Mula Harahap <[EMAIL PROTECTED]> wrote:  Kita sedang berdiskusi mengenai 
"strategi kehumasan seorang 
presiden", bukan mengenai "psikologi seorang penculik".

Dengan lain perkataan, yang sedang kita persoalkan ialah cara seorang 
presiden dalam mengambil manfaat politik (baca: mendongkrak 
popularitas) dari sebuah pemberitaan yang sedang hangat, yaitu sebuah 
tindak pidana penculikan atas diri seorang anak kecil.

Adalah hal yang wajar-wajar saja kalau seorang kepala negara atau 
kepala pemerintahan mengambil manfaat politik dari sebuah pemberitaan 
yang sedang hangat dan berkaitan dengan peristiwa yang menimpa salah 
seorang warganya. Hal itu juga dilakukan oleh presiden AS, perdana 
menteri Inggeris, presiden Filipina, perdana menteri Malaysia, atau 
siapa saja.

Hanya, kalau "timing" dan "cara masuknya" kurang pas, niat untuk 
mengambil manfaat politik itu justru jadi merugikan presiden sendiri. 
Dan itulah yang sedang dialami oleh presiden SBY. Komentar presiden 
itu jadi menimbulkan reaksi di mana-mana.("Ngapaian dia memelas 
kepada penculik?"--"Mengapa hanya memberi komentar tentang kasus 
Raisya? Bagaimana dengan anak-anak lain korban penculikan?"--"Koq 
korban lumpur Lapindo tidak dipikirin?"--dsb).

Menurut hemat saya karena setiap perkataan dan tindakan seorang 
presiden selalu berkonotasi politis (suka atau tidak suka, itu adalah 
fakta), maka sebaiknya sebelum memberi komentar presiden mendengarkan 
dulu pendapat kapolri. 

Dalam kasus ini, saya yakin presiden pasti tidak berkonsultasi dulu 
dengan kapolri. Kalau presiden berkonsultasi dulu dengan kapolri, 
pasti kapolri akan mengatakan, "Kayaknya kami sudah punya titik 
terang, Pak. Dan dalam waktu dekat pasti bisa kami temukan...". Nah, 
berdasarkan keterangan demikian maka presiden pun akan berkata 
lantang di depan media massa, "Saya minta polisi agar segera 
menemukan Raisya dan menangkap pelakunya!"

Nah, kalau di media massa kita membaca perintah presiden kepada 
kepolisian untuk menemukan Raisya, lalu besoknya kita membaca berita 
bahwa polisi telah berhasil menemukan Raisya, maka citra presiden dan 
citra polisi akan akan naik. Dan sebagai rakyat kita pun semakin 
merasa mantap karena dipimpin oleh seorang presiden yang 
ternyata "tough" dan "decisive", dan memiliki aparat kepolisian yang 
ternyata tanggap terhadap perintah atasannya dan harapan 
masyarakatnya.

Sekali lagi, yang kita diskusikan adalah "strategi kehumasan seorang 
presiden", bukan "psikologi seorang penculik".

Horas,

Mula Harahap




In [EMAIL PROTECTED], "Putra" 
wrote:

Gimana sih, kalau Anda orangtua korbannya apa tidak cemas Presiden
menantang si penculik dengan memerintahkan polisi menangkapnya? Apa
statement "menantang" itu tidak berbahaya sama sekali atau tidak
mempunyai resiko apa2 terhadap korban penculik?

Lagipula tidak ada yg tau latar belakang penculik dan motif
penculikan. Kalau tiba2 ditantang seperti itu di TV ("Saya minta
polisi agar segera menemukan Raisya dan menangkap pelakunya!"), lalu
ternyata penculiknya tersinggung dan korbannya di"apa-apa"kan, apa
presiden mau bertanggung jawab? Kalau masalah delegasi, tidak ada pers
conference SUDAH PASTI Polri DIMINTA tanggung jawabnya oleh presiden.

Saya kira tidak ada yang salah dengan statement SBY. Berhubung sewaktu
itu penculikan belum terungkap dan motifnya masih belum jelas, dan
keselamatan korban adalah hal yang diutamakan. Memelas dahulu adalah
tindakan yang persuasif (pancingan), lagipula penegakan hukum pasti
dijalankan kalau pelakunya sudah tertangkap.






e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

       
---------------------------------
Fussy? Opinionated? Impossible to please? Perfect.  Join Yahoo!'s user panel 
and lay it on us.

Kirim email ke