(Tulisan ini juga disajikan dalam website
http://kontak.club.fr/index.htm)



                                Sekitar G30S, Suharto, PKI dan TNI-AD

Berikut di bawah ini adalah lanjutan dari serangkaian tulisan Sdr Harsutejo
mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan peristiwa G30S. Dalam tulisan
ini secara berturut-turut ia mengungkap kembali soal-soal yang berkaitan
dengan G30S, istilah Gestapu dan Gestok, Lubang Buaya, Gerwani, Letkol
Untung, Kolonel Abdul Latief, Syam Kamaruzaman, Brigjen Suparjo dll.

Serangkaian tulisan ini bisa merupakan bantuan kepada banyak orang untuk
memperoleh informasi atau pandangan mengenai berbagai hal yang berkaitan
dengan peristiwa tersebut, yang berbeda dengan versi rejim militer Orde
Baru.



                                                        HARI KESAKTIAN
PANCASILA (10)

Oleh: Harsutejo



Seperti kita ketahui pembunuhan enam orang jenderal dan seorang perwira
pertama AD yang dilakukan oleh gerombolan militer G30S terjadi pada pagi
hari 1 Oktober 1965, selanjutnya pasukan tersebut dilumpuhkan oleh RPKAD.
Kejadian itu ditahbiskan sebagai Hari Kesaktian Pancasila dengan SK
No.153/1967 27 September 1967, diteken oleh Pejabat Presiden Jenderal
Suharto.



Sebagai yang ditulis oleh wartawan senior Joesoef Isak, pentahbisan 1
Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila merupakan “suatu perzinahan politik
khas gaya Suharto, menggunakan gugurnya para jenderal dan Pancasila untuk
melegitimasi kepemimpinannya. Apa yang dilakukan Suharto pada 1 Oktober 1965
ketika sebelumnya Kolonel Latief memberitahukan kepadanya tentang gerakan
perwira muda yang akan menangkap sejumlah jenderal sebelum Hari ABRI 5
Oktober 1965?



Bukankah justru Suharto yang mengkhianati Pancasila, mengkhianati Saptamarga
dan para jenderal rekan-rekannya sendiri dengan membiarkan semua gerakan itu
berlangsung? Kita semua baru tahu belakangan sesudah rencana konspirasi
meledak – rupanya informasi Kol. Latief itu berkaitan dengan gerakan Letkol.
Untung terhadap Jenderal Yani cs – tetapi apa yang dikerjakan Suharto yang
sudah tahu beberapa hari sebelum kejadian berlangsung?” Jenderal Suharto
justru menangguk di air keruh, dia bagian penting dari konspirasi itu dengan
menempuh jalannya sendiri!



Jenazah para jenderal tersebut dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di
Lubang Buaya yang kemudian digali pada 4 Oktober 1965. Dalam keadaan
emosional kesedihan orang banyak sejak penggalian jenazah, pemakaman di
Kalibata, dimulailah kampanye hitam terhadap PKI dan ormas pendukungnya,
utamanya Gerwani berupa dongeng horor fitnah tentang tindakan biadab
terhadap para jenderal seiring dengan fitnah terhadap AURI dan petingginya.
Setelah situasi matang, maka dilakukanlah gerakan militer untuk melakukan
pembunuhan massal dengan menggunakan emosi tinggi sebagian rakyat terhadap
anggota PKI dan siapa saja yang dianggap PKI serta pendukung Bung Karno yang
lain di Jateng, Jatim, Bali, dan akhirnya di seluruh Indonesia. Hal ini
dilanjutkan dengan pembersihan terhadap siapa saja, utamanya aparat yang
mendukung BK, pertama-tama AURI selanjutnya di kalangan ABRI yang lain.
Muaranya ialah menjatuhkan Presiden Sukarno.



Hari Kesaktian Pancasila diabadikan dalam bentuk Monumen Pancasila Sakti
yang terletak di Lubang Buaya, Pondokgede, Jakarta. Gagasan mendirikan
monumen ini dituangkan dalam surat perintah Men Pangad Brigjen Hartono pada
2 Desember 1965, ketika pembantaian rakyar tak berdosa sedang berjalan.
Disebutkan monumen tersebut merekam fakta-fakta pemberontakan G30S/PKI,
teror, penculikan, pembunuhan, perebutan kekuasaan hendak meruntuhkan negara
Pancasila RI.



Mayjen dokter Soedjono yang menulis buku Monumen Pancasila Sakti (1973)
melukiskan apa yang disebutnya kebiadaban di Lubang Buaya antara lain
seperti berikut. Segerombolan perempuan Gerwani berteriak melompat-lompat,
menari. Dengan tiada rasa kemanusiaan mereka memainkan pisau silet ke tubuh
Jenderal Prapto. “Jenderal Prapto telah meninggal dianiaya oleh gerombolan
haus darah yang tak mengenal Tuhan kecuali dewa-dewa mereka Marx, Lenin dan
Aidit”.



Betapa entengnya Pak Jenderal Dokter tersebut ikut memfitnah, yang tentunya
sudah digodok dalam dinas intelijen. Kita tidak tahu apakah Pak Dokter yang
tentunya orang saleh beragama ini di kemudian hari menyesal akan fitnah yang
ikut disebarkannya dan menancap pada sebagian rakyat dan meracuni generasi
muda Indonesia. Fitnah model itulah yang antara lain diabadikan dalam
diorama pada apa yang disebut Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya.



Meski monumen ini berisi fitnah, tapi kelak jangan sampai dihancurkan,
tambahkanlah satu plakat yang mudah dibaca khalayak: “Di sini berdiri
monumen kebohongan”, agar kita semua belajar bahwa pernah ada masanya suatu
rezim menghalalkan segala cara untuk menopang kekuasaannya, dengan fitnah
paling kotor dan keji pun. (Dari naskah belum terbit).



No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.488 / Virus Database: 269.13.37/1042 - Release Date: 01/10/2007
18:59

Kirim email ke