http://www.indomedia.com/bpost/042007/19/opini/opini2.htm
Transmigrasi Di Tanah Dayak Oleh: Nasrullah Mahasiswa pascasarjana UGM Tulisan ini membahas transmigrasi di Proyek Lahan Gambut Sejuta (PLG) Hektare Kalteng yang akan direhabilitasi dan menghubungkannya dengan multikultural dan kebudayaan lokal. Tulisan ini dimulai dengan beberapa pandangan mengenai multikulturalisme di Indonesia. Jogjakarta pada Februari 2007 lalu, saat peresmian gedung budaya UGM Sri Sultan Hamengku Bowono IX memberikan sambutan. Menurut Sultan, multikultural awalnya dianggap sebagai sebuah mozaik. Ia terlihat begitu indah karena keragamannya. Namun keindahan itu bukan jaminan dari kelestarian. Mozaik itu bisa jatuh dan pecah. Umar Kayam kemudian mencari upaya yang menguatkan multikultural, melalui Dialog Kebudayaan. Maka, multikultural tidak lagi hanya dianggap sebagai mozaik. Melainkan, laksana serat (fiber) yang satu sama lain bersama saling menguatkan. Apa sebenarnya yang menarik dari Hukum Adat? Ternyata kekuasaan berada di tangan adat, bukan pada seorang pemimpin maupun sekelompok orang sehingga ketentuan dan perlakuan praktis berdasarkan adat. Di sini, kekuasaan personal tidak berlaku maka pertanggungjawaban pun mesti kepada masyarakat. Kerajaan yang rajanya dianggap sebagai sentral dari segalanya, raja menjadi perintah dan mesti dipatuhi sehingga manakala raja takluk maka takluk juga rakyatnya. Di sinilah menjadi alasan, sulitnya mengalahkan masyarakat yang memegang teguh adat. *** Di Kalteng, sebagaimana diberitakan harian ini (26/03) akan didatangkan 53.600 KK transmigran termasuk 46.000 KK dari Jateng, Jabar, Jogjakarta, NTB, NTT, Lampung dan Banten. Berarti, puluhan ribu orang akan menjejakkan kakinya di Tanah Dayak, Bumi Kalteng. Sekadar menoleh kebelakang, ketika PLG mulai dibuka dan kedatangan transmigran dari tanah seberang seolah menjadikan harapan baru untuk kesejahteraan hidup mereka. Namun setelah beberapa saat menempati areal itu, tulisan 'lahan sejuta hektare' di permukiman penduduk berubah menjadi 'lahan sejuta utang'. Demi mencukupi kebutuhan hidup, berbagai fasilitas diberikan seperti cangkul, tong, kompor dan sebagainya, mereka jual semuanya. Akhirnya gagallah megaproyek di zaman Orba itu dan meninggalkan kehancuran Alam Kalimantan. Transmigrasi di lahan gambut sejuta hektare, merupakan proyek nasional sehingga gaungnya terdengar ke mana-mana, fasilitas infrastruktur benar-benar teperhatikan. Meski demikian, kita tidak boleh mengabaikan keberadaan pembangunan lokal. Pemerintah semestinya bertekad tidak ada lagi masyarakat Kalteng mengalami kelaparan, hanya karena pasok makanan sulit mencapai daerah terpencil. Kita menyambut baik dibukanya kembali lahan sejuta hektare, namun bukan mengembalikan PLG ke sejarah awal. Inti pembahasan ini terletak pada pertanyaan: bagaimanakah puluhan ribu transmigran hidup di alam dan dalam kebudayaan Dayak beserta pandangan mereka terhadap Dayak itu sendiri. Menurut Patrice Levang, ahli agronomi dari Prancis, pulau yang 'kekurangan' penduduk merupakan tempat praktik budidaya ekstensif dan pulau yang 'kelebihan' penduduk untuk melakukan praktik budidaya intensif, berarti bernalar sama. Levang menyadarkan kita, supaya jangan pernah memandang peladang padi sebagai masyarakat primitif yang menerapkan 'pola pertanian kuno' dan hidupnya berswasembada. Kalteng sebagai lahan transmigrasi, akan hadir berbagai macam suku bangsa. Di Tanah Dayak itu akan terjadi pertemuan berbagai kebudayaan sebagai bentuk multikultural. Kalau kita menyepakatinya transmigrasi tidak hanya sebagai mozaik yang terpampang indah tapi juga menjadi serat dan saling menguatkan. maka dialog kebudayaan mesti dibuka krannya. Mungkin bisa dimulai dari pemahaman tentang kebudayaan yang ditempati suatu masyarakat, berdasarkan pandangan di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Kini, bagaimana menegakkan Hukum Adat tersebut. Misalnya penegakan kembali Hukum Adat bernama jipen, mengenai cara bergaul dengan masyarakat dan alam Dayak sehingga pertanggungjawaban PLG Sejuta Hektare, tidak kepada pemerintah pusat tapi juga kepada masyarakat. Kalau hal itu diabaikan, bukan tidak mustahil proyek trasmigrasi tersebut akan kembali berubah menjadi proyek lahan gagal. e-mail: [EMAIL PROTECTED]