Rabu, 09 Mei 2007
Sejumlah Pihak Coba Menutupi Peristiwa Mei Dokumen Tim Gabungan Pencari Fakta Dikabarkan Hilang Jakarta, Kompas - Pembunuhan lebih dari 1.000 orang yang terjadi pada kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta disinyalir coba ditutup sejumlah pihak dengan berbagai cara. Misalnya, dengan mengurangi jumlah korban atau mengalihkan isu peristiwa tersebut. "Masih sulit untuk memastikan, siapa yang berusaha menutup peristiwa itu. Sebab, otak pelaku dan duduk perkara kerusuhan tersebut sampai sekarang masih gelap," tutur mantan anggota Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998, Ester Yusuf, dalam diskusi "Mengurai Kerusuhan Mei 1998" di Jakarta, Selasa (8/5). Lebih dari 150 foto kerusuhan Mei 1998 dan aksi mahasiswa yang terjadi pada masa-masa itu dipasang di sekeliling ruang diskusi. Sementara di belakang pembicara, terpasang foto empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas ditembak pada 12 Mei 1998, yaitu Heri Hertanto, Hendriawan Sie, Hafidin, dan Elang Mulya Lesmana. Peristiwa penembakan kemudian memicu kerusuhan sosial di Jakarta dan sekitarnya dan mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998 dengan mundurnya Presiden Soeharto. Menurut Ester, usaha menutup pembunuhan pada kerusuhan Mei antara lain dilakukan dengan menonjolkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dari etnis Tionghoa yang juga terjadi dalam peristiwa itu. "Ironisnya, kekerasan seksual itu juga hanya disebut puluhan dengan alasan sulit mendapatkan pengakuan," kata dia. Usaha penutupan peristiwa, lanjut Ester, juga terlihat dengan kasus hilangnya dokumen berikut data-data asli dari Tim Gabungan Pencari Fakta yang diserahkan kepada pemerintah. Yang sekarang tersisa hanya fotokopi dari dokumen itu. Adian Napitulu, mantan aktivis 1998, mengenang, sejak awal pemerintah berusaha menutup kasus pembunuhan yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998. Misalnya, dengan menyebut potongan tubuh yang ditemukan hangus dalam peristiwa terbakarnya Plaza Sentral Klender, Jakarta Timur, bukan orang, namun manekin. Padahal, jika manekin pasti meleleh dan tidak hangus karena terbuat dari plastik Mantan Sekretaris Tim Relawan Kerusuhan Mei Sandyawan Sumardi menuturkan, tanggapan masyarakat internasional atas peristiwa itu juga menjengkelkan. "Saya pernah membawa kasus ini ke Kongres Amerika. Saat mendengarnya, sebagian dari mereka memang menyatakan prihatin. Yang menjengkelkan, belakangan mereka bertanya bantuan apa yang dibutuhkan. Seolah-olah, korban peristiwa itu hanya dinilai dengan angka," kenangnya. "Waktu itu saya jawab tidak perlu! Karena Amerika juga terlibat di dalamnya. Sebab, sebagian otak dari kerusuhan adalah mereka yang dilatih antiteroris di Amerika," ujar Sandyawan. Namun, Sandyawan berharap, kondisi itu tidak menyurutkan usaha untuk membongkar apa yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998. Sebab, pembongkaran kasus pelanggaran HAM berat memang butuh waktu lama. Perjuangan untuk membuka kasus kerusuhan Mei 1998 sebenarnya terus dilakukan, termasuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Namun, perjuangan itu kandas dan terbentur pada kekuatan politik di DPR yang tidak menghendaki kasus kerusuhan Mei 1998 dibuka. Komisi III DPR telah mengusulkan kepada pimpinan DPR untuk menyurati Presiden Yudhoyono guna membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kerusuhan Mei dan Semanggi. Namun, usulan Komisi III DPR itu kandas di Badan Musyawarah DPR. Dalam Rapat Bamus, 13 Maret 2007, empat fraksi (Fraksi PDI-P, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi PAN, Fraksi PDS) setuju keputusan Komisi III DPR dibawa ke paripurna DPR. Namun, enam fraksi (Fraksi Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi PKS, Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, dan Fraksi Partai Bintang Reformasi) menolak. (nwo)