Assalaamu'alaikum wr. wb.  

Sobat muda muslim, ini artikel Studia edisi 293/Tahun ke-7 (15 Mei 2006).
Edisi cetaknya sudah beredar di Jadebotabek sejak hari Senin ini.
Selamat membaca...  

*[Dapatkan juga edisi cetaknya di jaringan kami di berbagai kota besar
lainnya: Aceh, Padang, Bengkulu, Palembang, Pangkalpinang, Bandarlampung,
Serang, Sukabumi, Bandung, Sumedang, Cirebon, Indramayu, Yogyakarta, Solo,
Semarang, Bangil, Pasuruan, Surabaya, Jember, Banjarmasin, Samarinda,
Balikpapan, Kendari, dan Makasar]  

Saran dan kritik, silakan kirim ke: 
Redaksi: [EMAIL PROTECTED]
Penerbit: [EMAIL PROTECTED]
HP: 08128841181 
Kunjungi situs kami di: http://www.dudung.net
Akses via HP: http://mobile.dudung.net (dan dapatkan arsip artikel
sebelumnya. Free!)

Ingin diskusi, ngasih info, ngasih masukan berupa kritik dan saran, gabung
aja di tempat mangkal kita: buletinstudia.multiply.com    
Untuk berlangganan edisi cetak, hubungi: 0813-81561253

Salam, 
Redaksi Buletin Studia 
Bogor
---
STUDIA Edisi 293/Tahun ke-7 (15 Mei 2006)
Robohnya Sekolah Kami

Tanggal 2 Mei dikenal para pelajar sebagai Hari Upacara Nasional, eh Hari
Pendidikan Nasional. Setiap tahun diperingati sebagai penghormatan terhadap
jasa besar pahlawan pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara. Sayangnya,
pendidikan di negeri kita tak kunjung membaik. Jangankan kualitasnya,
sarananya saja seringkali nggak memenuhi kelayakan untuk dipakai sebagai
tempat belajar. Ini salah satu potret buram pendidikan Indonesia.

Potret inilah yang coba dihadirkan dalam cerita sinetron dai cilik (Sidacil)
yang sempat ditayangkan di stasiun Lativi, dengan judul, ‘Sekolah Kita Mau
Roboh”. Kecintaan Zagar dan temen-temen sekelasnya terhadap sekolahnya yang
hampir rubuh, tak menyurutkan usaha mereka agar bisa tetap belajar. Bayangin
aja, pernah Zagar dkk belajar di luar kelas; pake kacamata biar nggak
kelilipan debu; atau pake helm demi melindungi kepala dari jatuhan
langit-langit kelas.  Tapi semuanya itu cuma bertahan sementara. Yup, mereka
mau nggak mau kudu terima kenyataan kalo gedung sekolah mereka emang udah
nggak layak dipake belajar. Hiks…hiks…hiks…

Kondisi ini pas sekali dengan penggalan puisi yang ditulis dan dibacakan
oleh seorang abdi pendidikan, Prof. Winarno Surachmad, saat peringatan Hari
Guru Nasional dan Hari Aksara Internasional di Solo, Jawa Tengah (27/11/05),
“......Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam? Kapan pengetahuan
kami bukan ilmu kedaluwarsa? Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi
yang terburuk?...”.



Nggak cuma ada dalam cerita

Cerita bangunan sekolah yang rusak berat seperti dalam Sidacil di atas,
bukan cuma omong kosong. Kenyataannya, puluhan ribu gedung sekolah di negeri
kita udah rusak parah. Baik di kota-kota besar hingga desa terpencil yang
jauh dari pusat kota. Ibaratnya, kalo ada semut yang iseng jingkrak-jingkrak
di atas sekolah itu, maka dalam hitungan detik, bakal rata dengan tanah.
Hihihi….emangnya kartun.

Di Jakarta Timur, 127 gedung sekolah rusak berat. Di Kota Bekasi sedikitnya
terdapat 80 gedung SD Negeri yang kondisinya sudah ringkih atau lapuk. Di
Sumatra Utara, jumlahnya mencapai angka 37.879 gedung sekolah. Di Jambi,
tepatnya di kabupaten Muara Jambai, dari 223 SD yang ada, 76 di antaranya
rusak berat. Di Kalsel terdapat 12.238 ruang kelas yang rusak, sebanyak
5.036 ruang kelas dalam kondisi rusak berat dan sebagian sudah tidak dapat
dipergunakan.

Sementara di planet Pajajaran alias Jawa Barat, sebanyak 97.210 ruang kelas
dari sekolah-sekolah yang ada rusak. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Jawa
Barat (Disdik Jabar) tahun 2005, sebanyak 47.066 ruang kelas rusak berat dan
sisanya rusak ringan. Seluruh ruang kelas sekolah dasar hingga sekolah
menengah atas di Jabar berjumlah 191.704 dengan kerusakan berupa dinding
berlubang, lantai terkelupas, dan atap bocor. Akibatnya, tidak hanya
kegiatan belajar-mengajar di sekolah tersebut terganggu, tetapi keselamatan
guru dan murid juga terancam (Kompas, 20/04/06). Ngeri banget kan?



Gimana bisa konsen belajar?

Sobat muda muslim, kebayang nggak sih suasana belajar kalo atap ruang kelas
kita nyaris roboh dimakan usia? Kalo kejatuhan cicak sih masih mending cuma
kaget doang. Nah ini, kalo kejatuhan langit-langit kelas yang udah rapuh,
alamat pindah kelas ke rumah sakit tuh. Yang ada, kita malah paranoid dengan
bahaya yang mengancam keselamatan jiwa. Gimana bisa konsen belajar?

Ini yang pernah terjadi pada sepuluh siswa kelas dua Madrasah Tsanawiyah
al-Huda di Kampung Pamegetan, Parung Ponteng, Tasikmalaya, Jabar. Mereka
luka-luka menyusul ambruknya atap bangunan saat para murid belajar bahasa
Indonesia. Mereka dilarikan ke Rumah Sakit Umum Daerah Tasikmalaya. Empat di
antaranya menderita luka cukup parah di kepala. (Liputan6.com, 02/04/06).

Di Kecamatan Cibiuk, Garut, Jawa Barat, sekitar 149 murid Sekolah Dasar
Negeri Lingkung Pasir 01, terpaksa diungsikan ke SDN Lingkung Pasir 03
menyusul rusaknya bangunan sekolah. Akibatnya, para siswa belajar dengan
berdesak-desakan. Bayangin aja, satu kelas kini menampung 65 orang. Padahal,
idealnya satu kelas hanya menampung 20 siswa. Ironisnya, bangunan SDN
Lingkung Pasir 03 yang menampung 309 siswa dari dua sekolah ini juga dalam
kondisi memprihatinkan. Gimana bisa konsen belajar?

Selain bangunan sekolah yang sudah rapuh, permasalahan minimnya sarana
penunjang belajar siswa ikut ambil bagian dalam potret buram pendidikan di
negeri kita. Sekitar 20 persen atau setara denga 195 dari total 975 Sekolah
Dasar di Kabupaten Tangerang tidak mempunyai meja dan kursi. Akibatnya, para
siswa belajar me-ngampar alias lesehan. Sementara ratusan siswa SDN Garung,
Kecamatan Kibin, Serang, Banten, belajar sambil berdesakan dan berdiri.
Sebab, kursi dan meja yang tersedia hanya cukup untuk separuh siswa yang
berjumlah 258 orang. Murid yang belajar sambil berdiri sering sakit
pinggang, kaki, dan kepala. Selain itu, mereka juga kesulitan berkonsentrasi
karena ruangan pengap serta bising. Tuh kan, gimana bisa konsen belajar?



Minim anggarannya atau cacat sistemnya?

Sobat muda muslim, bukan satu-dua kali para kepsek yang gedung sekolahnya
udah mau ambruk, atapnya rapuh, dinding kelasnya berlubang, list kaca
jendelanya dimakan rayap, atau kekurangan meja dan kursi untuk belajar,
mengadukan permasalahannya ke pemerintah pusat terkait. Dengan penuh
kesabaran, para pahlawan tanpa tanda jasa itu menggantungkan masa depan
pendidikan anak-anak didiknya di tangan pemerintah. Tapi apa jawaban
pemerintah?

Beragam. Dari sekadar janji hingga realisasi. Tapi dari semua jawaban itu,
hasilnya cuma satu, potret pendidikan di negeri kita masih tetap buram.
Setiap tahun jumlah bangunan sekolah yang terancam ambruk dimakan usia kian
bertambah. Tanyaken apa?

Kalo pemerintah di desak, keluar deh jawaban klasik, anggaran pemerintah
yang dialokasikan untuk pendidikan minim. Lihat saja, di Jawa Barat, yang
terdapat 35.190 sekolah rusak ringan dan 37.621 sekolah rusak berat
dibutuhkan dana Rp 1,1 triliun hanya untuk perbaikan ruang kelas. Tidak
termasuk kelengkapan sarana/prasarana penunjang pendidikan. Padahal, dana
yang dikucurkan untuk dunia pendidikan hanya 12% dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) atau sekitar Rp 485 miliar (Pikiran Rakyat,
02/12/05). Minim banget kan?

Pemerintah sendiri melalui Mendiknas Bambang Sudibyo mengungkapkan,
pemerintah pusat hanya menyediakan dana Rp 4,1 triliun untuk perbaikan
sekolah yang rusak di seluruh Indonesia. (Pikiran Rakyat, 21/04/06). Kecil
sekali Pak? Untuk beresin ruang kelas yang di Jawa Barat aja udah abis
seperempatnya. Ya, karena pemerintah pusat cuma bisa ngasih setengahnya dari
total dana yang dibutuhkan. Itu artinya, setengahnya lagi bakal ditanggung
oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Nah lho, gimana urusannya tuh?

Kalo itung-itungannya kayak gini, alamat bakal rakyat lagi yang kena
getahnya nanggung perbaikan gedung sekolah. Otomatis biaya pendidikan makin
membengkak. Nasib...nasib. Udah mah sekolah kayak kandang ayam, buku
pelajarannya kadaluarsa, bangku dan kursi tinggal rongsokan, tenaga pengajar
seadanya, eh masih kudu betulin sendiri kandang eh, sekolah tercinta.
Rupanya anggaran pendidikan dari negara ibarat sepotong roti yang kudu
dinikmati oleh puluhan mulut yang ternganga lebar menahan lapar. Jangankan
kenyang, bisa nyicipin aja udah untung banget tuh!

Pada akhirnya, kita wajib nyadar kalo minimnya anggaran pendidikan
diakibatkan negara kita terjebak dalam kehidupan sekular dan cengkeraman
kapitalis penjajah. Setiap tahunnya cekikan utang luar negeri telah merampok
APBN yang pas-pasan. Swastanisasi terhadap kekayaan alam di Papua atau Blok
Cepu bikin kantong negara cekak secekak-cekaknya.

Inilah realitas buruk yang kita hadapi dalam kehidupan
Sekularisme-Kapitalisme. Sayangnya, sistem kehidupan Sekulerisme-Kapitalisme
ini masih aja dipertahankan. Padahal mah, kalo udah ketauan cacat, langsung
aja pecat. Bukannya makin terpikat. Betul ndak?



Pendidikan dalam Pemerintahan Islam

Perhatian negara terhadap sektor pendidikan adalah harga mati dalam
pemerintahan Islam. Sebab Rasulullah saw. telah bersabda: “menuntut ilmu itu
wajib bagi setiap muslim dan muslimah” (HR Ibnu Adi dan Baihaqi)

Makanya negara pun wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan agar
pelaksanaan pendidikan rakyat bisa berjalan sempurna. Nggak boleh ada tawar
menawar lagi untuk menjaga kenyamanan belajar di sekolah, kelengkapan sarana
dan prasarana penunjang pendidikan, kesejahteraan bagi para tenaga pengajar,
hingga pendidikan bebas biaya. Sebagaimana kaedah syara menegaskan: “Tidak
sempurnanya suatu kewajiban karena tidak adanya sesuatu, maka sesuatu itu
menjadi wajib (pula)”

Dengan landasan inilah, Khalifah al-Muntashir pernah mendirikan Madrasah
al-Mustansiriah pada abad ke 12 sebagai satu-satunya sekolah Islam yang
terbesar di masa itu di kota Bagdad, dan khusus ditujukan bagi pendidikan
yang bebas biaya. Di sekolah ini, setiap siswa menerima bea siswa berupa
emas seharga satu dinar (4,25 gram emas).

Di samping itu setiap hari kehidupan para siswa di jamin. Makanannya berupa
roti dan daging tanpa dipungut biaya sepeser pun. Terdapat pula perpustakaan
yang lengkap yang dipenuhi kitab-kitab tentang berbagai macam ilmu
pengetahuan. Tak ketinggalan di dalamnya disediakan kertas dan tinta gratis
untuk dimanfaatkan para peneliti dan penyalin naskah. Dalam sekolah itu pun
disediakan pula sarana pemandian-pemandian dan rumah sakit dengan
dokter-dokter yang siap merawat kesehatan pelajar.

Soal kesejahteraan guru, Syekh Najmuddin al-Khubusyani adalah salah seorang
yang diangkat Sultan Salahuddin untuk mengajar di sekolah as-Shalahiyah.
Sultan memberinya 40 dinar setiap bulan sebagai gaji mengajar dan 10 dinar
sebagai gaji mengawasi wakaf-wakaf sekolah, juga 60 ritl Mesir roti setiap
hari dan dua kantong besar air setiap hari. Wuih, keren banget ya?

Sobat muda muslim, itulah contoh model pendidikan dalam kekhilafahan Islam.
Mungkin kedengarannya kayak di negeri dongeng ya? Hmm.. itu karena kita udah
terbiasa menyaksikan kerusakan seperti sekarang ini. Oya, bukan pula sebagai
romantisme sejarah dengan menyampaikan contoh tadi, tapi ini sekadar ngasih
gambaran, bahwa beginilah cara Islam mensejahterakan rakyatnya. Insya Allah,
Islam bisa memberikan yang terbaik buat umat manusia.

Untuk masalah pendidikan, Islam sangat memuliakan orang yang mau menuntut
ilmu dan yang mengajarkan ilmu. Jasa besar mereka layak dihargai negara
dengan jaminan kehidupan dunianya. Sehingga dari sinilah lahir
ilmuwan-ilmuwan Islam seperti al-Khawarizmi, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Sina,
atau Imam empat Madzhab yang memberikan kontribusi besar bagi pengembangan
ilmu pengetahuan di seluruh dunia. Bahkan berkahnya dirasakan juga oleh
kalangan nonMuslim. Oke nggak seh?

Kini, saatnya kita menyadari kalo pemerintahan yang sekuler dan gaya hidup
kapitalislah yang telah merenggut masa depan pendidikan tunas-tunas bangsa.
Kagak pake dilama-lamain, nih sistem Sekularisme-Kapitalisme kudu segera
dibuang dan menggantinya dengan Islam. Islam yang diterapkan sebagai
ideologi negara. Insya Allah, potret buram pendidikan di negeri kita dan
negeri lainnya berangsur-angsur membaik sebagaimana masa kejayaan Islam
dulu. So, potret buram? Wassalam aja deh! [Hafidz: [EMAIL PROTECTED]

http://buletinstudia.multiply.com/journal/item/38

--
Buletin Remaja Studia terbit setiap Senin sejak Januari 2000, "Gaul, Syar'i,
dan Mabda'i" Penerbit: Studia Publication. HP 0812-8841181. Website:
http://www.dudung.net dan buletinstudia.multiply.com, e-mail:
[EMAIL PROTECTED] dan [EMAIL PROTECTED] Mailing List:
[EMAIL PROTECTED]

Echte DSL-Flatrate dauerhaft für 0,- Euro*!
"Feel free" mit GMX DSL! http://www.gmx.net/de/go/dsl




Mari bersama-sama mengharumkan Islam lewat kebudayaan/seni Islami





YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke