URECA Memainkan Peranan dalam Nation Building

Oleh: Siauw Tiong Djin

September 2007

 

Reuni URECA (Universitas Respublica) ke V yang diselenggarakan di Bandung pada 
awal bulan September 2007 memperkuat keyakinan bahwa URECA di masa hidupnya 
memainkan peranan penting dalam membangun bangsa Indonesia ? Nasion Indonesia ? 
sebuah nasion yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa.

 

Acara-acara sosial kesenian yang diadakan pada Reuni yang disinggung 
menunjukkan bahwa walaupun sebagian besar peserta Reuni ini berasal dari 
komunitas Tionghoa, bahkan dari komunitas Tionghoa totok, ke-Indonesiaan para 
pengunjung sangat nampak dan tidak akan bisa dibantah oleh siapa-pun.

 

Ke- Indonesiaan yang dimaksud adalah merasakan dirinya seorang Indonesia, 
mencintai kebudayaan dan kesenian Indonesia, mencintai bangsa Indonesia dan 
menerima Indonesia sebagai tanah airnya.

 

Hal ini nampak dari berbagai pertunjukan paduan suara, nyanyian bebas, 
permainan angklung, deklamasi, hingga tari-tarian bersama.  Seseorang yang 
tidak mencintai Indonesia tidak akan bisa menjiwai kebudayaan Indonesia seperti 
yang ditunjukkan pada acara-acara yang disinggung di atas.

 

Benny Setiono yang kini aktif berperan di bidang politik menyatakan: ??acara 
ini benar-benar membawa nostalgia yang mengesankan.  Rasanya kita ini seperti 
di URECA dulu, diajak untuk mencintai Indonesia??.  Nancy Wijaya, yang juga 
tidak kalah aktifnya dalam kegiatan berbagai organisasi menyatakan: ??kepahaman 
tentang Indonesia dan kecintaan terhadap Indonesia bangkit setelah kami masuk 
ke URECA. Sebelumnya kami yang berasal dari sekolah-sekolah Tionghoa hanya 
fasih berbicara dalam bahasa Tionghoa dan lebih mengenal kebudayaan Tiongkok. 
Masa kuliah di URECA  merupakan masa yang sangat membahagiakan  saya??. 

 

Peranan URECA dalam sejarah Indonesia menjadi lebih bermakna bilamana kita 
mempelajari asal usul kelahiran dan pengembangannya. 

 

Universitas Respublica (yang mengandung pengertian Universitas untuk 
Kepentingan Umum atau Universitas yang berbakti untuk masyarakat) merupakan 
bagian penting Baperki ? Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia.

 

Baperki didirikan pada tahun 1954 untuk melawan arus politik yang ingin 
menjadikan sebanyak mungkin WNI keturunan Tionghoa memiliki status hukum asing 
di Indonesia. Para pendirinya beranggapan bahwa Indonesia adalah tanah air 
komunitas Tionghoa di Indonesia dan komunitas Tionghoa adalah bagian yang tak 
terpisahkan dari tubuh bangsa Indonesia. Dengan demikian mereka menginginkan 
sebanyak mungkin orang Tionghoa yang lahir di Indonesia memiliki status hukum 
sebagai Warga Negara Indonesia.

 

Baperki-pun gigih memperjuangkan terwujudnya sebuah Nasion Indonesia -- bangsa 
Indonesia -- yang mengakui kehadiran dan mempertahankan keberadaan berbagai 
suku etnis termasuk suku Tionghoa. Nasion yang dimaksud tentunya tidak mengenal 
adanya Indonesian race, sehingga terminologi Indonesia Asli atau pribumi tidak 
memiliki arti hukum yang bisa dipergunakan untuk mendiskriminasikan komunitas 
Tionghoa.

