KOMPAS - Sabtu, 29 September 2007  
     
     
     

      Tragedi Nasional 1965 


      Asvi Warman Adam 

      Ada informasi yang masih perlu diklarifikasi lebih lanjut, peringatan 
"Hari Kesaktian Pancasila" akan diadakan di Istana Negara. Jika benar terjadi, 
timbul pertanyaan, mengapa tidak lagi diadakan di Lubang Buaya. Apa makna 
perubahan dalam konteks ingatan masyarakat? 

      Sejak tahun 1998 terjadi perubahan signifikan dalam memperingati apa yang 
disebut dengan "Hari Kesaktian Pancasila". Berbeda dengan tahun-tahun 
sebelumnya, tidak ada lagi wajib tayang film Pengkhianatan G30S/PKI pada malam 
harinya. 

      Ketika Megawati menjadi Wakil Presiden, ia menjadi inspektur upacara. 
Namun, tidak ada lagi peninjauan ke sumur tempat jenazah para jenderal 
ditemukan. Upacara dibuat sesingkat mungkin. Saat Megawati menjadi Presiden, 
yang menjadi inspektur upacara bukan lagi presiden. Tahun 2006 upacara tetap 
diadakan di Lubang Buaya, tidak ada lagi acara peninjauan sumur, tetapi 
Presiden Yudhoyono sempat berbincang-bincang sejenak dengan keluarga pahlawan 
revolusi. 

      Masyarakat tentu dapat memahami sikap dan perasaan Megawati yang ayahnya 
dijatuhkan dari kursi kepresidenan justru karena peristiwa yang meletus tanggal 
1 Oktober 1965. Tokoh yang sangat dirugikan karena peristiwa itu adalah Bung 
Karno. Selain kehilangan jabatan, namanya dipermalukan karena sebagai Presiden, 
ia dinyatakan dalam konsiderans sebuah ketetapan MPRS ikut mendukung gerakan 
yang bertujuan justru untuk menggulingkan dirinya. 

      Perubahan yang terjadi pada era Megawati mengenai peringatan di Lubang 
Buaya sebetulnya menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa persoalan ini perlu 
diselesaikan sebaik-baiknya dan tidak lagi dilihat dari kacamata sejarah versi 
resmi yang ditanamkan demikian lama dalam benak masyarakat. 

      Peringatan yang dilakukan setelah era reformasi dari tahun ke tahun di 
Lubang Buaya telah menimbulkan kerepotan tersendiri bagi siapa pun yang menjadi 
presiden. Barangkali pergantian tempat upacara itu dapat dianggap sebagai 
solusi. Yang jelas bagi rakyat banyak, peristiwa itu tidak lagi menjadi sesuatu 
yang perlu diingat. Ini terlihat dari sikap tidak lagi mengibarkan bendera 
setengah tiang pada 30 September dan sepenuh tiang keesokan harinya. Hal ini 
berbeda dengan pengibaran bendara jauh hari menjelang 17 Agustus yang dilakukan 
segenap masyarakat secara spontan dan bersemangat. 

      Apabila diselenggarakan di Istana, itu dapat ditafsirkan acara tersebut 
diangkat sebagai upacara nasional. Tentu temanya tidak lagi memperingati Hari 
Kesaktian Pancasila karena itu tidak relevan. Juga tidak berhubungan dengan 
kehebatan golongan tertentu atau pengkhianatan suatu kelompok masyarakat. 
Sebaiknya tema yang diusung adalah "Mewujudkan Rekonsiliasi Nasional". Di 
tengah ancaman disintegrasi bangsa, tema itu dapat merekatkan kesatuan semua 
golongan yang ada di tengah masyarakat. 

      Kalau ingin melakukan penghormatan terhadap para pahlawan revolusi, hal 
itu dapat pula dilakukan di Taman Makam Pahlawan Kalibata karena jenazah mereka 
sudah dipindahkan ke sana. Seusai upacara kenegaraan, sebaiknya dilakukan 
pertemuan antara presiden dan veteran/pejuang lintas zaman dan Forum 
Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB). Forum tersebut merupakan ajang pertemuan para 
putra-putri tokoh nasional yang dulu pernah bertikai dan berbeda paham dan 
ideologi. Anak-anak para tokoh tersebut menyadari bahwa di Tanah Air: (1) 
konflik harus dihentikan dan (2) konflik jangan diwariskan. Ikut aktif dalam 
forum ini Amelia Yani (putri Jenderal A Yani), Ilham Aidit (putra DN Aidit), 
putra Omar Dani, Sarjono Kartosuwiryo, putra dan cucu dari Daoed Beureueh, 
Farid Prawiranegara (putra dari Sjafruddin Prawiranegara), putra dari Mauluddin 
Simbolon, putri Mayor Jenderal Panjaitan, putra dari pembela hukum Yap Thiam 
Hiem, dan banyak lagi yang lain. 

