Ini sekedar sharing ya mbah, definisi Ketuhanan versi Agama Alam (Buddhism). 
Kayaknya mudah dimengerti koq.

======
Kita sampai pada yang diajarkan oleh Sang Buddha tentang konsep "penciptaan" 
alam-semesta oleh suatu "maha-dewa" atau makhluk tertentu. Keberadaan makhluk 
seperti itu dibantah oleh Sang Buddha, sebab menurut Beliau, pemahaman seperti 
itu adalah tidak masuk akal, tanpa pembuktian yang mendukungnya. Ada beberapa 
argumentasi yang mencoba membuktikan adanya "maha-dewa" pencipta, namun Buddha 
Dhamma malah membuktikan bahwa tidak satupun argumentasi itu memuaskan. 
Argumentasi pertama mengatakan seperti ini: "Segala sesuatu mempunyai kausa 
(sebab), oleh karenanya selayaknya ada kausa pertama, dan bahwa kausa pertama 
itulah "maha-dewa" itu. Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi ini. 
Pertama, ialah bahwa argumentasi diatas justru bertolak belakang dengan 
pernyataan/argumentasi itu sendiri. Oleh karena, segala sesuatu mempunyai 
kausa, maka kausa pertama seharusnya mempunyai kausa juga. Kedua, tidak ada 
alasan yang masuk akal, bahwa segala sesuatu harus mempunyai satu kausa 
tunggal. Semua benda pada dasarnya terbentuk dari beberapa kausa, dengan 
demikian adalah sangat makul kalau dikatakan bahwa sesuatu hal memiliki 
sepuluh, ratusan atau bahkan ribuan kausa. Ketiga, walau ada kausa pertama yang 
tunggal, namun tidak terbukti bahwa itu adalah suatu "maha-dewa". Banyak 
kemungkinan untuk itu. Lalu ke-empat, adalah secara makul tidak mungkin ada 
kausa pertama atau asal dari alam-semesta. Suatu permulaan, adalah suatu 
kejadian, dan sama halnya dengan kejadian-kejadian pada umumnya, permulaan 
adalah suatu perlangsungan, yang tentunya pasti mengambil masa atau waktu untuk 
perlangsungannya. Waktu terdiri atas lampau, sekarang dan akan datang. Oleh 
karenanya pada setiap kejadian yang berlangsung, ada waktu sebelum terjadi 
(waktu lampau), waktu ketika terjadi (sekarang) dan waktu sesudah terjadi 
(waktu akan datang). Sebelum dari apa yang disebut "penciptaan oleh maha-dewa", 
dengan sendirinya tidak ada waktu (karena segala sesuatu belum ada). Lalu, 
jelas tidaklah mungkin bahwa sesuatu "tanpa-waktu" menghasilkan waktu, sama 
tidak mungkinnya gelap menghasilkan terang, atau kering dapat menimbulkan basah.
=======
Argumentasi lain, mengenai keberadaan "maha-dewa" tersebut, adalah sebagai 
berikut: dikatakan "Segala sesuatu secara alami mempunyai tujuan dan aturan. 
Tidak terjadi secara kebetulan, namun dirancang. Apabila alam adalah rancangan, 
maka harus ada perancang, lalu perancang itu seharusnya "maha-dewa" tersebut". 
Ada beberapa alasan penolakan pada argumentasi diatas. Pertama, walau misalnya 
diakui bahwa alam ini dirancang, namun tidak terbukti bahwa perancangnya adalah 
"maha-dewa" tersebut, juga tidak terbukti bahwa perancangnya adalah tunggal. 
Pada kenyataannya, alam demikian rumit serta kompleks, wajar bila memerlukan 
banyak perancang. Jadi, bila segala sesuatu dirancang, maka perlu ada beberapa 
"pencipta". Kedua, walau misalnya alam ini dirancang, maka ternyata tampak 
aspek kekejaman dalam rancangannya. Sebagai contoh, kuman tuberkulosa dirancang 
untuk menggerogoti paru-paru manusia. Mulut belut laut dirancang untuk 
mencengkram tubuh ikan mangsanya untuk kemudian pelan-pelan dimakan hidup-hidup 
penuh rasa sakit. Kuman kusta dirancang untuk menggerogoti daging manusia 
sehingga anggota badan rusak. Dengan demikian, walau, misalnya alam dirancang, 
kenyataan bahwa justru banyak rancangan menyebabkan penderitaan menyimpulkan 
bahwa Yang-Esa yang maha-pengasih tidak pernah menciptakannya sedemikian rupa. 
Ke-tiga, walau misalnya alam ini dirancang, banyak dari rancangan itu justru 
salah. Bila "maha-dewa sempurna" itu merancang, maka ciptaannya seharusnya 
sempurna pula. Kenyataannya hujan memang mengairi persawahan, tapi 
kadang-kadang hujan tidak datang, menyebabkan berjuta orang meninggal karena 
kelaparan, atau hujan terlampau banyak, menyebabkan ribuan orang kehilangan 
rumahnya atau hidupnya karena banjir. Setiap tahun jutaan bayi dilahirkan cacat 
mental atau badaniah yang sangat mengerikan. Produksi sel tubuh, kadang-kadang 
