Neraca Pembayaran Kuartal Pertama Surplus US$ 4M

AKARTA. Di saat ekonomi dunia sedang jalan di tempat, ada kabar baik 
menghampiri Indonesia. Setelah kabar positif tentang pertumbuhan ekonomi di 
triwulan I 2009, kini muncul cerita menyenangkan tentang neraca pembayaran.

Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Dyah 
Nastiti K. Makhijani menuturkan, neraca pembayaran Indonesia di kuartal pertama 
2009 mengalami perbaikan. "Surplus senilai US$ 4 miliar," ujar Dyah, Selasa 
(19/5).

Membaiknya neraca pembayaran Indonesia karena melonjaknya nilai investasi, baik 
investasi langsung maupun investasi portofolio. "Sumbangan terbesar adalah dari 
investasi sektor migas dan akuisisi di sektor telekomunikasi," ujar Dyah.

Besar kemungkinan salah satu sumbangan dari sektor telekomunikasi adalah 
penjualan saham Indosat ke Qatar Telecom. Nilai transaksi yang terjadi awal 
tahun itu sekitar Rp 6 triliun.

Pemicu arus masuk dana lainnya adalah penerbitan obligasi valuta asing (valas) 
oleh pemerintah Indonesia, baikyang berbentuk konvensional maupun yang 
berbentuk syariah (sukuk).

Ekspor bisa naik

Ekonom PT Bank BNI Tbk. Tony Prasetiantono menambahkan, surplus pada kuartal 
satu 2009 lebih banyak didorong aliran dana masuk alias capital inflow melalui 
pasar saham. "Ini terlihat dari berbagai faktor, seperti kenaikan cadangan 
devisa, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menembus angka 1.800, dan nilai 
tukar rupiah terus menguat," ujarnya.

Namun Tony menilai, neraca pembayaran Indonesia sejatinya masih kurang mantap. 
Soalnya, "Selisih antara ekspor dan impor masih tipis," katanya. Karena itu, 
Indonesia perlu penggenjotan ekspor. Apalagi, saat ini harga komoditas sudah 
mulai kembali merangkak naik. "Aliran modal ke depan masih bisa lebih kencang," 
imbuhnya.

Tony meramal, di kuartal kedua 2009 cadangan devisa bisa menembus US$ 60 
miliar. "Bila devisa tembus segitu, saya yakin rupiah kembali ke level di bawah 
Rp 10.000 per dolar AS," katanya. BI mencatat, cadangan devisa di akhir Maret 
sebesar US$ 54,8 miliar, atau setara untuk kebutuhan impor selama 6,1 bulan. 


Kirim email ke