      Apa yang terjadi pada tahun 1965 tidak hanya gugurnya 10 pahlawan 
revolusi (enam jenderal dan empat perwira), tetapi juga diikuti pula dengan 
pembunuhan massal yang memakan korban sekitar 500.000 jiwa. Pelajaran sejarah 
yang dapat ditarik dari tragedi nasional 1965 adalah kita tidak ingin mengulang 
kesalahan yang sama. Suksesi kepresidenan seyogianya berjalan secara damai 
tanpa pertumpahan darah. Dendam dan politik kekerasan mesti dihentikan dan 
tidak diwariskan kepada generasi muda. 

      Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI 
     


http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=305808
Sabtu, 29 Sept 2007,
Beberapa Pandangan tentang G 30 S/PKI


Oleh Asvi Warman Adam 

Keunggulan Versi Bung Karno
Setelah era reformasi 1998, masyarakat Indonesia mengenal beberapa versi 
tentang dalang percobaan kudeta pada 1965. Pada masa Orde Baru, di sekolah 
hanya dikenal dan diajarkan versi tunggal bahwa PKI dalang peristiwa tersebut. 
Ini merupakan versi yang paling tua karena pembantu Soeharto seperti Yoga 
Sugama sejak 1 Oktober sudah menduga PKI di balik kudeta tersebut. Keyakinan 
itu sudah ada lebih dahulu walaupun upaya pembuktian baru dilakukan belakangan 
melalui Mahkamah Militer Luar Biasa. 

Versi berikutnya disampaikan Ben Anderson dan Ruth McVey bahwa intrik tersebut 
merupakan persoalan intern Angkatan Darat. Formula ini dikenal sebagai Cornel 
Paper. Ben Anderson kemudian melangkah lebih jauh. Dalam tulisannya kemudian, 
dia menguraikan keterlibatan Kodam Diponegoro atau ini merupakan masalah intern 
Komando Daerah Militer Jawa Tengah. 

Dikatakan, perwira dari daerah itu yang paling banyak terlibat dalam Gerakan 30 
September (Untung, Latief) juga sebaliknya yang melakukan penumpasan 
selanjutnya (Yoga Sugama, Ali Murtopo). 

Dalam wawancara sangat panjang dengan Sersan Mayor Bungkus (salah satu pelaku 
penculikan jenderal pahlawan revolusi) yang dimuat pada jurnal Indonesia 
terbitan Universitas Cornell, Ben menjelaskan tentang jaringan orang-orang asal 
Madura yang bergerak di lapangan. 

Versi ketiga, keterlibatan CIA semakin kuat dengan dibukanya arsip-arsip 
Departemen Luar Negeri AS setiap tahun. Disebutkan bahwa pihak AS menyumbang Rp 
50 juta kepada KAP (Komite Aksi Pengganyangan) Gestapu. Terdapat keterangan 
rinci tentang bantuan alat-alat telekomunikasi, tetapi 13 baris kalimat dihapus 
(not declassified). Apakah itu semacam walky-talky, kenapa harganya sampai 3 
juta dolar AS? 

Daftar nama pengurus PKI di seluruh Indonesia yang diberikan AS kepada AD. 
Telegram Kedubes AS di Jakarta kepada Department of State, 4 November 1965 
berbunyi "In Central Java army (RPKAD) is training Moslem youth and supplying 
them with weapons and will keep them out in front against PKI. Army will try to 
avoid as much as it can safely do so direct confrontation with PKI." 

AS yang ketika itu menghadapi Perang Vietnam tidak ingin Indonesia jatuh ke 
tangan komunis. Menurut David T. Johnson (1976), terdapat enam skenario yang 
dapat dijalankan Amerika Serikat menghadapi situasi yang memanas di Indonesia: 
1) Membiarkan saja, 2) Membujuk Soekarno mengubah kebijakan, 3) Menyingkirkan 
Soekarno, 4) Mendorong Angkatan Darat mengambil alih kekuasaan, 5) Merusak 
kekuatan PKI, 6) Merekayasa kehancuran PKI dan sekaligus kejatuhan Soekarno. 
Ternyata skenario terakhir yang dianggap paling menguntungkan dan tepat untuk 
dilaksanakan. 