 

Baperki mulai terlibat dalam bidang pendidikan pada tahun 1958, di waktu mana 
keluar kebijakan pemerintah yang melarang pelajar WNI bersekolah di 
sekolah-sekolah Tionghoa. Sampai saat itu, karena sangat terbatasnya jumlah 
sekolah-sekolah negara yang bisa menampung siswa yang berasal dari komunitas 
Tionghoa dan adanya persepsi bahwa sekolah-sekolah negara memiliki kwalitas 
yang kurang memadai, sebagian besar siswa Tionghoa, baik yang WNI maupun WNA, 
belajar di sekolah-sekolah Tionghoa yang menggunakan kurikulum bahasa Tionghoa. 
Sekolah-sekolah ini dikelola oleh organisasi-organisasi Tionghoa yang pada 
umumnya berkiblat ke Tiongkok.

 

Peraturan yang disinggung dikeluarkan dan dilaksanakan tanpa pertimbangan 
adanya penampungan tempat di sekolah-sekolah yang ada sehingga menimbulkan 
keresahan di pihak para orang tua. Baperki mengambil inisiatip untuk berperan. 
Pimpinan Baperki dengan gerak cepat mencapai persetujuan dengan berbagai 
organisasi pengelola sekolah-sekolah Tionghoa di beberapa kota besar di pulau 
Jawa: kawasan sekolah-sekolah dibagi, sesuai dengan jumlah siswa yang WNI dan 
yang WNA. Kalau yang WNI berjumlah sekitar 30% dari jumlah total, sekitar 30% 
dari kawasan sekolah yang bersangkutan dijadikan sekolah Baperki, dengan 
kurikulum nasional.  Ini menyebabkan dalam waktu ?sekejap?, Yayasan Pendidikan 
Baperki yang dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan, bisa memiliki ratusan sekolah, 
dari SD hingga SMA, yang mampu menampung ratusan ribu jumlah siswa, sebagian 
besar darinya berasal dari komunitas Tionghoa yang WNI.

 

Sadar akan pentingnya pendidikan dan adanya keinginan untuk menampung sebanyak 
mungkin siswa yang tidak memiliki kesempatan untuk belajar pada tingkat 
universitas melulu karena latar belakang etnisitasnya, pada tahun yang sama 
Baperki mengambil inisiatip untuk mendirikan universitas, yang pada mulanya 
dinamakan Universitas Baperki di Jakarta. Pada mulanya kuliah dilakukan di 
gedung-gedung sekolah-sekolah Baperki di Jakarta. 

 

Inisiatip ini mengundang dukungan luas dari komunitas Tionghoa. Sumbangan 
mengalir deras. Pada tahun 1959-1960, Siauw Giok Tjhan-pun menerima beberapa 
tawaran tanah yang bisa digarap untuk pembangunan gedung-gedung universitas, 
gratis.  Dua kawasan dipertimbangkan. Satu terletak di daerah yang kini dikenal 
sebagai Pluit, milik tokoh Tionghoa yang ternama dan yang mengenal Siauw sejak 
zaman pendudukan Jepang, Tan Kah Kee. Yang lain terletak di kawasan Grogol, 
tanah yang dimiliki oleh DKI Jakarta, atas tawaran gubernur Sumarno. Akhirnya 
Yayasan Pendidikan Baperki memilih tanah di Grogol. Pembangunan gedung-gedung 
universitas Baperki dimulai pada tahun 1960, dimulai dengan gedung fakultas 
kedokteran gigi, disusul dengan gedung-gedung fakultas hukum, sastra, 
kedokteran dan teknik

 

Yang menarik adalah untuk mempercepat dan mengurangi ongkos pembangunan, desain 
gedung-gedung tersebut dan pembangunannya juga dilakukan oleh para mahasiswa 
dan para dosen secara gotong royong.. Mungkin di dunia hanya Universitas 
Baperki yang mengikutsertakan para dosen dan mahasiwa-nya dalam pembangunan 
gedung-gedung kuliah.

 

Sebagian gedung-gedung baru ini rampung pada tahun 1962. Dalam upacara 
peresmian pembukaan gedung-gedung baru ini, nama Universitas Baperki diubah 
menjadi Universitas Respublica yang lebih dikenal sebagai URECA.