salah, menyebabkan tumor dan kanker. Kenyataan, bahwa perancangan alam tidaklah 
sempurna meng-indikasikan bahwa "maha-dewa", pencipta yang seharusnya sempurna 
bukanlah perancangnya.
========
Agama Buddha juga masih memiliki beberapa argumentasi kuat untuk menganggap 
"maha-dewa" itu, tidaklah maha-tahu, maha-kuasa serta maha-pengasih. 
Argumentasi pertama adalah, apabila "maha-dewa" itu maha-tahu, maka "maha-dewa" 
itu pasti mengetahui semua masa lalu, mengetahui semua masa sekarang dan 
mengetahui semua masa yang akan datang. Dengan demikian seharusnya "maha-dewa" 
itu pasti mengetahui pilihan yang dijatuhkan seseorang, pikiran yang dipunyai 
seseorang, tindakan yang akan dilakukan seseorang, jauh sebelum dilaksanakan 
oleh orang itu. Jadi, dengan demikian setiap manusia seharusnya hanya dapat 
bertindak sesuai apa yang telah "maha-dewa" ramalkan sebelumnya; seluruh 
kehidupan setiap orang telah dipastikan dan telah ditentukan sebelumnya. Dengan 
demikian, berdasar pada pemahaman "maha-dewa maha-tahu" itu tidak mungkin lagi 
ada kebebasan keinginan lagi; lalu bila tidak ada kebebasan keinginan, 
seseorang tidak seharusnya bertanggung jawab pada setiap tindakannya, pula ide 
untuk berbuat kebajikan dan menghindari kejahatan, tidak berarti lagi.
Sehubungan dengan itu, argumentasi lain, adalah sebagai berikut:
Bila "maha-dewa" adalah pencipta dan pengendali segalanya, maka tiada gunanya 
manusia berbuat apapun, sebab manusia bagaikan wayang-kulit dari kehendak 
"maha-dewa" sebagai dalangnya, dan dengan sendirinya "maha-dewa" itulah 
penanggung jawab dari semua tindakan manusia yang tidak terpuji. Sang Buddha 
menyatakan argumentasi-nya sebagai berikut:
========
Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmana yang percaya dan mengajarkan, bahwa 
apapun yang dialami manusia, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semuanya 
disebabkan oleh keinginan "maha-dewa". Saya menemui dan bertanya pada mereka, 
apakah benar mereka mengajarkan demikian, mereka ternyata mengiyakan, lalu saya 
berkata: "Apabila demikian, tuan yang terhormat, mereka yang membunuh, mencuri 
dan berzina pula atas kehendak "maha-dewa" tersebut. Mereka harus berbohong, 
berfitnah dan berkata kasar serta bergunjing, disebabkan karena kemauan-nya. 
Mereka harus menjadi serakah, pembenci dan berpandangan salah karena kemauan 
"maha-dewa" tersebut". Mereka menyandarkan semuanya sebagai keputusan "sang 
maha-dewa" akan kehilangan gairah keinginan dan daya-upaya untuk berbuat ini 
atau tidak berbuat itu.5 
=========
Pujangga Buddhis, Santideva, menyatakan dengan sederhana: "Bila "maha-dewa" lah 
penyebab semua kejadian, lalu apa gunanya manusia berusaha sekuat tenaga?"6.
=========
Argumentasi lain mengenai konsep "maha-dewa", sebagai berikut: keberadaan 
kejahatan dan penderitaan didunia adalah bukti bahwa "maha-dewa" yang 
maha-kasih, maha-kuasa tidaklah ada, sebab bila ada tentunya "maha-dewa" 
sedemikian itu bisa menghentikan segala kejahatan, bencana dan penderitaan. 
Seorang manusia sederhana sekalipun akan berbuat apa saja agar terbebas dari 
sakit, kelaparan dan ketakutan apabila mereka berdaya untuk itu; lalu mengapa 
"maha-dewa" yang lebih sempurna dan maha-kuasa itu tidak bertindak? Ada pula 
pendapat yang mengatakan, bahwa penderitaan adalah hukuman "maha-dewa" bagi 
yang berbuat kejahatan. Tapi bukankah orang yang baik juga ditimpa bencana, 
sakit, kematian mendadak, sebaliknya penjahat juga ada yang sukses, sehat dan 
bahagia. Lalu, apa pula yang mengatakan bahwa semua penderitaan manusia 
disebabkan oleh dosa. Walau manusia memang harus bertanggung jawab dalam bentuk 
penderitaan, namun tetap mereka tidak dapat dipersalahkan untuk beberapa macam 
penderitaan seperti kanker, gempa bumi, paceklik, kekeringan dan juga terlahir 
cacat. Satu lagi, juga ada pendapat bahwa kejahatan dan penderitaan disebabkan 
oleh para iblis. Tetap, tak dapat diterangkan mengapa "maha-dewa pengasih" 
tidak dapat menyelamatkan orang-orang tak berdosa. Mengapa "maha-dewa pengasih" 
membiarkan penderitaan terjadi? Oleh karenanya, adanya penderitaan yang 
mengerikan dan tanpa tujuan itu merupakan bukti tidak adanya "maha-dewa 
maha-pengasih" tersebut.
==========
Sang Buddha bersabda:

Dengan mata, seseorang dapat melihat pandangan memilukan; 
Mengapa "maha-dewa" itu tidak menciptakan secara baik? 
Bila kekuatannya demikian tak terbatas,
Mengapa tangannya begitu jarang memberkati,
Mengapa dia tidak memberi kebahagiaan semata?
Mengapa kejahatan, kebohongan dan ketidak-tahuan merajalela.
Mengapa memenangkan kepalsuan, sedangkan kebenaran dan keadilan gagal.
Saya menganggap, "maha-dewa" adalah ketak-adilan.
Yang membuat dunia yang diatur keliru.7
=========
Ada pendapat yang mengatakan bahwa hanyalah kepercayaan pada "maha-dewa yang 
bercirikan sifat seperti diatas" yang dapat menjamin kebahagiaan serta membuat 
hidup berarti atau hanya dengan keyakinan seperti itu kita dapat mengatasi 
masalah kita sendiri. Namun, jutaan manusia yang juga berbahagia, produktif dan 
bermoral dalam hidupnya tanpa harus menyandang konsep tentang adanya 
"maha-dewa" berciri sedemikian. Mereka juga berhasil mengatasi kecacatan, 
ketidak-mampuan dan kekerasan hidup melalui kekuatan dan ketetapan hati mereka 
sendiri, tanpa bersandar pada kekuasaan "maha-dewa" tersebut. Apabila manusia 
bermoral, bahagia dan berkasih-sayang pada sesamanya serta mempunyai tujuan 
hidup, maka kepercayaan sedemikian diatas kiranya tidaklah diperlukan. Namun, 
adalah penting diketahui bahwa untuk orang tertentu kepercayaan pada 
bentuk-bentuk atau ciri-ciri "maha-dewa" sedemikian diatas adalah berarti dan 
penting untuk hidupnya. Oleh karenanya, walau tidak menganut paham sedemikian 
bagi dirinya sendiri, seorang umat Buddha hendaknya tetap menghormati mereka 
yang berkeyakinan seperti itu.
=========
Alam Manusia (Manussa loka) adalah terbaik di antara alam-alam kehidupan sebab 
hanya di alam inilah kita mendapat kesempatan terbesar untuk mengembangkan 
kebijaksanaan dan mencapai Pencerahan. Para dewa menikmati kebahagiaan yang 
demikian tinggi, sedemikian rupa sehingga mereka tidak terdorong untuk 
mengembangkan batinnya, sebaliknya makhluk di alam-alam rendah mengalami 
demikian banyak penderitaan sehingga mereka tidak dapat berbuat apa-apa. 
Manusia mengalami kebahagiaan dan kesengsaraan dalam bagian yang sama. Ukuran 
dan struktur otak manusia memungkinkan kesadaran untuk berpikir, menalar dan 
memiliki daya ingat. Sebenarnya, Buddhis kuno mengungkapkan keberadaan manusia 
dalam berpikir, dalam kata manusia (manussa), yang berasal dari kata mana 
ussannata, yang berarti "mengutamakan berpikir". Manusia juga mempunyai bahasa 
yang berkembang baik, yang memungkinkan komunikasi Dhamma dengan baik. Dibalik 
kenyataan bahwa alam manusia adalah yang terbaik dari segala alam, namun 
terlahir sebagai manusia adalah kesempatan yang sangat jarang, oleh karena kita 
seharusnya menggunakan sebaik mungkin kesempatan tersebut. Sang Buddha bertanya:

"Yang mana lebih banyak - pasir diujung kuku saya, atau pasir seluruh bumi?"

"Guru, jauh lebih banyak pasir di bumi ini. Sangat sedikit pasir di ujung kuku 
Guru. Satu sama lain tidak dapat dibandingkan."

"Demikian pula, makhluk yang dilahirkan sebagai manusia adalah sangat sedikit. 
Jauh lebih banyak yang terlahir dalam alam-alam lainnya. Oleh karenanya engkau 
hendaknya melatih dirimu, dengan senantiasa berpikir: "Kita akan hidup sebaik 
mungkin".8

Tidak hanya, terlahir sebagai manusia adalah kesempatan terbaik untuk mencapai 
Pencerahan, namun juga karena semua manusia bisa mencapai Pencerahan. Alasan 
untuk itu adalah karena umat manusia hanyalah satu. Hal itu perlu disebutkan 
karena ada agama-agama dan paham-paham politik yang menganggap perbedaan ras, 
kasta atau kelas menyebabkan perbedaan kapasitas intelektual, oleh karenanya 
mereka harus diperlakukan berbeda dan diberi kesempatan berbeda. Hindu kuno 
mengajarkan pemahaman seperti itu, dengan membagi manusia atas empat kasta dan 
mengeluarkan yang terendah, kasta Sudra, dari kehidupan sosial dan agama, 
karena dianggap tidak mempunyai kemampuan intelektual. Sang Buddha menentang 
keras paham tersebut. Puluhan khotbah Beliau menampilkan alasan untuk 
meruntuhkan sistim kasta dan menegakkan persamaan martabat dan harkat manusia.9 
Beliau bersabda: 

Apabila engkau memperhatikan pepohonan atau rumput, 
Tanpa mengetahuinya,
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya

Lalu perhatikan ngengat dan kumbang,
Atau serangga kecil seperti semut;
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya

Dan pada makhluk ber-kaki empat,
Yang besar dan kecil,
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya

Perhatikan makhluk yang merayap pada perutnya,
Ular dan hewan melata lainnya. 
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya.

Perhatikan ikan
Dan semua yang hidup di air
Mereka tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya

Perhatikan burung yang beterbangan
Mereka yang bepergian melalui angkasa;
Mereka juga tampak beraneka macam dan ragam,
Ada bermacam jenisnya
Pada semua makhluk-makhluk itu,
Macam dan ragamnya dapat terlihat;

Pada manusia tidak ada perbedaan diantaranya.
Tidak dirambut atau kepala, ditelinga atau mata,
Tidak di mulut atau hidung, bibir atau alis,
Adanya perbedaan yang mencolok.
Tidak di leher atau bahu,
Tidak di perut atau dada,
Tidak pula pada kelamin
Adanya perbedaan mencolok.

Tidak pada tangan atau kaki, pada jari atau kuku,
Tidak pada betis, paha atau bentuk penampilan,
Adanya perbedaan ragam dan macamnya,
Seperti pada makhluk lainnya.

Ragam manusia tidak berbeda banyak, 
Seperti makhluk lainnya.
Yang berbeda antara umat manusia,
Hanyalah perbedaan tak bermakna.10

Ada pendapat bahwa wanita mempunyai kemampuan spiritual yang kurang dibanding 
laki-laki. Dalam hal ini Agama Buddha, beranggapan bahwa maskulinitas dan 
feminitas adalah perbedaan bentuk, bukanlah perbedaan batin.11 Pencerahan 
dicapai mengembangkan kebijaksanaan dan welas-asih, dan siapa saja, tidak 
tergantung dari jenis kelaminnya dapat mencapainya. Sang Buddha bersabda:

Wanita, dari perumah-tangga biasa sampai yang telah meninggalkan keduniawian, 
dapat mencapai tingkat Pemenang-Arus, tingkat Yang-Kembali-Sekali, tingkat 
Yang-Tak-Kembali, tingkat Arahat.12 
Oleh karenanya wanita seharusnya diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang 
sama dengan kaum lelaki. Pandangan Sang Buddha pada kemampuan pencapaian 
Pencerahan oleh wanita dirangkum dengan baik oleh seorang murid Beliau bernama 
Soma.

Kodrat sebagai wanita tidaklah berperan
Tatkala batin tenang dan kokoh,
Tatkala pengetahuan berkembang hari ke hari,
Dan ketika dia merenungkan Dhamma.
Seseorang yang berpikir seperti ini:
Oleh karena "Saya wanita" atau "Saya pria"
Ataupun setiap pikiran "Saya adalah ......"
Mara akan dapat menyapanya.13
=========
Beberapa agama mengajarkan bahwa wanita diberi peran oleh Tuhan, biasanya 
sebagai ibu atau isteri, dan mereka wajib melaksanakan peran itu. Agama Buddha 
tidaklah mengajarkan demikian. Wanita sebagai halnya lelaki bebas untuk memilih 
perannya, sebagai ibu, isteri, pengusaha, biarawati, dan lainnya; apapun yang 
mereka pikir memberi kepuasan dan kebahagiaan.

Karena mengetahui bahwa setiap insan dapat mencapai Pencerahan, Sang Buddha 
mengajarkan Dhamma kepada semua orang, dengan harapan semuanya mempelajarinya, 
melaksanakannya dan saling mengajarkannya. Ketika Mara membujuknya agar mati 
lebih dini, Sang Buddha menjawab:

Saya tidak akan mati sebelum para bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria serta 
wanita telah mempelajari mendalami, kebijaksanaan dan terlatih, dapat mengingat 
ajaran, menguasai ajaran utama dan tambahan serta bermoral; sampai mereka dapat 
menguasai, dapat menyampaikan pada lainnya, mengajarkannya, memaklumkannya, 
memperdalam, menghayati, menerangkan serta membabarkannya; sampai mereka mampu 
membedakannya dari ajaran salah yang diajarkan oleh yang lainnya dan dapat 
menyebarkan kebenaran yang meyakinkan serta dapat membebaskan ini, ke segala 
penjuru. Saya tidak akan mati sampai tata kehidupan yang suci telah dicapai, 
dihargai dan dihormati; sampai ajaran kebenaran ini dikenal luas diantara dewa 
dan manusia.14

Alam Binatang (tiracchana yoni) termasuk semua hewan menyusui, burung-burung, 
ikan, binatang melata dan serangga. Pada Alam Binatang; perasaan setia, 
mengasihi, berkorban dan sebagainya hampir tidak ada lagi, unsur pendorong 
utama dalam kehidupan mereka adalah sekadar naluri makan, seks dan 
mempertahankan hidup. Karenanya binatang saling memangsa tanpa cinta-kasih atau 
welas-asih, tanpa mengharapkan bantuan atau simpati dari yang lainnya. Sang 
Buddha bersabda tentang Alam Binatang:

Disana tidak ada kehidupan sesuai Dhamma, tidak ada keseimbangan hidup, tidak 
dilakukan yang baik dan terlatih; hanya saling memangsa dan memakan yang lebih 
lemah.15

Alam Roh-Lapar (peta) adalah alam makhluk yang batinnya senantiasa tersiksa 
oleh kerinduan, keinginan dan perasaan frustasi karena tidak mendapatkan yang 
diinginkan, mereka senantiasa mengembara mencoba memuaskan lapar.

Alam Roh-Cemburu (asura) disebut demikian karena mereka tersiksa oleh cemburu 
dan keinginan memiliki. Kebahagiaan di alam lain terutama Alam Dewa, 
menyebabkan mereka terbakar api cemburu.

Makhluk yang semata-mata mengalami rasa sakit berada di Alam Neraka (niraya). 
Kesakitan yang mereka alami bukan jasmaniah, tapi adalah rasa takut, kwatir, 
tertekan dan penyesalan mendalam.

Walau alam kehidupan adalah tempat, namun sebenarnya lebih dari demikian; 
alam-alam tersebut terutama adalah keadaan batin. Seseorang yang anggun, 
berdaya dan bahagia dapat dikatakan berada di alam dewa seperti kebahagiaan 
dewa sebenarnya. Pula, manusia yang mengalami banyak penderitaan batin dapat 
dikatakan berada di alam neraka seperti penderitaan batin dapat dikatakan 
berada di alam neraka seperti penderitaan di alam neraka sebenarnya. Sang 
Buddha menegaskan, dengan bersabda:

Apabila seorang dungu berkata bahwa neraka ada dibawah laut, maka mereka 
sebenarnya berkata palsu tak berdasar. Istilah "neraka" adalah menunjukkan 
perasaan-perasaan yang menyakitkan.16

Pada umumnya semua agama menerima adanya alam surga dan alam neraka, namun 
adalah anggapan salah bahwa keberadaan di kedua alam itu adalah selamanya. Sang 
Buddha mengajarkan, bahwa sesudah masa hidup satu makhluk di suatu alam habis, 
makhluk itu akan lahir lagi di alam lain. Proses kelahiran dan kematian yang 
tak berujung pangkal, berpindah dari satu alam ke alam lain, itulah yang 
disebut samsara. Ajaran Sang Buddha menolong kita untuk berbahagia pada 
kehidupan sekarang ini dan agar terlahir di alam yang penuh kebahagiaan pada 
kehidupan yang akan datang. Namun, kebahagiaan yang lengkap hanya bisa dicapai 
setelah terbebas dari Samsara dan mencapai Pencerahan, dan inilah tujuan 
tertinggi dari ajaran Sang Buddha.

Andaikata ada seorang ilmuwan yang tinggal di tengah-tengah perkampungan suatu 
suku tertentu, katakanlah untuk mempelajari adat istiadat mereka; lalu, pada 
suatu hari dia melihat penduduk kampung sedang mengadakan permainan tradisonal 
mereka. Si ilmuwan, walau memperhatikan dengan seksama permainan itu, tidak 
akan mengerti apapun, karena tidak mengetahui aturan main permainan tersebut. 
Lalu, setelah dia diberitahu aturan permainan tersebut, maka semua gerakan atau 
tindakan dari para pemain yang sebelumnya tidak berarti, sekarang telah 
mempunyai arti baginya.
Kehidupan kita sebenarnya menyerupai perumpamaan diatas. Semua yang terjadi 
pada kita dan sekeliling kita tampak tidak berarti dan membingungkan, oleh 
karena tiadanya pengertian.

Untuk dapat mengerti makna kehidupan, kita masing-masing mengadakan penelitian 
lewat ajaran agama, namun selalu ada kejanggalan-kejanggalan yang tidak dapat 
dijelaskan oleh agama, atau malah bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri 
(yang mungkin lalu dianggap saja sebagai "misteri"). Namun setelah Sang Buddha 
tampil menerangkan, mengapa dan bagaimana semua ini terjadi, barulah kehidupan 
ini tampak berarti dan mempunyai makna bagi kita. Tujuan hidup tak lain adalah 
melepaskan diri dari samsara dan membebaskan batin kita untuk mencapai 
kedamaian Nibbana. Sang Buddha bersabda:

Kehidupan suci bukanlah demi keberuntungan karena mendapat kekayaan, kehormatan 
dan kemasyuran, dan kehidupan bermoral; bukan pula demi keberuntungan yang 
dikarenakan dapat memusatkan pikiran, pula bukan untuk keberuntungan yang 
dikarenakan oleh pengetahuan dan kewaskitaan. Tapi adalah sesuatu "kebebasan 
batin yang tak tergoyahkan" itulah yang menjadi tujuan dari kehidupan yang 
suci, itulah sasaran-nya, itulah titik puncak-nya.


--- In obrolan-bandar@yahoogroups.com, "jsx_consultant" <jsx-consult...@...> 
wrote:
>
> Tuhan itu SUSAH dimengerti, tapi bukan TIDAK bisa dimengerti,
> hanya kita TIDAK sanggup untuk mengerti karena Tuhan menciptakan
> kita IQnya cuman sekitar 100.
> 
> Kalo Tuhan menciptakan kita dengan IQ yg tinggi seperti Einstein,
> kita bisa sadar bahwa benda berasal dari energi.
> 
> Kalo Tuhan ciptakan IQ kita 100 kali punya Einstein, mungkin
> kita bisa lebih mengerti: SIAPAKAH KITA DIMATA TUHAN dan 
> SIAPAKAH TUHAN DIMATA KITA secara ilmiah.
> 
> Jadi sangat jauh untuk bisa mengerti soal Tuhan dengan MENGERTI,
> kita cuman punya pilihan PERCAYA karena IQ kita cuman 100...
> 
> Tapi IQ 100 pun, embah udah Happy karena kalo dikurangin 30 aja,
> kita udah jadi orang idiot...
> 
> Jadi kita cukup PERCAYA dan SEGALANYA AKAN MENJADI BARU, JELAS, TERANG dan 
> NYAMAN karena Tuhan akan SELALU ADA bersama kita
> 
> Simple simple saja dan jangan dibikin rumit karena Tuhan
> memang bikin otak kita cuman sedikit diatas orang idiot.
> 
> 


Kirim email ke