Jakarta -Menjelang tutup tahun lalu, Direktorat Jenderal Pajak membuat geger. 
Mochamad Tjiptardjo, Direktur Jenderal Pajak pengganti Darmin Nasution, 
mengungkapkan dilakukannya penyidikan atas dugaan tindak pidana pajak oleh dua 
perusahaan tambang batu bara milik Grup Bakrie, yakni PT Kaltim Prima Coal 
(KPC) dan PT Bumi Resources Tbk., pada 2007. 

Tak hanya itu, saat ini penyidik pajak juga sedang memeriksa kasus serupa yang 
juga dilakukan milik kelompok usaha Bakrie di industri tambang batu bara 
lainnya, yakni PT Arutmin Indonesia. “Nilainya kurang lebih Rp 2,1 triliun,” 
kata Tjiptardjo mengungkapkan nilai pajak yang tak dibayar ketiga perusahaan 
tersebut. KPC diduga kurang bayar Rp 1,5 triliun, Bumi sebesar Rp 376 miliar, 
dan Arutmin sekitar Rp 300 miliar.

Jika penyidikan bisa membuktikan kasus ini, maka rekor dugaan tindak pidana 
pajak pun pecah dari tangan Asian Agri Group yang diduga menggelapkan pajak 
hingga Rp 1,4 triliun.

Tapi bukan besarnya nilai pajak itu yang membuat geger. Pengumuman dari kantor 
pusat pajak tadi langsung dihubungkan dengan kasus Bank Century, yang saat itu 
mulai panas digodok di Panitia Khusus Angket Dewan Perwakilan Rakyat. 
Selentingan pun bermunculan, termasuk sinyalemen yang menduga pengusutan pajak 
tersebut adalah upaya Kementerian Keuangan memukul balik Aburizal Bakrie, yang 
akrab dipanggil Ical, karena getolnya Partai Golkar di Panitia Angket 
memojokkan Sri Mulyani dalam kasus kucuran dana talangan Rp 6,7 triliun kepada 
Century.

Namun, Tjiptardjo berulang kali menampik tudingan tersebut. “Ini kasus 2007, 
dan sudah disidik sejak Maret 2009,” katanya. “Jauh sebelum kasus Century ada.”

Lantas bagaimana awal mula kasus ini. Seorang penyidik pajak mengungkapkan, 
kasus KPC berawal dari Surat Pemberitahuan (SPT) KPC tahun pajak 2007 yang 
disetor ke Kantor Pajak Wajib Pajak Besar, Gambir, pada Maret 2008. Pada SPT 
itu, KPC mengklaim telah lebih bayar pajak sebesar Rp 30 miliar. Artinya, KPC 
meminta negara mengganti kelebihan pembayaran tersebut. “Karena ada klaim lebih 
bayar, dan jumlahnya besar, kami pun memeriksa. Itu biasa dan rutin,” ujarnya.

KPC, kata dia, paling awal diperiksa karena jumlahnya kewajiban pajaknya lebih 
besar ketimbang dua perusahaan Bakrie lainnya. “Kalau modusnya hampir-hampir 
mirip.”

Hasil pemeriksaan awal pun keluar, status SPT 2007 dari KPC seharusnya tidak 
lebih bayar, justru kurang bayar. Atas hal itu, kata sumber tadi, tak kurang 
upaya yang dilakukan kantor pajak untuk meminta KPC memperbaiki SPT-nya. 
Bahkan, sumber <I>Tempo</I> lainnya di lingkungan kantor pajak mengatakan 
Direktur Jenderal Pajak saat itu, yakni Darmin Nasution, turun tangan dengan 
berbicara kepada petinggi Grup Bakrie. “Intinya agar SPT itu dibetulkan, jangan 
yang kurang diakui lebih, kalau tidak akan susah karena bisa diperiksa lebih 
lanjut,” kata sumber tadi.

Celakanya, himbauan dari kantor pusat itu tak digubris. Pemeriksaan pun 
dilanjutkan dan menemukan adanya indikasi tindak pidana pajak berupa rekayasa 
penjualan yang dilakukan oleh KPC pada 2007. Penjualan yang seharusnya bisa 
dilakukan langsung oleh KPC dengan pembeli di luar negeri, dibelokkan terlebih 
dahulu ke PT Indocoal Resource Limited, anak usaha PT Bumi Resources Tbk., di 
Kepulauan Cayman.

Penjualan batu bara kepada perusahaan terafiliasi itu hanya dihargai separuh 
dari harga yang biasa dilakukan jika KPC menjual langsung kepada pembeli. 
Berikutnya, penjualan ke pembeli lainnya pun dilakukan oleh Indocoal dengan 
mamakai harga jual KPC biasanya. “Akibatnya omset penjualan batu bara KPC jauh 
lebih rendah dari perhitungan penyidik jika itu dijual langsung, selisihnya 
bisa sampai triliunan.”

Rendahnya omset penjualan itu pula yang belakangan diduga menyebabkan kewajiban 
pajak KPC cukup rendah atau bahkan lebih bayar. Hingga saat ini, <I>Tempo</I> 
belum bisa mengkonfirmasi soal hal ini kepada KPC. Adapun pengacara KPC, Aji 
Wijaya, mengaku tak tahu soal hal itu.

Yang menarik, kata sumber tadi, seluruh duit hasil transaksi penjualan yang 
dilakukan oleh KPC maupun Indocoal masuk ke satu rekening. Bahkan, invoice atau 
tanda terima transaksi Indocoal dengan pembeli di luar negeri pun dibuat oleh 
pihak KPC di Kalimantan.

Maka terbitlah Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan atas kasus tersebut 
pada 4 Maret 2009. Sebelum penerbitan surat perintah itu, kantor pajak mengaku 
belum menerima revisi SPT dari KPC yang sebelumnya telah dianjurkan kantor 
pusat.

Selang 16 hari kemudian, atau pada 20 Maret 2009, KPC melayangkan gugatan ke 
Pengadilan Pajak atas terbitnya surat perintah tersebut. Intinya, KPC menilai 
penyidik pajak tak menjalankan prosedur pemeriksaan sesuai ketentuan.

Dipermasalahkannya proses pemeriksaan ternyata tak membuat Direktorat Jenderal 
Pajak menghentikan pemeriksaan. Sepuluh hari setelah gugatan KPC masuk ke 
Pengadilan Pajak, atau 30 Maret 2009, pemeriksaan pun ditingkatkan ke 
penyidikan. “Buat kami kalau dugaan pidananya sudah kuat, tak perlu lama-lama 
pemeriksaan Buper-nya,” kata Pelaksana tugas (Plt) Direktur Intelijen dan 
Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak, Pontas Pane.

Dan itulah yang terjadi, penyidikan kasus dugaan pidana pajak KPC digelar. 
Penyidikan itu pula yang kemudian dipersoalkan KPC lewat permohonan 
praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah menerima putusan 
Pengadilan Pajak tertanggal 8 Desember 2009 yang membatalkan Surat Perintah 
Pemeriksaan Buper kasus KPC. Pada permohonan praperadilan tersebut, KPC dengan 
tegas meminta majelis hakim praperadilan membatalkan penyidikan yang dilakukan 
oleh aparat pajak. “Jika surat perintah pemeriksaan bukti permulaannya 
dibatalkan Pengadilan Pajak, maka penyidikannya juga batal dong,” kata Aji awal 
pekan lalu.

Namun, Kantor Pusat Pajak menolak pendapat itu. Selain menganggap permohonan 
praperadilan yang diajukan KPC salah alamat, Kepala Subdirektorat Bantuan Hukum 
Direktorat Jenderal Pajak, Fendy Dharma Saputra, menegaskan bahwa penyidikan 
dilakukan bukan berdasarkan pada surat perintah Buper. “Tapi justru hasil bukti 
permulaannya,” katanya menyampaikan eksepsi atas permohonan praperadilan KPC.

Penyidik pajak rupayanya sangat yakin dengan indikasi pidana pada kasus KPC. 
Terlebih setelah adanya cicilan pembayaran pajak 2007 yang disetor KPC pada 
periode April hingga Oktober 2009 yang totalnya mencapai Rp 800 miliar. 
“Artinya mereka mengakui bahwa SPT mereka sebelumnya itu salah, diberi 
kesempatan memperbaiki tidak mau, sudah disidik baru mengajukan SPT 
Pembetulan,” ungkap seorang penyidik.

Dikonfirmasi soal hal ini, Pontas dari Kantor Pusat Pajak dan Aji dari KPC 
sama-sama mengakui adanya setoran pembayaran pajak 2007 yang dilakukan KPC pada 
2009 tersebut. Pontas enggan berkomentar soal SPT Pembetulan tersebut. “Kami 
dilarang Undang-Undang untuk membuka SPT,” katanya.

Adapun Aji punya versi lain. Menurut dia, SPT Pembetulan itu dilakukan bukan 
untuk mengakui atau membayar kurang bayar pajak yang kini sedang disidik 
Direktorat Jenderal Pajak. Duit Rp 800 miliar adalah pembayaran kurang bayar 
pajak yang dihitung sendiri oleh KPC setelah tak pernah mendapat respon dari 
kantor pajak atas SPT 2007 yang diajukan awal 2008.

Saat itu, Aji menceritakan, selain menyusun SPT 2007, KPC juga sedang 
memperbaiki SPT 2005 dan 2006 dalam rangka <I>sunset policy</I>. Kedua SPT 
untuk <I>sunset policy</I> disusun bersama dengan panduan pemeriksa pajak dan 
segera disetor ke kantor pajak. “Tapi ternyata kedua SPT itu pun tak pernah 
ditanggapi apakah diterima atau ditolak, termasuk juga SPT 2007. Kami bingung,” 
katanya Minggu, (7/2).

Karena beberapa kali surat yang dilayangkan kepada kantor pajak untuk 
memperjelas nasib ketiga SPT tadi tak ditanggapi, KPC pun berinisiatif menyusun 
SPT Pembetulan. “Di situlah kurang bayar, dan itu kami bayar. Tapi sampai 
sekarang juga kami tak pernah kejelasan statusnya.”

Menurut Pontas, cicilan tersebut sudah diterima kantor pajak dan disetor ke kas 
negara. Tapi, kata dia, statusnya bukan lagi sebagai pembayaran pajak. Begitu 
pula atas SPT Pembetulan dari KPC, Direktorat Jenderal Pajak tak mengakuinya 
karena kasunya telah dalam penyidikan pidana. “Ya dibayar kami terima saja, 
tapi ini sudah penyidikan pidana. Kalau mau membayar silahkan lihat 
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP),” katanya.

Undang-Undang KUP menyatakan penghentian penyidikan kasus pidana pajak bisa 
dilakukan oleh Jaksa Agung atas permintaan Menteri Keuangan setelah wajib pajak 
mengakui kesalahannya dan membayar tunggakan pajak ditambah denda sebesar empat 
kali pajak terutang. Artinya, jika kurang bayar pajak KPC dalam kasus ini Rp 
1,5 triliun, maka setoran KPC yang bisa menghentikan penyidikan mencapai Rp 7,5 
triliun.



Forex Trading & Forum, Free Forex Robot ,  Free Forex Ebook 



      

Kirim email ke