Tour Gitu Loh!!!!! http://groups.yahoo.com/group/ivands/message/391 Dalam perjalanan ke kantor pagi ini, saya mendengar radio yang kebetulan menyiarkan iklan suatu pusat niaga yang menyebut diri CBD-CBD, mungkin maksudnya adalah central business distrik atau semacamnya, dan seperti biasanya tokoh penarik minat pembeli toko di kawasan niaga itu adalah Ngkoh-ngkoh atau A ko A ko, kadang disebut Babah atau apalah sebutan umum nya yang memang dikenal baik di kalangan masyarakat indonesia sebagai representasi dari sebutan untuk laki-laki tionghoa, pedagang sukses atau pintar berdagang dan bergaul dengan etnis pedagang lainnya. Dengan gaya dipelo-pelokan, keluarlah promosi khas Ngkoh media massa untuk menggambarkan betapa menguntungkannya berinvestasi dengan membeli toko di kawasan itu. Sebagai orang tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, bahasa ibu saya adalah bahasa Indonesia, tepatnya melayu pesisir dan dari kecil saya terbiasa mendengarkan dan dilatih untuk mengenali bahasa indonesia yang baik dan benar, mungkin awalnya cuma bahasa indonesia yang baik, belum yang benar dan dalam perjalanan waktu saya mengenal dan bisa menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Mendengarkan omongan yang dipelo-pelokan itu, sebagai manusia saya bisa mengerti bahwa itu adalah promosi dan itu merupakan joke-joke sosial yang kelihatannya lucu bagi sebagian orang, namun bagi saya sebagai pribadi yang dilahirkan sebagai orang tionghoa, sebetulnya merupakan penghinaan, penghinaan atas ketidak mampuan masyarakat tionghoa yang seolah-olah tidak mampu menggerakkan lidahnya untuk beradaptasi dengan bahasa Indonesia. Tidak bisa dipungkiri memang, banyak di antara saudara-saudara saya yang masih berbicara dengan intonasi yang mirip seperti sedang berbicara bahasa dialeknya entah itu mandarin, kong hu, khek, hok kien, tio ciu dan dialek tionghoa lainnya, namun, kepeloan mereka saya kira tidak lah separah yang ditirukan oleh para pelaku iklan tersebut yang saya yakin hampir tidak ada yang dari etnis tionghoa, kalaupun ada saya kira orang tionghoa yang melakukan itu adalah orang miskin yang sedemikian butuh duitnya dia, sampai perlu mempermalukan etnis sendiri dengan menggunakan gaya yang rasanya hanya ada di tahun 1800 dan awal 1900, atau hanya digunakan oleh engkong-engkong atau kakek-kakek yang berusia 70 - 80 tahun, selain itu rada langka sepertinya, walaupun ada tentu ybs itu bermukin di daerah yang lebih dari 60% penduduknya menggunakan dialek bahasa tionghoa entah itu hokkien atau tio ciu dst, yang memang masih ada di beberapa propinsi di Indonesia ini. Tapi ya, itulah joke sosial dan masih banyak joke lain yang dibentuk dari etnis padang misalnya dan tidak lupa dari etnis madura, batak dan jawa. Jadi, memang masyarakat kita itu senang dengan joke-joke yang seling menyindir dan kadang menghina etnis lain. Itu fakta kehidupan. Ada satu hal lagi yang paling menyakitkan bagi saya pribadi, paling tidak begitu, bahwa dangkalnya pemahaman masyarakat kita yang menganggap orang tionghoa itu cuma tahunya berdagang dan berbisnis, dan ini secara langsung atau tidak langsung akan membangun pemikiran bahwa orang tionghoa itu mau menjual bangsanya demi uang demi bisnis. Padahal kalau kita mau menilik sejarah dan membaca cerita-cerita yang ditulis dalam sejarah orang tionghoa, berdagang itu bagi orang tionghoa, bukanlah suatu pekerjaan yang membanggakan bahkan banyak orang tionghoa yang menganggap berdagang itu adalah jalan terakhir supaya bisa hidup alias survival methods belaka. Bagi orang tionghoa, mengabdi pada negara, bangsa dan tanah air itu dengan menyumbangkan tenaga dan pikiran emrupakan pekerjaan yang mulia dan ini tercermin dari budaya bersekolah, menimba ilmu yang dari tahun 4000 an sebelum masehi telah dilakukan oleh orang tionghoa, dan tertulis di banyak kitab sejarah, baik itu berupa cerita karangan para pujangga tiongkok kuno atau pun dari catatan sejarah