Maaf Cross Posting dari milis [EMAIL PROTECTED] semoga bermanfaat ---------- Forwarded message ---------- From: Purnamawati <[EMAIL PROTECTED]> Date: 5 Mar 2008 09:03 Subject: [sehat] HORIZON 23 - COMPOUNDING MEDICINE To: [EMAIL PROTECTED]
Dear all sudah lama ya gak bikin horizon Niat sih kuat banget tetapi ada kendala banyak hehehe sudah lama juga penasaran banget kepingin bikin horizon soal puyer karena ... masiiiih saja banyak anak (termasuk anak2 di milis sehat) yang diberi & mengkonsumsi puyer. Padahal... praktek pembuatan puyer terkait violation terhadap (1) praktek pembuatan obat yang benar alias Good manufacturing pratices (GMP) dan (2) praktek peresepan yang benar alias Good prescribing practices (GPP) Puyer sarat & kental masalah safety dan kualitas coba simak tulisan di bawah ini good news nya .... di jakarta ada 2 rs swasta yang melarang praktek pembuatan puyer namun demikian, dapat resistensi dari providernya Bismillaah ... pelan2 ya nah akhir bulan ini saya diminta bicara di suatu RS swasta ... bicara di depan dokter2nya "....how horrifying Puyer (pooier) is ....." wah butuh segudang besar wisdom, courage, adrenalin ... doain ya .... Dalam waktu tidak terlalu lama, saya aka posting hasil survey resep milis (bukan resep yang dikirim hard?soft copynya lho ya ... yag ini masih tahap pengumpulan data) Insya Allah na sebelum saya tutup, tolong kirim lagi hard copy resep2 dan kwitansi anak2 kalian ke markas YOP .. by post ya boleh juga kalau mau dikirim by scan Sama2 kita bergandengan tangan .. "Hoping & buidling a better standard treatment for our children" Anak layak da berhak memperoleh layanan kesehatan yang TERBAIK thanks a lot RUBRIK OBAT RACIKAN PUYER DAN PERMASALAHANNYA Prof. dr. Rianto Setyabudi Campuran berbagai obat yang diracik dan dijadikan "puyer" (obat bubuk) atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotik lazim disebut compounding. Lima puluh tahun yang lalu pembuatan obat dengan cara racikan ini dikerjakan pada 60% resep dokter, namun di luar negeri resep racikan ini turun tinggal 1% sekarang. Di Indonesia, termasuk Siloam Gleneagles Hospital Lippo Karawaci (SGHLK) resep puyer untuk anak masih sering sekali dijumpai. Setiap hari rata-rata apotik SGHLK membuat 130 resep puyer untuk memenuhi permintaan resep dokter. Mengapa dokter sering meresepkan obat puyer? Peresepan obat puyer untuk anak di Indonesia sangat sering dilakukan karena beberapa faktor yaitu: 1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak secara lebih tepat. 2. Biayanya bisa ditekan menjadi lebih murah. 3. Obat yang diserahkan kepada pasien hanya satu macam, walaupun mengandung banyak komponen. Apa masalah yang ditimbulkan pembuatan obat racikan bentuk puyer? Dewasa ini peresepan obat puyer di negara maju sudah sangat berkurang karena: 1. Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi puyer dalam porsi2 yang tidak sama besar. Kontrol kualitas sulit sekali dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini. 2. Stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya asam klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang mengandung enzim pencernaan) 3. Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya. 4. Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata2 diperlukan waktu 10 menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan kapsul, sedangkan untuk mengambil obat jadi diperlukan waktu hanya kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat kepuasan pasien terhadap layanan di SGHLK. 5. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama terjadi pada obat-obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya puyer yang mengandung klopromazin 6. Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang kronis di bagian farmasi akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya. Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat 7. Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatannya 8. Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal karena menggunakan jam kerja tenaga di bagian farmasi sehingga asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai 9. Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat sulit dibuat puyer (difficult-to compound drugs) misalnya preparat enzim 10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui oleh pasien. Bagaimana mengatasinya? Dari uraian di atas terlihat bahwa peresepan racikan puyer membawa risiko untuk pasien dan berbagai dampak negatif lainnya. Sebagai rumah sakit yang bercita-cita mencapai standar internasional, khususnya dalam melindungi keselamatan pasien, maka di RSSG frekuensi penulisan resep dan pembuatan obat racikan ini perlu diupayakan untuk dihapus. Komite Farmasi dan Terapi SGHLK menganjurkan agar penulisan resep obat racik puyer dan pembuatannya dibatasi hanya untuk kebutuhan obat yang tidak tersedia dalam bentuk formulasi untuk anak atau bila untuk sementara tidak tersedia di pasaran. Obat-obat untuk anak yang tersedia dalam bentuk obat sirup atau tetes misalnya amoksisilin, ibuprofen, parasetamol, teofilin, bromheksin, dll. seyogyanya tidak lagi diresepkan dalam bentuk racikan puyer. Untuk membantu para dokter mengetahui obat apa saja untuk anak yang tersedia dalam bentuk formulasi pabrik, bagian farmasi akan menyediakan daftar obat2 tersebut kepada para dokter di SGHLK. Kelak diharapkan semua kebutuhan obat untuk anak dapat dipenuhi berdasarkan obat formulasi pabrik. Layanan informasi ini disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi Siloam Gleneagles Hospital Lippo Karawaci. Artikel terkait http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1116 Rilis Pengukuhan Prof Iwan Dwiprahasto: Tradisi Menulis Resep Obat Perlu Dikoreksi Kurangnya informasi terhadap bukti ilmiah baru tentang obat dan farmakoterapi tampaknya tetap menghantui kalangan professional kesehatan di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Meskipun hampir semua jurnal biomedik dan buku-buku teks kedokteran telah tersedia dalam bentuk elektronik dan dengan mudah diakses melalui internet, namun kendala biaya, bahasa, perangkat komputer fasilitas akses internet tampaknya belum akan teratasi hingga 10-15 tahun ke depan. Bahkan tenaga kesehatan di daerah-daerah terpencil dikhawatirkan semakin jauh dari konsep-konsep farmakoterapi berbasis bukti yang mutakhir. Ironisnya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang dan secara gencar membanjiri para dokter dengan informasi-informasi tentang obat mereka. Sayang, informasi ini umumnya unbalanced, cenderung misleading atau dilebih-lebihkan, dan berpihak pada kepentingan komersial. "Penggunaan informasi seperti ini jika ditelan begitu saja akan sangat beresiko dalam proses terapi," ungkap Prof dr Iwan Dwiprahasto MMedSc PhD, Senin (7/1) di ruang Balai Senat UGM. Wakil Dekan Bidang Akademik & Kemahasiswaan FK UGM menyampaikan hal itu saat dikukuhkan sebagai Guru Besar FK UGM. Ketua Komite Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan RSUP Dr Sardjito ini, mengucap pidato "Farmakoterapi Berbasis Bukti: Antara Teori dan Kenyataan". Diungkapkannya, keterbatasan informasi ini menjadikan off-label use of drug sangat marak dalam praktek sehari-hari. Off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi yang direkomendasikan. Obat yang sering digunakan secara off label antara lain antihistamin, antikonvulsan, antibiotika, serta obat flu dan batuk. "Berbagai obat kardiovaskuler pun tergolong sangat sering digunakan secara off label, antara lain antiangina, antiaritmia, dan antikoagulan. Gabapentin yang hanya diindikasikan untuk adjunctive therapy pada partial seizures dan untuk postherpetic neuralgia ternyata telah digunakan secara off label untuk kondisi lainnya, termasuk diantaranya monoterapi pada epilepsy, restless leg syndrome, bipolar disorder, migraine, dan kejang karena putus alkohol," ujar Iwan Dwiprahasto. Suami dr Adi Utarini MSc MPH PhD, ayah Putri Karina Larasati lebih lanjut menerangkan berbagai penggunaan obat di luar dosis yang direkomendasikan, termasuk pula dalam katagori ini. Banyak praktek-praktek kefarmasian di apotek tergolong off label use. "Menggeruskan tablet untuk dijadikan puyer, kapsul, bahkan sirup untuk sediaan anak, atau menggeruskan tablet atau kaplet untuk dijadikan saleb dank rim adalah bentuk off label use yang jamak ditemukan. Hal itu telah telah terjadi secara turun menurun, berlangsung selama puluhan tahun tanpa ada yang sanggup menghentikannya," terang pria kelahiran Surabaya, 8 April 1962 ini. Kata Prof Iwan, melestarikan penyimpangan, menikmati kekeliruan, dan mengulang-ulang kesalahan tampaknya sudah menjadi hedonisme peresepan. "Yang satu mengajarkan dan yang lain mengamini sambil menirukan. Itulah cara termudah untuk mendiseminasikan informasi yang tidak berbasis bukti," kata Ketua Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) ini. Menulis resep, kata Prof Iwan, seolah telah menjadi tradisi ritual yang tidak bisa dikoreksi. Tulisan yang sulit dibaca seolah menjadi bagian dari sakralisasi peresepan. "Padahal bahaya mengintai dimana-mana. Resep yang sulit dibaca akan membuat pembacanya (asisten apoteker dan apoteker) mencoba menduga, menebak, dan akhirnya memaksakan diri untuk menterjemahkan dalam bahasa sendiri yang berdampak fatal jika keliru," tambahnya lagi. Terlalu banyak nama obat mirip satu dengan yang lain, tetapi isinya sama sekali berbeda. Losec(R) yang berisi omerprazole (untuk gangguan lambung) sering keliru dibaca sebagai sebagai Lasix(R) yang berisi furosemida (diuretika). Feldene(R) yang merupakan suatu AINS sering keliru terbaca sebagai Seldane(R) yang berisi terfenadine (suatu antihistamin). Sotatic(R) yang berisi metoclopramide (obat antimuntah) sering keliru dibaca menjadi Cytotec(R) (berisi misoprostol) yang dapat menyebabkan terjadinya aborsi jika diberikan pada ibu hamil. Oleh karena itu, menurut Prof Iwan Dwiprahasto kebiasaan keliru menuliskan aturan resep 3 kali sehari (signa 3 dd 1) seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti menjadi diminum tiap 8 jam. Pun dengan obat yang diberikan 2 kali sehari, seharusnya bisa ditulis tiap 12 jam dan seterusnya. "Menulis resep dalam bentuk campuran (beberapa jenis obat digerus dijadikan satu sediaan puyer atau sirup) perlu untuk segera dikoreksi, karena termasuk off label use. Jika praktek-praktek primitive semacam itu tetap dipertahankan, maka keselamatan pasien (patient safety) tentu akan jadi taruhannya," tandasnya. Di akhir pidatonya, Prof Iwan mengajak para professional kesehatan untuk senantiasa mengacu pada bukti-bukti ilmiah terkini. "Keeping up to date" bukanlah sekedar slogan tapi merupakan prasyarat fundamental dalam implementasi Evidence Based Medicine (EBM). "Memang tidak semua hasil uji klinik obat dapat langsung diterima sebagai bukti ilmiah yang valid. Hasil uji klinik obat tetap harus ditelaah dengan kritis untuk mengetahui validitas metode dan hasilnya," tukas Direktur Clinical Epidemiology & Biostatistics Unit (CE&BU) FK UGM/RSUP Dr Sardjito 2000-2006 ini. (Humas UGM). _