Gak pakai dwi fungsi tapi tetap bikin serem, serba berkuasa. Mungkin cuman 
persatuan pro demokrasi yang bisa menempatkan tentara di tangsi. Perjuangan 
rakyat Papua bersama dengan rakyat Indonesia lainnya, baru bisa menang!

sumarsastrowardoyo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:           
Lagi-lagi kekerasan militer, sesudah di Pasuruan sekarang diPapua 
Barat, apakah tidak akan berakhir?



Dari Aksi PERAK di Yogyakarta: "Usir 
Militer dari Papua Barat"
Oleh : Yermias Ignatius Degei 

31-Mei-2007, 14:24:34 WIB - 
[www.kabarindonesia.com] 

KabarIndonesia - Front Mahasiswa 
Nasional (FMN), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Aliasi Mahasiswa 
Papua (AMP) dan Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (F-
PEPERA-PB) yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Anti Kekerasan 
(PERAK) melakukan aksi mimbar bebas mengecam kekerasan militer 
Indonesia atas rakyat Papua di depan Asrama Papua jalan Kusuma 
Negara Yogyakarta, Rabu (30/5). 

Aksi yang dimulai sekitar Pukul 09.00 
WIB dan diikuti puluhan mahasiswa itu. Koordinator aksi mimbar 
bebas, Tinus Uaga mengatakan, "Aksi itu dilaksanakan terkait 
penembakan aparat Indonesia terhadap penambangan emas tradisional di 
sekitar areal PT. Freeport Indonesia pada Kamis (24/5) Pukul 17.00 
waktu Papua Barat."

Dikatakan, empat orang tertembak mati 
itu adalah (1) Daro Tabuni, (2) Head Tinal, (3) Stefanus Songgonau, 
dan (4) Anton Jikwa. Sementara itu, tiga orang yang masuk rumah 
sakit belum teridentifikasi identitasnya. 

"Kekerasan militer Indonesia terhadap 
rakyat Papua itu terjadi bukan hanya saat ini. Sejak bangsa Papua 
Barat dianeksasi ke dalam Indonesia secara ilegal, kekerasan militer 
itu terjadi di tanah kami, Papua. Ratusan ribu nyawa orang Papua 
telah dibunuh oleh aparat Indonesia di tanah Papua. 

Maka, katanya, saat ini PERAK menuntut 
segera agar (1) usut dan adili para pelaku pembunuhan (aparat 
militer dan polisi) terhadap rakyat Papua Barat; (2) tarik militer 
organik dan non-organik dari tanah Papua; (3) cabut peraturan-
peraturan yang melegalkan tindakan kekerasan terhadap rakyat, (4) 
berikan jaminan kebebasan dalam menyampaikan pendapat dan hentikan 
refresitas terhadap aksi-aksi rakyat (demonstrasi, mimbar bebas, 
mogog, dan lain-lain); dan (5) stop kekerasan militer dalam bidang 
pendidikan (kampus). 

Dalam aksi mimbar anti kekerasan yang 
sempat memacetkan jalan raya kusuma negara itu, salah satu orator, 
Michael Jitmau mengatakan, otonomi dan pemekaran di Papua sarana 
kekerasan dan pelenyapan orang Papua melalui aparat keamanan di di 
tanah Papua. Aparat militer di Papua bersembunyi sebagai penjaga 
modal kapitalis dan pengawal para elit lokal yang juga telah dibuat 
bimbang dengan otonomi dan pemekaran.

"Otonomi khusus dan pemekaran Papua 
adalah hanya ingin membunuh rasa nasionalisme orang Papua tentang 
masa depan bangsa Papua," katanya. 

Dalam orasinya, Subaidah perwakilan 
dari FMN mengatakan, "Peristiwa penembakan pendulang tradisional 
yang nota bene adalah warga lokal Papua di areal pertambangan PT. 
Freeport Indonesia dan pembubaran paksa oleh aparat terhadap aksi 
massa di bandara Adisucipto Yogyakarta pada Sabtu, (26/5) Pukul 
09.00 WIB menunjukkan bahwa rezim ini benar-benar anti rakyat."

Membuka orasinya, perwakilan SMI 
mengajak masa aksi untuk menyanyikan lagu berjudul " Indonesia 
Negara Berdarah". 

Selain ada beberapa yel-yel 
seperti "Usir militer dari Papua, usir Freeport dari Papua". "Rakyat 
Papua sengaja dibuat bodoh, diadu domba dan hak-hak mereka telah 
lama dibumkan. Ada ketakutan dari pemerintah yang kaki tangan 
kapitalis ini untuk rakyat Papua bangkit melawan," katanya. 

"Kekerasan Aparat Indonesia itu Sejak 
Dulu"
Koordinator aksi, Uaga mengatakan 
bahwa, "Kekerasan aparat Indonesia terhadap rakyat Papua itu bukan 
hal baru. Kekerasan aparat Indonesia itu berawal sejak bangsa Papua 
Barat dianeksasai ke dalam Indonesia."

Dalam pernyataannnya, PERAK menulis, 
pada Tahun 1969 seorang kepala sekolah perempuan di Sarmi bernama 
Ester Yanteo ditelanjangani serta di alat kemaluannya dibakar dengan 
api rokok.

"Jemburwo, aparat keamanan memerkosa 
para wanita. Aparat keamanan memasukan pasir ke dalam alat kemaluan 
para perempuan serta dimasukan ke dalam karung dan kemudian di 
ceburkan kedalam laut," katanya menjelaskan.

Uaga memaparkan data kekerasan militer 
di Papua. Katanya, "Tahun 1968, ada 162 orang penduduk Arfak tewas 
di bunuh aparat keamanan, 28 orang pengungsi yang sedang berusaha 
kembali dibunuh oleh aparat keamanan. Tahun 1970 sebelum perlakuan 
buruk terhadap 80 wanita dan anak-anak terjadi seorang wanita yang 
sedang hamil bernama, Maria Bonspia, ditembak mati oleh aparat 
keamanan dan bayinya dikeluarkan dari perutnya dan dipotong. Saudara 
perempuan wanita itu diperkosa dan dibunuh oleh sekelompok aparat 
keamanan Indonesia."

PERAK menjelaskan, rakyat Papua 
selanjutnya mendengar tentang adanya pembantaian 500 penduduk desa 
di daerah Lereh. Pada Tahun 1970, sejumlah pemimpin desa ditangkap 
dan dimasukan dalam helihkopter. Mereka belum pernah naik pesawat 
dan sangat ketakutan. Helikopter-helikopter tersebut lepas landas 
dan terbang melintasi perbukitan setempat dan mereka dibuang dari 
ketinggian 300 m hingga mati tulang berulang. Pada Tahun 1977, pihak 
aparat keamanan Indonesia menindas secara keras setiap bentuk 
perlawanan masyarakat. 

Seorang wartawan Australia ketika 
memasuki suatu daerah diberitahu oleh seorang pegawai pemerintah 
bahwa 900 warga yang melawan telah di bunuh oleh aparat keamanan. 
KOMPAS sebuah harian terkemuka di Jakarta, memberitakan bahwa sungai 
Baliem dipenuhi oleh jasad manusia. Pada tahun 1981, 30.000 lebih 
orang di bunuh di tanah Papua. 

Data-data kekerasan aparat keamanan 
Indonesia (2000-2006) belum terdata dengan baik. Katanya, selain 
data di atas, pada Tahun 2000, ELS-HAM Papua melaporkan korban 
kekerasan aparat keamanan di sebagai wilayah di Papua. 

Kabupaten Paniai antara tahun (1968-
1998) tercatat meninggal 614, hilang 13, diperkosa 94; Kabupaten 
Biak (1962-1972 dan 1998) meninggal 102, hilang 3, dianiaya 37, 
ditahan 150; Kabupaten Wamena (1977), Kecamatan Kelila 201 orang 
tewas, Kecamatan Asologaima 126 orang tewas, Kecematan Wosi 148 
orang tewas; Kabupaten Sorong (1965-1999) meninggal 60 orang, hilang 
5 orang, diperkosa 7 orang; dan Kabupaten Jayawijaya (1996-1998) 
meninggal 137 orang, hilang 2 orang, diperkosa 10 orang, diniaya 3 
orang, di bakar 13 gereja, 13 kampung, 166 rumah dan 29 rumah bujang 
serta kabupaten lainnya masih belum terdata dengan baik. 


Kirim email ke