Puisi dan Cerpen tentang Pantai
Oleh : Irwan Sutjipto 
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=12&dn=20061215232128
  
15-Des-2006, 23:42:10 WIB - [www.kabarindonesia.com] 


      Sekedar sebuah hiburan buat akhir pekan ini saya berbagi puisi dan cerpen 
saya yang ada di file pribadi saya dengan ilustrasi jepretan lama juga waktu 
lagi main ke Carita bersama keluarga. Puisi, cerpen dan foto dibuat diwaktu 
yang berbeda, namun isinya sama, tentang pantai dan memori tentangnya.

Semoga bisa dinikmati dan bagi teman-teman di negeri yang lagi musim dingin, 
agar bisa memberikan sedikit kehangatan dan menambah indahnya kenangan akan 
tanah air kita yang indah ini.

salam
irwan sutjipto

==
Gorengan kampung

…..
Udara pantai yang khas dan dingin
Menerpa wajahku dalam bayangan mentari terbit
Aku terdiam dan menikmati deburan ombak memecah benteng abrasi
Nikmat masa mudaku, kanak-kanak sahabat...

Itu kesukaan ku dulu
Waktu umurku belum duapuluh

Itu kesukaan ku kini, tapi pantaiku ada di hati
Ombak adalah nafsuku
Angin adalah semangatku, inginku, pikirku
Benteng abrasi adalah elingku
Dan telingaku adalah batinku

Setiap saat kudengar sang ombak menerpa bentengku
Tertatih tatih sang benteng menahan gempurannya
Dan kulihat tangan-tangan tak tampak menambah tebalnya si benteng
Kulihat juga uluran sahabat memberi batu, pasir dan semen
Memberi si tangan bahan tambalan

Ketika aku telingaku menjadi penguasa angin
Ombak pun tak kan mengganggu
Bentengku pun kan sangat kokoh
Aku pun telah membangun pulau sebrangku

Kala itu sahabat, uluran tanganmu kan ku sambut dengan secangkir teh
Sepiring gorengan khas kampungku, peyek udang rebon yang nikmat dan sehat
Ntah kapan itu kan datang, aku pun tak tahu
Ku tahu ada masa itu, untuk ku dan dikau sahabat...

Sementara, 
Marilah kita bermain ombak dan angin
Mendengar deburannya
Merasakan hembusannya, dan
Sepercik lentikannya diujung benteng abrasi

....jakarta Nov 05 

=cerpen
Aku dan pantaiku

Aku cinta pantai dan suka gunung, itu kamu tau dari ceritaku.

Tapi pada suatu masa dalam perjalanan hidupku, aku pernah diijinkan untuk 
berdiam di suatu tanah yang pantainya itu hanya 200 meter dari rumah ku. Semasa 
aku lahir dan besar di tanah itu, aku menikmati pantai dan udara laut setiap 
saat yang kuinginkan dan setiap saat kerinduan itu muncul, kerinduan akan 
kebebasan dan ketenangan, sekedar duduk di tepi pantai yang dibendung, agar 
sang ombak tidak menggerus bibir pantai dan tanah tempat tinggalku dan para 
tetangga sesama pengontrak di tanah kehidupan ini.

Kadang sepertinya rada aneh, anak umur 9 tahun duduk sendiri di tepi pantai, 
dalam dinginnya pagi yang sepi dan matahari masih belum juga terjaga benar. 
Tapi itu juga hanya sesekali ku lakukan karena aku takut, waktu itu aku sadar 
betul kalau aku masih kecil dan karenanya aku berjaga-jaga, was was dengan rasa 
takutku setiap kali melangkah dalam gelapnya fajar menuju ke pantai. Walaupun 
aku tahu pantai di masa itu masih ama, tapi bagi anak seumur itu, 200 meter itu 
melewati jalan agak gelap dan ada pohon beringin yang besar dan kelam di 
pinggir jalan ke pantai itu, adalah tantangan yang lumayan mendebarkan dan aku 
takut ada yang mengejutkan ku, entah hantu ataukah orang besar yang iseng, 
siapapun itu yang jelas tentu tidak menyenangkan.

Ketika aku lulus SD, aku pergi ke kota yang jauh dari pantai, bodohnya aku 
ingin menyusul kekasih hati, benih cinta monyet, puppy love yang manis dan 
lugu, tapi toh, anggaplah itu hanya jalan, suatu alasan bagiku untuk 
bersemangat untuk meninggalkan pantai yang ku cintai, bau laut yang ku sukai, 
khas. Sedikit anyir, asin ada seujung cuka di udara dan garam yang banyak 
memberikan sebentuk kehangatan di udara, ditambah lagi kelembaban yang kadang 
samar, yang agak tinggi kadarnya kalau panas hari agak terik, dan udarapun 
menjadi hangat karena uap air yang mengambang di udara. 

