semua karya Marx yang berkaitan dengan gerakan  pengubahan dan
pembaruan sistem masyarakat. Pandangan filosofis Marx bukanlah untuk
memahami serta menginterpretasi dunia saja. Yang lebih penting adalah
mentransformasi dunia itu sendiri dan sekaligus mentransformasi
kesedaran diri kita sendiri mengenainya.
Sistem kapitalisme sebagai sistem masyarakat yang tumbuh dan
berkembang di Inggris menjadi subjek studi, analisis dan penelitian
Marx. Dari studi ini telah ditarik kesimpulan-kesimpulan serta
hukum-hukum yang berlaku pada sistem kapitalisme pada umumnya. Materi
yang dibahas dan dikupas Marx tidak mudah untuk dipelajari dan
dicerna. Pengupasannya tidak saja berkaitan dengan materi fakta yang
begitu kaya tapi juga dengan metodologi, cara berpikir yang diterapkan
dalam pengkajiannya. Metodologi dan cara berpikir ini menjelujuri
semua karya Marx yang berkaitan dengan gerakan  pengubahan dan
pembaruan sistem masyarakat. Pandangan filosofis Marx bukanlah untuk
memahami serta menginterpretasi dunia saja. Yang lebih penting adalah
mentransformasi dunia itu sendiri dan sekaligus mentransformasi
kesedaran diri kita sendiri mengenainya.

Das Kapital Karl Marx terbit pada abad ke-19. Kita sekarang sudah
memasuki abad ke-21. Dunia mengalami perubahan dan pergolakan besar
semasa lebih dari satu abad ini. Ilmu pengetahuan pun berkembang,
bertambah dalam dan meluas seiring dengan perubahan dan pergolakan
itu. Wajarlah kita bertanya, masihkah ada relevansi pemikiran Marx
dalam karya utamanya itu pada zaman kita?
(BERSAMBUNG)

*   *   *

Kirim email ke