http://www.sinarharapan.co.id/berita/0704/19/nas10.html
HUKUM
SBKRI Hanya Mati Suri
Oleh
Meilisa Husein

Hak dasar seseorang untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif 
dan memperoleh status kewarganegaraan telah dijamin melalui Undang-Undang 
Dasar 1945 dan amendemennya. Hingga saat ini penghapusan upaya diskriminasi 
berkaitan dengan status kewarganegaraan telah dilakukan pemerintah. Adanya 
Keputusan Presiden No 56 Tahun 1996 dan Instruksi Presiden No 5 Tahun 1999 
menyatakan bahwa Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) 
tidak dibutuhkan lagi. Faktanya, ternyata tidaklah demikian.
Berawal dengan penerapan asas sanguinis dalam UU No 62 Tahun 1958, yaitu 
status kewarganegaraan didasarkan pada darah keturunan dari ayah, membawa 
dampak kepada warga negara Tiongkok yang ada di Indonesia pada saat itu. 
Permasalahan warga negara Tiongkok inilah yang menimbulkan status 
dwikewarganegaraan karena Republik Rakyat Tiongkok juga menerapkan asas 
sanguinis sejak tahun 1929. Konflik ini sempat muncul pada tahun 1965, 
sehingga situasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan RRT memanas 
disertai dengan adanya pemulangan warga negara Tiongkok.
Mereka yang tertinggal dan memilih untuk menetap di Indonesia kemudian 
mengajukan kewarganegaraan melalui proses naturalisasi. Kepemilikan bukti 
kewarganegaraan (SBKRI), termasuk keturunannya sangat penting, sebagai 
jaminan bahwa mereka lahir di wilayah negara Indonesia, dan memenuhi 
persyaratan utama menjadi warga negara Indonesia.
Ironisnya, praktik-praktik SBKRI dalam kepengurusan administrasi 
kependudukan masih berlaku dan masih dapat ditemukan dalam situs resmi 
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta www.jakarta.go.id dan 
www.kependudukancapil.go.id. Demikian pula dalam pengurusan permohonan 
paspor di kantor imigrasi.
Lagi pula itu juga masih tercermin dalam beberapa aturan hukum, di antaranya 
pertama, Surat Edaran Direktur Jenderal Imigrasi No F-UM.06.01-845 
tertanggal 9 Juli 2002 perihal SBKRI bagi Permohonan Paspor RI. Syaratnya 
cukup melampirkan Akta Kelahiran dan KTP.
Apabila diketemukan kecurigaan/hal-hal yang berlawanan, misalnya tidak dapat 
berbahasa Indonesia, kepada yang bersangkutan dapat dimintakan bukti 
kewarganegaraan atas namanya, orang tuanya, atau suaminya, dan diadakan 
penyelidikan hingga tuntas. Begitu halnya Surat Edaran Direktorat Jenderal 
Imigrasi No UM01.10-0626, tertanggal 15 April 2004 perihal SBKRI bagi 
permohonan Paspor RI, juga mencantumkan dalam kasus-kasus tertentu sebelum 
penerbitan paspor RI. Lainnya adalah Surat Edaran Direktorat Imigrasi No 
F-IZ.02.07-1025, tertanggal 3 Agustus 1998 perihal Keraguan Status 
Kewarganegaraan RI terhadap seorang yang mempunyai ciri-ciri/profil, seperti 
orang asing tetapi tidak memiliki SBKRI.
Uraian di atas secara kasat mata memperlihatkan bahwa praktik-praktik 
diskriminasi masih tetap berlangsung hingga sekarang. Hal ini jelas 
menimbulkan pertanyaan karena pengertian keragu-raguan itu sendiri tidak 
mempunyai batasan yang jelas dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Peneliti Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI).

Kirim email ke