Keterlibatan Presiden Soekarno merupakan tesis dari Antonie Dake dan John 
Hughes. Dake mengulang lagu lama dengan menerbitkan Sukarno File tahun 2005 
dalam bahasa Indonesia dan dengan didukung sebuah penerbit Indonesia. Ini dapat 
dianggap sebagai versi keempat. 

Versi berikutnya tentang keterlibatan Soeharto dapat dilihat pada analisis 
tentang "kudeta merangkak" yang disampaikan oleh Wertheim dan Saskia Wieringa. 
Analisis yang bersifat post factum menyebutkan bahwa kudeta terdiri atas dua, 
tiga, empat periode, dan seterusnya. 

Subandrio melihat kudeta merangkak itu terdiri atas empat tahap. Tahap pertama, 
penyingkiran para jenderal pesaing Soeharto pada 1 Oktober 1965. Tahap kedua, 
memperoleh Supersemar yang kemudian dijadikan dasar pembubaran PKI yang 
merupakan partai -dengan klaim 3 juta anggota- yang mendukung Bung Karno pada 
12 Maret 1966. Tahap ketiga, penangkapan 15 orang menteri yang loyal terhadap 
Bung Karno pada 18 Maret 1966. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari 
Soekarno (tahun 1967 sebagai pejabat presiden dan tahun 1968 sebagai presiden). 

Sejalan dengan teori "kudeta merangkak Soeharto" itu, uraian Prof Dr Suwoto 
Mulyosudarmo (alm) dapat dikategorikan sebagai "kudeta merangkak MPRS". Jadi, 
perebutan kekuasaan dari Soekarno dilakukan melalui serangkaian TAP MPRS yang 
justru tidak konstitusional. 

Misalnya, jabatan "Pejabat Presiden" yang diberikan kepada Soeharto pada 1967 
yang sebetulnya tidak ada dalam UUD 1945. Suwoto menulis buku Peralihan 
Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara (Gramedia 
Pustaka Utama, 1997) yang berasal dari disertasinya pada Universitas Airlangga 
Surabaya, 1990. 

Pelengkap Nawaksara

Tanggal 22 Juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato Nawaksara di depan 
MPRS. Dia menguraikan tentang sembilan pokok persoalan yang dihadapi negara. 
Namun, Soekarno masih disuruh oleh MPRS untuk melengkapi pidato tersebut. Dalam 
Pelengkap Nawaksara yang disampaikan 10 Januari 1967, dia menguraikan bahwa 
peristiwa itu merupakan pertemuan dari tiga sebab, yakni keblingernya pimpinan 
PKI, kelihaian subversi Nekolim, dan adanya oknum-oknum yang tidak benar. 

Buku yang terbaru dari John Roosa The Pretext of Mass Murder menjelaskan 
keblingeran tersebut, yakni ikut merencanakan penculikan terhadap tokoh yang 
dianggap mereka sebagai Dewan Jenderal. Keblingeran kedua adalah masih terus 
mengeluarkan statemen kedua dan ketiga tanggal 1 Oktober 1965, padahal Presiden 
Soekarno sudah memerintahkan menghentikan gerakan tersebut melalui Brigjen 
Soepardjo. 

Yang dimaksud dengan Nekolim oleh Soekarno tentulah pihak AS. Dalam konteks 
ini, jelas termasuk pula Inggris (dan Australia). Namun, peran Uni Soviet (dan 
Pakta Warsawa) serta RRC dan Jepang tak boleh diabaikan pula. Negara-negara 
asing itu memiliki kepentingan sangat besar terhadap siapa yang berkuasa di 
Indonesia. 

Mengenai "oknum yang tidak benar" konon merupakan rumusan yang dihaluskan 
karena dalam pembicaraan dengan beberapa tokoh ketika menyusun pidato, Soekarno 
menggunakan istilah "Jenderal yang tidak benar". Apakah yang dimaksudkan adalah 
Soeharto?

Paling Lengkap 
Dibandingkan dengan versi-versi lain, analisis Bung Karno lebih lengkap, 
menyangkut faktor luar negeri dan dalam negeri. Peristiwa Gerakan 30 September 
yang begitu kompleks tentu tidak mungkin digerakkan oleh satu orang atau satu 
pihak saja. 

Rumusan Soekarno itu juga mencakup sekaligus beberapa versi, bahkan dapat 
dikatakan bahwa seluruh versi itu telah termasuk dalam pelengkap pidato 
Nawaksara. 

