http://www.media-indonesia.com/editorial.asp?id=2007052523241506
Sabtu, 26 Mei 2007 EDITORIAL Sanggahan Antiklimaks di Halaman Istana PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya bereaksi terhadap pernyataan Amien Rais yang terus terang dan blakblakan. Dalam konferensi pers di halaman Kompleks Istana Kepresidenan kemarin, SBY mengatakan ia tidak pernah menerima dana asing. Ia pun tidak pernah ditawari dana oleh mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Paul Wolfowitz. Dalam nada dan emosi yang sama, SBY juga mengatakan SBY-JK tidak menerima dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) yang kasusnya tengah diadili. Lebih dari itu, SBY kemudian mengancam akan menuntut Amien Rais dan pihak-pihak lain yang dianggap telah memfitnahnya terkait dengan aliran dana nonbujeter DKP maupun dana asing untuk kampanye calon presiden SBY-JK. SBY bahkan mengungkapkan ia telah membaca Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2-3 kali dan mengutip Pasal 310 ayat (1) yang menyebutkan 'Barang siapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh, dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan dan denda setinggi-tingginya Rp4.500'. Namun, sekalipun mengutip KUHP, SBY mengatakan pula tidak bermaksud menuntut secara hukum Amien Rais. Sebuah pernyataan antiklimaks, yang dilontarkan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan yang mestinya memberi contoh bagi tegaknya hukum tanpa pandang bulu. Lalu, untuk apa KUHP itu dibaca hingga dua-tiga kali oleh seorang presiden? Untuk apa konferensi pers di halaman Kompleks Istana Kepresidenan itu diselenggarakan bila hanya untuk menyanggah, tetapi tidak disertai dengan keteladanan yang sempurna? Sayang seribu sayang, Presiden Yudhoyono tidak memakai kesempatan itu untuk memberikan contoh civic education yang baik kepada publik. Hukum itu bisa pahit, sangat pahit. Genderang hukum sudah ditabuh, tetapi yang muncul kerancuan bersikap, kompromistis. Memang, hanya pemimpin yang kuat yang berani menerima risiko yang paling pahit karena berani menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Yang paling pahit adalah keberanian membongkar dan mengadili semua masalah yang terjadi sekarang dalam pemerintahan sendiri. Yang paling tidak punya risiko adalah melihat ke belakang, berorientasi ke masa lampau, dengan membongkar dan mengadili semua masalah dari pemerintahan sebelumnya. Secara karikatural dapat dikatakan, 99% dari kasus KKN yang dibongkar kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan kasus lama dan hanya 1% yang merupakan kasus baru. Terbanyak adalah cerita silam, bukan kasus dalam pemerintahan sekarang. Terus-menerus membongkar kasus lama telah menimbulkan perasaan tidak aman, yang menghantui kepala daerah (gubernur, wali kota, bupati), dan para pengusaha, bahkan juga sel-sel sosial yang tidak melihat adanya optimisme ke masa depan karena pemerintah sekarang cuma menghabiskan energi untuk mengurus dan mengadili perkara masa silam. Perasaan tidak aman itu jelas tidak kondusif bagi upaya membangun bangsa, menguatkan konsolidasi, serta menumbuhkan partisipasi publik yang sangat diperlukan untuk menyongsong masa depan bangsa yang lebih baik. Presiden Yudhoyono telah menyelenggarakan konferensi pers dengan mengutip pasal KUHP untuk merespons pernyataan Amien Rais yang terus terang. Yaitu ada calon presiden tertentu dalam Pemilihan Umum 2004 yang menerima dana asing. Tetapi yang terjadi adalah antiklimaks karena SBY tidak bermaksud menuntut Amien Rais secara hukum. Maka, hilanglah pelajaran terbaik yang bisa ditunjukkan seorang presiden. Sebab kasus SBY versus Amien Rais itu mestinya menjadi pelajaran yang paling berharga untuk dibawa ke pengadilan dan di sanalah semua yang hitam-hitam dan pahit-pahit ditelanjangi habis-habisan. --------------------------------- --------------------------------- Don't pick lemons. See all the new 2007 cars at Yahoo! Autos.