Dear nakita-ers, Pemberian obat selama kehamilan dikhawatirkan menimbulkan efek teratogenik atau dampak kecacatan pada janin. Semoga artikel ini membantu Salam, Uttiek Obat bagi ibu hamil bak buah simalakama. Tak dimakan ibu sakit, tapi bila dimakan janinnya terancam bahaya. Heboh tragedi Thalidomide belum
terlupakan sampai sekarang. Thalidomide merupakan obat
pengurang dan penghilang mual, muntah, dan kecemasan yang sempat selama
10 tahun direkomendasikan sebagai obat aman bagi ibu hamil. Namun, pada
kenyataannya, obat yang dipakai sekitar tahun 50 sampai 60-an ini
dituduh sebagai biang keladi pelbagai kelainan pada janin, seperti
anomali jantung dan cacat pada mata. Kejadian lain
yang membuat banyak pihak berpikir dua kali untuk memberikan obat
kepada wanita hamil adalah peristiwa pencabutan obat Diethylstilbestrol
(DES) dari pasaran obat di Amerika Serikat pada tahun 1971. Obat untuk
mempertahankan kehamilan ini berdasarkan penelitian terbukti dapat
meningkatkan risiko kanker pada janin. Tak heran kalau dr.
Yanto Kadarusman, Sp.OG., juga mewanti-wanti agar penggunaan
obat-obatan selama kehamilan sebaiknya dihindarkan, "Jika tidak
mungkin, sebaiknya diskusikan dulu dengan dokter atau bidan yang
mengawasi kehamilan tersebut," ujar ginekolog dari Klinik Fertilitas
dan Menoandropause SamMarie, Jakarta ini. Tujuannya bukan
mau membuat ibu hamil menderita, hanya saja pemberian obat selama
kehamilan dikhawatirkan menimbulkan efek teratogenik atau dampak
kecacatan pada janin seperti dua kasus dahulu. Jadi, kalaupun suatu
obat memang diperlukan, harus bisa memberikan keuntungan maksimal bagi
ibu dan risiko minimal bagi ibu serta janinnya. "Jadi, pemberiannya
harus melalui banyak pertimbangan," tandas Yanto. PERTIMBANGAN PEMBERIAN OBAT Beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan dalam pemberian obat pada ibu hamil adalah: (1) Keamanan:
meski ada obat lain yang efektivitasnya lebih baik, tapi jika
keamanannya bagi ibu hamil belum diketahui, lebih baik tidak diberikan.
(2) Dosis: pada
awalnya pemberian obat harus dalam dosis rendah. Jika perlu, penambahan
dosis diberikan sedikit demi sedikit sampai tercapai efek terapi yang
diinginkan. (3) Durasi pemberian:
jika tidak diperlukan sekali, pemberian obat tidak boleh terlalu lama.
Sampai akhirnya, pemberian bermacam obat sedapat mungkin dihindari demi
keselamatan ibu dan bayinya. (4) Selain ketiga hal
tersebut, Yanto masih menambahkan jenis dan cara kerja
obat sebagai bahan pertimbangan sebelum diberikan kepada ibu hamil. OBAT YANG RELATIF AMAN Dari bukti penelitian di Amerika, 60-75% perempuan hamil umumnya menggunakan 3-10 jenis obat selama kehamilannya. Obat-obatan kebanyakan diberikan untuk
mengatasi keluhan yang paling umum, seperti pusing, nyeri, demam, serta
mual. Keluhan-keluhan seperti ini, menurut Yanto, juga banyak dialami
ibu hamil di Indonesia. - Untuk menghilangkan rasa sakit dan demam Umumnya dokter
akan memberikan analgetik dan antipiretik (penghilang rasa
sakit dan demam) dari golongan aspirin dan parasetamol, serta analgetik
golongan narkotik. "Analgetik dan antipiretik golongan lain sebaiknya
tidak dikonsumsi ibu hamil. Sedangkan aspirin dan parasetamol dengan
dosis yang adekuat umumnya aman digunakan." Namun, waspadai
penggunaan aspirin dalam dosis tinggi karena disamping mempengaruhi
keasaman lambung yang dapat menimbulkan rasa nyeri, juga berdampak
menimbulkan perdarahan pada janin. Begitu juga dengan parasetamol.
Dalam dosis tinggi dan jangka waktu pemberian yang lama bisa
menyebabkan toksisitas atau keracunan pada ginjal. - Untuk menghilangkan keluhan mual Biasanya dokter
akan memberikan obat penghilang mual (antiemetik), serta antimikroba
dan antibiotik. Obat antimuntah (antinausea) yang umum digunakan adalah
golongan antihistamin. Sedangkan untuk antibiotik, dipakai golongan
penisilin dan golongan sepalosporin yang relatif
aman bagi ibu hamil. Golongan lain seperti tetrasiklin dan lainnya
sebaiknya dihindarkan. BILA HARUS KONSUMSI OBAT Lalu bagaimana
dengan ibu hamil yang memang perlu mengonsumsi obat karena penyakit
yang dideritanya. Menurut Yanto tentu tergantung pada kondisi
masing-masing ibu dan jenis penyakit. Obat-obatan
antituberkulosis seperti isoniazid dan rifampisin, misalnya, aman
digunakan pada kehamilan. Oleh sebab itu, ibu penderita tuberkulosis
yang hamil tak perlu menghentikan pengobatannya. Penderita
diabetes yang mengalami kehamilan, sebaiknya menghentikan sementara
obat diabetes yang diminum. "Lebih baik utamakan pengaturan diet atau
penggunaan insulin injeksi jika diperlukan," saran Yanto. Sedangkan
pada penderita asma, obat-obatan golongan bronchodilator umumnya
aman. Malah menurut Yanto, obat ini mempunyai efek menguntungkan untuk
janin yaitu penyediaan oksigennya bertambah sehingga kesejahteraan
janin lebih meningkat. Yang jelas perlu
dihindari, menurut Yanto, adalah obat-obatan penenang karena semua
golongan tersebut mempunyai pengaruh terhadap perkembangan janin
terutama pada penggunaan yang lama. KIAT PENGGUNAAN OBAT SELAMA KEHAMILAN Berikut kiat
aman penggunaan obat selama kehamilan dari Yanto: 1. Sebelum
menggunakan obat-obatan selama kehamilan sebaiknya diskusikan dulu
dengan dokter atau bidan yang mengawasi kehamilan. Beberapa pertanyaan
yang harus diajukan adalah: a. Obat yang
diberikan termasuk golongan apa, dan cara kerjanya bagaimana? b. Apakah obat
ini bisa menembus sawar pembatas plasenta? c. Apakah
golongan obat ini bisa berpengaruh terhadap mutasi gen yang berdampak
pada kecacatan bayi? d. Berapa dosis adekuatnya dan berapa lama harus diminum? 2. Pada saat minum obat perhatikan reaksi obat yang muncul. 3. Perhatikan adanya penurunan gerakan janin. Jika menurun, segera hentikan dan berkonsultasilah kembali. 4. Apakah ada perdarahan setelah minum obat ini? Jika ya, segera hentikan dan lakukan konsultasi kembali. 5. Sebaiknya minum obat sebatas diperlukan. Jangan lupa kasih sayang ibu dimulai sejak janin BELUM ADA DAFTAR OBAT Dr. Marius
Widjajarta yang dihubungi secara terpisah, menyatakan Indonesia
sampai saat ini belum memiliki daftar mengenai obat yang boleh dan
tidak boleh dikonsumsi selama hamil. "Ketimbang negara lain seperti
Australia dan New Zealand, Indonesia memang agak ketinggalan. Tapi kami
bekerja sama dengan para farmakolog, sedang berusaha menyusun daftar
tersebut, kok, sehingga nanti bisa dijadikan bahan acuan bersama," ujar
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia ini. Untuk sementara
tulisan dr. Chrisdiono M. Achadiat, Sp.OG., yang pernah dimuat
di Kompas Cyber-Media ini bisa menjadi bahan referensi.
Spesialis kebidanan dari Kediri, Jawa Timur ini membagi klasifikasi
obat menurut tingkat bahayanya terhadap janin berdasar daftar dari FDA (Food
and Drugs Administration) Amerika Serikat, sejenis Dirjen POM
(Pengawas Obat dan Makanan) di Indonesia: 1. Kategori A:
Obat/bahan obat yang berdasarkan penelitian (pada manusia) tidak
menunjukkan terjadinya risiko terhadap janin. Beberapa jenis vitamin
dan multivitamin yang diberikan semasa hamil termasuk dalam kategori
ini kecuali "megavitamins". 2. Kategori B:
Obat/bahan obat yang tidak menunjukkan risiko pada janin tapi
belum/tidak ada penelitian yang memadai pada manusia. Efek tak
diharapkan dapat diperlihatkan pada binatang percobaan, tetapi belum
bisa dibuktikan pada manusia. Beberapa antibiotika seperti penisilin
termasuk kategori ini. 3. Kategori C:
Belum ada penelitian yang adekuat pada manusia maupun binatang
percobaan. Atau telah dijumpai efek merugikan pada binatang, tetapi
tidak diperoleh data yang cukup meyakinkan/valid pada manusia.
Kebanyakan obat atau bahan lainnya yang sering diminum selama kehamilan
sekarang termasuk dalam kategori ini. 4. Kategori D:
telah ditemukan bukti-bukti adanya risiko bagi janin, tapi keuntungan
pemberiannya dipandang lebih besar dibandingkan risiko tersebut.
Contohnya, Carbamazepine dan Phenytoin (sejenis obat
untuk epilepsi) serta beberapa obat antikanker atau kemoterapi. 5. Kategori X: Risiko obat/bahan obat pada janin jauh lebih besar dibanding keuntungannya. Dengan kata lain, obat dalam kategori ini tidak boleh diberikan selama kehamilan (istilahnya: kontraindikasi mutlak). Contohnya adalah sejenis obat untuk jerawat yang dikenal sebagai isotretinoin, yang dapat menyebabkan kelainan multipel pada sistem saraf, wajah, maupun kardiovaskuler. Faras Handayani =+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+=+ Mailing List Nakita milis-nakita@news.gramedia-majalah.com Arsip http://www.mail-archive.com/milis-nakita@news.gramedia-majalah.com/ ------------------------------------------------ untuk berlangganan kirim mail kosong ke : [EMAIL PROTECTED] untuk berhenti berlangganan kirim mail kosong ke: [EMAIL PROTECTED] |