Sebagai seorang presiden yang tentu menerima informasi dari banyak pihak dan 
juga berada di pusat kekuasaan, wajar kalau Soekarno dapat memberikan teori 
tentang Gerakan 30 September yang lebih canggih daripada teori lain. 


Dr Asvi Warman Adam, sejarawan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 
di Jakarta

      KOMPAS - Sabtu, 29 September 2007  
     
     
     

      Soekarno, Malaysia, dan PKI 


      Yohanes Sulaiman 

      Sudah 42 tahun tragedi berdarah yang disebut peristiwa G30S/PKI itu 
berlangsung. Namun, apa yang terjadi pada malam naas tersebut masih merupakan 
misteri. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah apa hubungan 
Soekarno dengan PKI? Benarkah Soekarno mau menyerahkan Indonesia kepada PKI? 
Jawabannya tidak! Soekarno memerlukan PKI karena saat itu ia ingin mengganyang 
Malaysia. Namun, Soekarno sendiri tak mau membiarkan PKI naik ke panggung 
kekuasaan. 

      Seberapa jauh keterlibatan Soekarno dalam tragedi tersebut? Apa saja yang 
termuat dalam berbagai dokumen Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat dan CIA 
yang baru saja dideklasifikasikan? 

      Satu hal yang kurang diperhatikan para sejarawan yang meneliti kedekatan 
Soekarno dan PKI adalah hubungan antara konfrontasi Malaysia dan kedekatan 
Soekarno dengan PKI. 

      Demonstrasi anti-Indonesia 

      Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, di mana para demonstran 
menyerbu gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara 
Garuda Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman?Perdana Menteri Malaysia saat 
itu?dan memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia 
pun meledak. 

      Howard Jones, Duta Besar AS saat itu, melaporkan kepada Washington bahwa 
ia bertemu Soekarno. "Saat itu Soekarno marah besar.... Tidak ada lagi 
pertukaran salam. Tak ada basa-basi?. Menjawab pertanyaan saya, apakah situasi 
sudah terkendali, Soekarno meledak dan mengutuk tindakan Tunku. "Sejak kapan 
seorang kepala negara pernah menginjak-injak lambang negara lain?" Soekarno 
juga menyebutkan fotonya yang dirobek dan diinjak-injak. "Rakyat Indonesia 
sudah murka! Ini Asia, tahun 1963. Saya juga amat beremosi! (telegram dari 
Kedubes AS di Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 19 September 1963) 

      Howard Jones menyatakan simpatinya, tetapi ia menekankan bahwa Indonesia 
tak bisa mengandalkan bantuan AS jika Soekarno ingin melakukan balas dendam. 
Sementara itu, TNI Angkatan Darat terpecah: Jenderal Ahmad Yani tidak bersedia 
mengerahkan pasukan untuk menyerbu Malaysia karena tidak merasa tentara 
Indonesia cukup siap menghadapi Malaysia yang dibelakangi Inggris. Namun, 
Jenderal AH Nasution setuju untuk mengganyang Malaysia karena ia khawatir isu 
Malaysia akan ditunggangi PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik 
di Indonesia. 

      Saat itu PKI merupakan pendukung terbesar gerakan mengganyang Malaysia, 
yang dianggap antek neokolonialisme dan imperialisme. Namun, pertimbangan PKI 
bukan didasarkan sekadar idealisme. PKI berusaha membangkitkan semangat 
nasionalisme Indonesia dan menempatkan PKI sebagai gerakan nasionalis yang 
lebih nasionalis daripada tentara untuk memperkuat posisinya dalam percaturan 
politik di Indonesia, yang saat itu berpusat pada Soekarno, tentara, dan PKI. 

      Melihat dukungan tentara yang setengah-setengah, Soekarno kecewa, padahal 
ia ingin sekali mengganyang Malaysia. Sejak saat itulah, hubungan Soekarno dan 
PKI bertambah kuat, apalagi setelah tentara sendiri mengalami kegagalan dalam 
operasi gerilya di Malaysia. Penyebab kegagalan itu bukan karena tentara 
Indonesia tidak berkualitas, tetapi para pemimpin TNI Angkatan Darat di Jakarta 
tidak tertarik untuk mengeskalasi konfrontasi. 

      Kita harus memerhatikan secara saksama jalur pemikiran para pemimpin 
Angkatan Darat saat itu. Mereka menghadapi buah simalakama. Mereka tidak mau 
mengeskalasi konflik karena tidak tak yakin akan bisa menang menghadapi 
Inggris. Di sisi lain, jika mereka tak melakukan apa-apa, Soekarno akan 
mengamuk. Tak peduli keputusan apa yang diambil, PKI akan tetap untung. 