 

Prestasi URECA sebagai badan pendidikan tingkat sarjana diakui.  Untuk fakultas 
Kedokteran gigi dan teknik, ijasah URECA diakui oleh Departemen Pendidikan 
sebagai ijasah sarjana penuh. Pada tahun 1965, pengakuan untuk fakultas lainnya 
sedang diperjuangkan. Sayangnya sebelum tercapai, pergantian iklim politik pada 
Oktober 1965,  secara dramatic mengubah posisi URECA.

 

Prinsip pendidikan Baperki dilaksanakan secara patuh, yaitu:  pendidikan bukan 
barang dagangan. Yang mampu diminta untuk memberi sumbangan besar sedangkan 
yang tidak mampu membayar sedikit atau bahkan gratis.

 

Dalam waktu yang bersamaan Yayasan Pendidikan Baperki mulai membangun 
kampus-kampus universitas-nya di beberapa kota besar di pulau Jawa. Jumlah 
mahasiswa juga kian meningkat hingga hampir 10 ribu pada tahun 1965.

 

Melalui institusi pendidikan inilah Baperki giat menyebar-luaskan konsep nasion 
building dengan penekanan integrasi wajar, yaitu menjadi orang Indonesia sejati 
tanpa penanggalan ciri-ciri ethnisitas dan bahu membahu dengan suku lainnya 
membangun bangsa Indonesia.

 

Melalui dunia pendidikan ini, Baperki memberi pendidikan politik kepada para 
siswanya. Pendidikan yang mendorong mereka untuk secara sadar terlibat dalam 
berbagai kegiatan yang ber-orientasi ke Indonesia, demi Indonesia dan sebagai 
orang Indonesia.

 

Salah satu upaya efektif dalam membangkitkan kecintaan terhadap Indonesia 
berkaitan dengan kegiatan pengenalan kebudayaan Indonesia, terutama tari-tarian 
dan lagu-lagu Indonesia. Acara-acara kesenian yang kerap dipentaskan oleh para 
mahasiswa di kampus-kampus URECA mencerminkan bagaimana para pemuda pemudi 
keturunan Tionghoa telah menjiwai kebudayaan Indonesia.  Bung Karno sering 
meminta penari-penari Tionghoa yang memperoleh pengarahan Baperki untuk 
berperan di dalam acara-acara resmi kenegaraan.

 

Karena institusi pendidikan ini diprakarsai dan dibentuk untuk menampung mereka 
yang tidak memperoleh kesempatan belajar di tanah airnya sendiri, dan kelompok 
komunitas Tionghoa yang ditimpa kebijakan diskriminasi ini, sekolah-sekolah 
Baperki dan URECA dipenuhi oleh siswa Tionghoa.  Cukup banyak yang berasa dari 
suku lainnya, tetapi mereka merupakan minoritas kecil. Ini memang menimbulkan 
kesan bahwa Institusi pendidikan Baperki bersifat eksklusif, terbatas untuk 
komunitas Tionghoa saja.

 

Akan tetapi kegiatan-kegiatan yang disinggung di atas menunjukkan bahwa 
ke-eksklusifannya terbatas pada berkumpulnya sekelompok orang dari sebuah 
komunitas etnis.  Makna perkumpulannya dan program politiknya berkiblat ke 
Indonesia. Yang berada dalam naungan ini diajak untuk mencintai dan berbakti 
untuk Indonesia. Institusi pendidikan Baperki, terutama URECA dikerahkan untuk 
mendorong semua siswanya untuk memiliki kesadaran tinggi dalam membangun Nasion 
Indonesia.  

 

Bilamana pada awalnya institusi pendidikan Baperki hanya mengakomodasi Warga 
Negara Indonesia, pada masa pengembangannya, cukup banyak mereka yang masih WNA 
diterima. Alasan Baperki adalah mereka yang masih WNA ini perlu didorong untuk 
menjadi WNI dan menerima Indonesia sebagai tanah airnya. 