yang dibuat oleh para ahli sejarah kerajaan tiongkok. Dan kita semua tentu pernah membaca bagaimana para cendekiawan bersusah payah untuk mengikuti ujian negara untuk bisa memperoleh kedudukan baik dan mengabdi kepada kerajaan, kepada masyarakat, bangsa dan negara. Banyak kisah sedih dan gembira yang dihasilkan dari perjalanan hidup para cendekiawan/pelajar ini, mulai dari yang berbau mistik dan ada hantu-hantunya sampai yang runut dan logis serta bedasarkan fakta sejarah lengkap bisa kita temukan di banyak bacaan tentang tiongkok jaman doeloe kala. Dari beberapa kisah yang pernah saya baca, para pelajar/cendekiawan yang gagal ada yang lalu mesti berdagang untuk menafkahi keluarganya, namun mereka menyebutkan aktivitas berdagang itu sebagai pekerjaan hina demi menyelamatkan diri dan keluarga. Ini menunjukkan betapa pentingnya menuntut ilmu dan mengabdi negara bagi masyarakat tionghoa dari jaman tiongkok kuno dan tentunya budaya yang telah tertanam beribu tahun ini, merupakan suatu tonggak berpikir yang sudah tertanam di dalam sel-sel tubuh, bukan hanya otak, dari masyarakat keturunan tionghoa. Bukan berarti aktivitas berdagang itu tidak penting bagi masyarakat tiongkok kuno, namun dari sisi tujuan, cita-cita dan harapan, bagi banyak orang tionghoa, berdagang bukanlah suatu tujuan, suatu nilai atau martabat yang membanggakan. Orang tionghoa akan sangat bangga jika anaknya berprestasi di pendidikan, inilah alasan kenapa orang tiohghoa mau membayar mahal, bahkan sangat mahal untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Saya sendiri secara pribadi menjadi saksi akan hal ini dan sampai hari ini masih juga menjadi saksi bagaimana para orang tionghoa di Indonesia mau membayar demikian mahalnya untuk bisa melihat anaknya sekolah di sekolah yang terbaik di kotanya, biarpun itu berarti mereka mesti mengorbankan tabungan mereka dan banyak porsi dari pendapatan mereka, dengan harapan agar anak-anaknya nantinya bisa bekerja di perusahaan asing, perusahaan besar yang ternama dan memperoleh kedudukan yang baik, hidup enak. Paling tidak lebih enak dari mereka, yang sebagian adalah pedagang (mungkin). Unek-unek pagi ini, mungkin tidak bisa saya teruskan dengan menuliskan solusi apa dan apa yang saya harapkan dari masyarakat Indonesia yang memang tidak dalam keadaan sehat, dan iklan di radio itu sebagai mana iklan-iklan lainnya tentu akan saya anggap sebagai bagian dari realita kehidupan dan pernik-pernik kehidupan yang memang setiap hari mewarnai kehidupan kita, hanya saya ingin menggugah lagi semangat kebangsaan kita semua untuk melihat kembali bahwa masyarakat tionghoa Indonesia itu sesungguhnya tidak ingin sekedar berdagang di negeri ini, dan kesetiaan dan pengabdian kepada negara yang ingin dilakukan oleh masyarakat tiongkok kuno itu, bagi masyarakat tionghoa Indonesia bukan lagi dalam bentuk ingin pulang kampung ke negeri tiongkok sana atau dikenal dengan nama RRC plus Taiwan, tapi lebih bagaimana mengisi dan berkontribusi pada kehidupan di negara ini yang tanah nya telah kami injak sejak kecil dan airnya telah kami minum juga dari bayi. Dan saya kira itu telah dibuktikan di jaman Belanda dulu dengan banyaknya orang tionghoa yang ikut dalam pemerintahan di jaman itu, dan juga di awal-awal kemerdekaan Indonesia yang kemudian dilanjukan lagi setelah jaman reformasi belakangan ini. Semoga itu bisa berkembang lebih baik lagi dan rasa cinta tanah air bagi masyarakat Tionghoa Indonesia bisa termanifestasikan dengan lebih baik lagi dan kontribusi langsung dalam jajaran pemerintahan (yang bersih tentunya) bisa terjadi. Memang ada sebagai yang sangat kecil, yang masih ingin pulang ke negeri leluhur sana, tapi saya kira toh itu bisa mereka lakukan dengan melakukan tour saja. Tour gituloh!!! 210207 SJW Diskusi dan pertanyaan mohon di kirim ke japri;[EMAIL PROTECTED]
--------------------------------- Cheap Talk? Check out Yahoo! Messenger's low PC-to-Phone call rates.