      Akhirnya, para pemimpin Angkatan Darat mengambil posisi unik. Mereka 
menyetujui perintah Soekarno untuk mengirimkan tentara ke Kalimantan, tetapi 
tak akan benar-benar serius dalam konfrontasi ini agar situasi tak bertambah 
buruh menjadi perang terbuka Indonesia melawan Malaysia-Inggris (dan 
Australia-Selandia Baru). Tak heran, Brigadir Jenderal Suparjo, komandan 
pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak dilakukan sepenuh hati 
dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang. (JAC Mackie, 1971, hal 214) 

      Kekhawatiran Soekarno 

      Namun, pada saat yang sama, gagalnya konfrontasi juga berakibat buruk 
bagi para penentang PKI, seperti Partai Murba. Posisi PKI menguat, sampai 25 
November 1964. 

      Kepada Washington, Howard Jones melaporkan, Adam Malik, Chaerul Saleh, 
Jenderal Nasution, Jenderal Sukendro, dan banyak lagi yang lain meminta 
Pemerintah AS membantu menyelamatkan kaum moderat di Indonesia dari posisi 
mereka yang amat sulit (akibat menguatnya posisi PKI)?. Sebagian tentara 
Indonesia merasa malu karena gagalnya usaha mengganyang Malaysia. (telegram 
dari Kedubes AS di Indonesia kepada Departemen Luar Negeri AS, 25 November 
1964) 

      Sementara itu, secara internasional pun posisi PKI bertambah kuat dengan 
semakin dekatnya hubungan Indonesia dengan China-Beijing. Kedekatan ini 
disebabkan kesuksesan China dalam menguji bom nuklir dan dukungan Beijing 
kepada konfrontasi Malaysia. Di sisi lain, Soekarno merasa khawatir dengan PKI 
yang dianggap terlalu kuat. Namun, masalahnya, ia amat memerlukan PKI untuk 
mengganyang Malaysia, apalagi karena Indonesia sendiri sudah terkucil di 
lingkungan internasional akibat konfrontasi tersebut. 

      Kekhawatiran Soekarno terlihat dalam dokumen CIA yang baru 
dideklasifikasikan beberapa tahun lalu, bertanggalkan 13 Januari 1965. Dokumen 
itu menyebutkan, dalam sebuah percakapan santai dengan para pemimpin politik 
sayap kanan, Soekarno menyatakan tak bisa menoleransi gerakan anti-PKI karena 
ia butuh dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia. Ia menyatakan, namanya sudah 
"jatuh" di dunia internasional dan Indonesia dianggap negara gila karena 
keputusannya membawa Indonesia keluar dari PBB. Namun, Soekarno menekankan, 
suatu waktu, "giliran PKI akan tiba" dan saat itu gerakan menentang PKI sama 
dengan gerakan untuk menentang Soekarno. Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi 
teman atau musuh saya. Itu terserah kamu." Soekarno mengakhiri percakapan itu 
dengan berkata, "Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan 
membereskan PKI, tetapi tidak sekarang." 

      Dari sini terlihat, kedekatan Soekarno dengan PKI diakibatkan gagalnya 
TNI Angkatan Darat memenuhi keinginan Soekarno mengganyang Malayia. Soekarno di 
sini terlihat bukan sebagai antek atau pendukung PKI, tetapi ia memang berusaha 
menggunakan PKI untuk membantu kebijakannya dalam mengganyang Malaysia. 
Kegagalan para pemimpin TNI Angkatan Darat juga membuat tentara-tentara, 
seperti Brigadir Jenderal Suparjo kesal kepada para pimpinan Angkatan Darat. 
Mereka akhirnya merasa perlu melakukan operasi untuk mengadili para pemimpin 
TNI Angkatan Darat yang dianggap berkhianat kepada misi yang dibebankan 
Soekarno. Untuk melakukan hal ini, mereka memutuskan untuk berhubungan dengan 
orang-orang dari PKI karena dianggap memiliki misi yang sama, yakni mengganyang 
Malaysia. Hal ini akhirnya menyebabkan peristiwa yang sampai sekarang disebut 
sebagai G30S/PKI. 

      Yohanes Sulaiman Mahasiswa PhD Ilmu Politik Sekaligus Mengajar Hubungan 
Internasional di Ohio State University. Disertasi "Politik Luar Negeri 
Indonesia di Bawah Soekarno dan Hubungannya dengan AS Tahun 1945-1967"
     

Kirim email ke