 

Sayangnya kehadiran institusi pendidikan Baperki baik di tingkat sekolah dasar 
sampai atas, mapun universitas yang memiliki sumbangsih positif ini, berumur 
pendek. Perubahan iklim politik pada Oktober 1965 memojokkan posisi politik 
Baperki yang karena berbagai pertimbangan politik di masa polarisasi politik,  
memilih untuk berada di perahu kelompok kiri yang kalah angin.

 

Pada tanggal 15 Oktober 1965, kampus URECA di Grogol diserang ribuan massa yang 
didukung oleh kekuatan militer. Ratusan mahasiswa URECA yang kebetulan berada 
di kampus dengan gagah berani mempertahankan kampus-nya dan mampu bertahan 
selama lebih dari 30 menit.  Karena jumlah penyerang jauh lebih tinggi dan 
mereka memperoleh dukungan bersenjata dari pihak militer, pertahanan patah dan 
kampus URECA dibakar.

 

Pada tahun 1966 pemerintah memprakarsai pengambil alihan URECA yang kemudian 
dinamakan Universitas Trisakti. Pintu gerbang pendidikan universitas terbuka 
lagi dengan program pendidikan yang lain. Penekanan tentang nasion building 
yang berkaitan dengan pendidikan politik hilang.  Dan Trisakti kemudian 
berkembang sebagai universitas swasta yang tidak bisa dijangkau oleh 
orang-orang yang tidak mampu.

 

Walaupun berumur pendek, pendidikan politik yang ditanamkan di dalam benak para 
mahasiswanya ternyata melekat. Cukup banyak mantan mahasiswa URECA memainkan 
peranan penting di berbagai organisasi, sosial maupun politik.  Sikap ke 
Indonesiaan ini jelas nampak di acara Reuni URECA ke V dan acara-acara Reuni 
sebelumnya ? lebih dari 40 tahun kemudian.

 

Trauma politik yang diderita para mahasiswa URECA cukup berat.  Banyak 
diantaranya masih khawatir menunjukkan ke masyarakat bahwa mereka berhubungan 
dengan URECA. Bahkan banyak yang tidak menceritakan ke para anaknya bahwa 
mereka itu mantan URECA. Dan tentu banyak pula yang tidak menceritakan apa itu 
URECA dan apa alasan hidup Baperki kepada para anaknya atau kerabatnya.

 

Rasa khawatir ini kiranya tidak lagi beralasan. Zaman sudah berubah. Kiri atau 
kanan sudah tidak menjadi persoalan yang perlu diperdebatkan. RRT sudah 
bergandengan tangan dengan negara-negara barat yang pernah memusuhinya dalam 
kegiatan ekonomi di berbagai bidang dan tingkat.

 

Para mantan URECA hendaknya mulai giat mengajak anak dan cucunya untuk memiliki 
kesadaran yang mereka telah garap selama belajar di URECA: menganggap Indonesia 
sebagai tanah airnya dan berbakti untuknya. Generasi muda perlu didorong untuk 
dengan aktif memperjuangkan lenyapnya rasisme di Indonesia, dimulai dengan 
pengubahan UU, peraturan pemerintah dan sendi-sendi hukum lainnya yang 
mengandung rasisme; diikuti dengan kegiatan yang menanamkan kesadaran di 
kalangan komunitas Tionghoa untuk mengintegrasikan dirinya dalam berbagai 
kegiatan sosial, ekonomi dan politik membangun Indonesia. Dan mengajak 
suku-suku lainnya dalam membangun Nasion Indonesia.  

 

Kiranya inilah harapan mulia para pendiri Yayasan Pendidikan Baperki yang 
mengelola URECA dengan susah payah lebih dari 40 tahun yang lalu.  Dan para 
mantan URECA memiliki moral obligation untuk memenuhinya. 

  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Reply via email to