Semua itu menjadi simpanan memori di hatiku, dan sewaktu-waktu perlu, tinggal 
dibuka dan dibaca. Dan ketika aku berada di masa lain dari kehidupanku, 
melewati pantai atau berada di laut, memori itu akan muncul dan terbuka dengan 
sendirinya, begitu saja muncul memori itu persis ketika bau khas laut yang 
kulewati itu menyentuh hidungku, dan laut itu seakan bicara sendiri kisahnya 
menghadapi manusia. Kisahnya akan polusi berat yang dia terima, bagaimana 
habisnya pepohonan bakau dan habitat karangnya, ataukah masih ada sisa-sisa 
keperawanannya yang masih bisa dinikmati dan airnya yang masih cukup bersih 
dari tangan dan kerakusan orang yang cuman pengontrak hidup di dunia ini, tapi 
lagaknya seperti yang empunya laut dan isinya. 

Tapi tentu saja bahagia dan senang itu selalu muncul di hati, kala jumpa dengan 
laut yang bersih dan perawan, ada aura kebebasan di situ, ada aroma khas yang 
selalu aku nikmati, setiap pagi pertama kau pulang ke kampung ku, aroma laut 
yang asin, hangat, lembut dan suara-suara ombak yang menggetarkan hati, konser 
alam. Aura laut bersih yang membahagiakan, menimbulkan rasa nyaman dan damai 
yang memenuhi setiap bagian dari ingatan ku. Rasa dan batin ku mengapresiasi 
kebebasan itu dengan tulus, menikmati nya dengan penuh perhatian dan hilang 
kata dan bahasa.

Semenjak kepindahanku ke kota lain itu, setiap libur aku pulang dan tiba di 
rumah setelah melalui jalan yang biasanya dengan mudah mengeluarkan isi perut 
orang yang lagi kurang sehat, atau yang perut nya kurang terlatih untuk dikocok 
ala telur dadar, biasanya para ibu, termasuk ibuku. Tiba di rumah merupakan 
surga yang tiada bandingannya. Aku letakkan tas bajuku di ruang tamu kecil di 
rumah lama yang sekarang sudah entah milik siapa. Ku gendong adikku yang 
sepuluh tahun lebih muda dariku, dan ku gandeng dia keluar, menuju pantaiku. 
Duduk di pinggiran bendungan penahan abrasi dan mengamati. Nelayan yang pulang 
melaut, camar kecil menukik di bibir horison mencari sarapan pagi untuk perut 
kecilnya, yaa, ketenangan yang selalu terekam baik di hatiku, di memori masa 
kecilnya.

Suara ombak yang menerpa batu di bawah bendungan terdengan seperti konser 
sumbang pagi hari, batu-batu itu, sebagian ada yang sebesar mesin cuci dua 
tabung yang karatan dan penuh dengan tiram dan anak-anak karang yang 
menjadikannya seperti karang raksasa berbentuk kubus. Nenekku pernah mengatakan 
bahwa mungkin batu itu sengaja di taruh belanda di masanya untuk mencegah 
abrasi, tapi rasanya sekarnag sudah tidak banyak berfungsi karena lautnya sudah 
lewat di permukaan si batu itu, yang jadi tanda waktu belanda pernah singgah di 
kotaku, disusul jepang yang hanya selewat saja.

Ketika matahari sudah selesai dengan mengucek matanya di belakang punggungku 
dan panasnya mulai sedikit menggeli punggungku, akupun beranjak dari duduk, dan 
ku gapai adikku yang bermain di teras bendungan, mengumpulkan kerang-kerang 
yang berserakan di situ. Kami melangkah menuju rumah. Kandang dalam satu atau 
dua kali pulang kampung, aku menemukan si adik belum bangun, jadilah aku duduk 
sendiri tanpa dia di belakangku, dan aku tidak juga terganggu dengan 
kehardirannya ataupun ketidak hadirannya, dia adikku yang sekarang sudah lebih 
tinggi dariku dan semoga dia jauh lebih sukses dariku.

Kerinduan ku akan pantai tidak pernah keluar dari ruangan memori dipikiran ini, 
karena mamang aku tidak terlalu suka untuk bernostalgia, hanya, ketika ada yang 
memberikan kata kunci untuk itu, kisah pantai itu akan muncul, ataupun ada 
momen di mana aku berada di pantai, memori itu muncul sendiri di pikiranku dan 
aku menikmati saja semuanya dengan bahagia dan mensukuri, karena aku diajarkan 
oleh pantai untuk menikmatinya apa adanya, mengenalnya dengan sepenuhnya, 
suara, warna, bau, rasa, karang, luka, darah dan perih. Indah dan indah, sayang 
dan kasih.

to the one i love.

Jakarta Nov 2004

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke