Apa pak gubernur sudah mendengar cerita ini?

Arnoldison <[EMAIL PROTECTED]> wrote:  Pak Gubernur Belum Mendengar Cerita Ini
Cerpen Sutan Iwan Soekri Munaf 

Ranah Minang terguncang. Bundakandung pun termenung. Sebuah kabar
beredar, hingga jantung masyarakat pun berdebar. Ranah Minang akan
diserang. Seluruh masyarakat bingung.

Malin Deman menghadap ke Pagaruyung. Penuhi panggilan Bundakandung.
Duduk di balairung, beberapa pejabat agung.

Bersabdalah Bundakandung: “Wahai Malin Deman, anakkandung. Sudah
dengar kabar yang tersiar? Majapahit akan menyerang Pagaruyung.
Bagaimana kita dapat membendung? Masyarakat kita tak pernah ingin
berperang. Kedamaian selalu jadi impian alang-kepalang. Solusi
anakkandung ingin Bundakandung dengar..”

Malin Deman menghatur sembah. Ingin turunkan rasa gundah.
“Hamba sudah mendengar kabar itu, Bundakandung. Hati hamba pun
bingung. Ranah Minang yang tenang, kini berguncang. Masyarakat semakin
tegang. Hari ke hari menunggu, dengan hati tak menentu.”

Datuk Ketemanggungan tampak cemas.
Datuk Perpatih nan Sebatang pun was-was.
Hadirin menahan rasa gemas.
Bundakandung mencoba melempar senyum, walau cemas di hati tetap dikulum.
“Tiadakah solusi itu, anakkandung?” tanya Bundakandung.
“Belum lagi, Bunda,” jawab Malin Deman sahaja.
Bundakandung melempar pandang ke hadapan sidang. Suasana rapat semakin
tegang. Hadirin tak kuasa menahan bimbang.

Datuk Ketemanggungan angkat bicara. Seluruh pandangan tertuju padanya.
“Daulat hamba, Bundakandung. Hamba bicara karena tak kuasa membendung,
seluruh rasa hati masyarakat yang murung…”

Bundakandung memberi waktu, agar Datuk Ketemanggungan menyampaikan
pendapat. Hadirin tampak menunggu, ingin tahu jalan keluar yang tepat.

“Kita harus siapkan anak negeri, melawan setiap agresi.”
Hadirin agaknya setuju. Mengangguk-angguk di jalan buntu.
Bundakandung tetap murung.
Hadirin makin bingung.
“Jika kita lawan agresi dengan perang, berapa banyak darah anak negeri
tergenang di Ranah Minang?”

Hadirin terdiam seketika. Membayang sungai darah di mana-mana.
Malin Deman tampil ke muka.
“Hamba kira, jika kita berperang, kalah jadi abu menang jadi arang.
Apalagi kita tahu, Majapahit sebuah negeri kuat. Hamba kira, kita tak
kuasa menahan serangan dahsyat….”

Hadirin mengangguk-angguk setuju. Semakin tersesat ke jalan buntu.
Datuk Perpatih nan Sebatang tampak semakin bimbang.
“Realitasnya bala memang sedang menghadang?” ungkap Datuk Perpatih nan
Sebatang melontarkan rasa bimbang.

Bundakandung melempar pandang ke hadirin. Tatapannya menginginkan
jalan keluar dari bala. Suasana panas pun segera mendingin. Hadirin
menginginkan menarik rambut dalam tepung, rambut ditarik, tepung tak
rusak.

“Kita sadar, tentara kita tak sejajar. Majapahit negeri kuat. Tentara
mereka tangguh di laut dan di darat. Mereka selalu menang dalam setiap
perang,” tutur Bundakandung dengan suara hati yang murung.

“Tapi kita tidak mau dijajah,” kata Datuk Ketemanggungan dengan gagah.

“Daripada berputih mata, lebih baik berputih tulang,” kata Datuk
Perpatih nan Sebatang.

“Setuju! Setuju!” Hadirin riuh berseru.
Bundakandung mengetukkan palu.
Hadirin pun diam terpaku.
Malin Deman menghatur sembah. Semua mata menatap dengan rasa gelisah.
Bundakandung memberi waktu.
“Hamba sependapat, negeri kita tak boleh dijajah. Biarkan hamba jadi
mayat, jika Ranah Minang ada yang jamah.…,” kata Malin Deman dengan
nada paling nyaman.

Raut wajah Bundakandung semakin bingung. Apakah Mailn Deman inginkan juga 
perang tanding?
Malin Deman menarik nafas. Ingin lepaskan seluruh was-was.
Hadirin ingin mendengarkan. Adakah solusi yang menggembirakan?
“Adakah jalan keluar yang menggembirakan, anakkandung?” tanya
Bundakandung dalam nada bersenandung.

“Ananda belum tahu pasti, Bunda. Tapi boleh kita coba,” jawab Malin Deman 
seketika.
“Apakah rencanamu, anakkandung?” tanya Bundakandung.
“Kita tak mampu berperang dengan tentara. Tapi kita mampu berperang dengan otak 
kita.”

*

Mendengar pendapat Malin Deman, hadirin semakin bersemangat
“Kumpulkan orang dewasa yang albino 
dari seluruh negeri.
Dapatkah dari seluruh negeri, 
kita kumpulkan orang dewasa yang albino?”
Tanya Malin Deman seketika. Hadirin matanya bertanya-tanya, orang
dewasa albino bagaimana berperang lawan tentara?

Bundakandung pun tak mengerti. Apa maksud sang putera hati.
“Sila anakkandung ungkap rencana, agar puas hati kita semua,” kata
Bundakandung yang masih bingung.

Malin Deman segera menghatur sembah, Bundakandung ingin mendengar titah.
“Maafkan Bundakandung. Bukan lancang anakkandung. Atur rencana boleh
terbentang, hanya pada orang dalam kalang. Banyak sekali agen rahasia
asing, yang mencari informasi untuk perang tanding,” kata Malin Deman
dalam nada paling nyaman.

Bundakandung paham. Hadirin setuju pun mendeham.
Rapat anak negeri pun ditutup. Detak jantung anak negeri makin
berdegup. Apakah kiranya atur rencana Malin Deman, sehingga orang
dewasa albino dikumpulkan.

Kemudian Bundakandung, Datuk Ketemanggungan, Datuk Perpatih nan
Sabatang dan Malin Deman, masuk ke dalam. Duduk berempat, atur rencana
dalam rapat, bagaimana caranya serangan Majapahit dapat teredam.

Akhirnya lahir kata bulat, hasil dari mufakat.

*

Datanglah menghadap seorang agen rahasia ke balairung. Di sana ada
Bundakandung. Juga Datuk Ketemanggungan, Datuk Perpatih nan Sabatang
dan Malin Deman. Suasana hening. Semua ingin mendengar kabar penting.

Bundakandung mempersila agen rahasia untuk bercerita.
“Duhai Bundakandung yang hamba hormati, atur rencana Majapahit
menyerang ini negeri, pada tanggal empat bulan ke sembilan, mereka
datang dengan penuh kekuatan. Saya dapat kabar, Armada ke Tujuh yang
tenar, akan masuk ke Pauh Kambar. Pariaman menjadi negeri tempat
pendaratan. Atas dukungan seluruh pasukan marinir Majapahit, dengan
sasaran Pagaruyung pun terjepit. Mereka namakan ini amukti Sumpah
Palapa. Sumpah yang bikin kita menderita,” kata agen rahasia
terbata-bata.

Bundakandung mendengar kabar dengan tenang. Padahal hadirin duduk
berwajah tegang.

“Bila harga diri kita diinjak, kita akan berdiri dan tegak. Kita tidak
akan mau berperang, tapi lawan yang datang ditolak pantang,” kata
Bundakandung dalam nada bersenandung.

Kendati Bundakandung terlihat tenang, hati hadirin yang mendengar
tetap terguncang. Tentara Majapahit yang tenar, sudah tersiar ke
mana-mana itu kabar. Amukti Sumpah Palapa Gajahmada, artinya
peperangan terjadi di mana-mana, sudah bikin banyak negeri menderita.

*
Pada tanggal tiga bulan ke sembilan, berkumpul dua puluh dua orang
albino dewasa, baik laki maupun perempuan. Wajahnya siap membela
negara, mati pun hadangan jadi pahlawan. Dan mereka berkumpul di
Pariaman.

Mereka dicukur gundul. Tak ada rambut yang tersisa. Segala macam
rambut dicukur gundul. Baik di kepala, di alis mata, kumis dan
janggut, di ketiak, dan di mana saja yang ada rambut. Semua dicukur
gundul.

Kemudian Malin Deman memperhatikan semua calon pahlawan. Pukul
sembilan malam semua sudah seragam. Tak ada lagi rambut yang tumbuh.
Betul-betul gundul yang utuh.

“Kalian adalah calon pahlawan, pembela ini negeri dari negeri lawan,”
kata Malin Deman. Kedua puluh dua orang albino mendengarkan. Gelora di
dada tumbuh menjadi pahlawan.

“Malam ini, akan dicabut seluruh gigi. Ini sakit. Tapi lebih baik
daripada dijajah Majapahit,” kata Malin Deman menjelaskan.

Dua puluh dua orang albino dewasa nyaris ciut. Seluruh gigi mereka akan dicabut.
Malin Deman paham melihat reaksi. Setelah dicabut tak pernah tumbuh lagi.
“Semua bergantung pada tuan-tuan dan puan-puan. Pagaruyung
mengharapkan pengorbanan tuan-tuan dan puan-puan, agar kita menang
berperang, atas ancaman yang datang. Pagaruyung takan akan melupakan,
segala pengorbanan tuan-tuan dan puan-puan,” kata Malin Deman
menenangkan.

Kemudian mereka sepakat. Mencabut seluruh gigi yang melekat.

Sesekali terdengar suara mengaduh. Namun ditimpali dengan suara gaduh.
“Pagaruyung menang! Pagaruyung menang!”

Menjelang tengah malam larut. Seluruh gigi telah dicabut. Hadirin
diminta berkumpul. Malin Deman ingin memberi kata simpul.

“Tugas kita sekarang, membakar semua rumah di tepi pantai. Jangan lupa
memanggang beberapa ekor kerbau yang telah dibantai. Panggang di atas
rumah yang terbakar. Ini juga pengorbanan yang harus kita bayar,” kata
Malin Deman penuh pengertian.

Seluruh rumah di tepi pantai terbakar sebelum dinihari. Malam itu
langit dipenuhi bunga api. .

*

Mentari baru saja mencogok di ufuk timur. Tampak ribuan orang bergolok
siap bertempur. Mereka adalah pasukan Armada ke Tujuh, langsung
dipimpin Mahapatih Gajahmada berlabuh.

Pantai dipenuhi marinir Majapahit. Namun Pariaman terlihat sepi.
Terkaget-kaget pasukan Majapahit, seakan masuk ke suatu negeri, tanpa
manusia. Lengang tak ada siapa-siapa. Di beberapa tempat, hanya ada
onggokan abu. Dan tengkorak beberapa kepala kerbau mengabu.
Namun tiba-tiba terdengar suara tangisan. Seperti suara bayi kelaparan.
Kolonel Marjono bersama anak buah mencari arah suara. Tak ada
siapa-siapa, tapi ada suara tangisan bayi menghiba.

Kemudian Kolonel Marjono melihat ke atasnya. Terdapat gantungan kain
antara pohon kelapa dengan pohon kelapa. Bukan hanya satu. Setelah
dihitung, ada dua puluh dua tergantung. Pikir Sang Kolonel, apakah
itu?

Diperintahkannya seorang sersan memanjat pohon kelapa. Ingin tahu ada
apa gerangan di sana.

Sang Sersan memanjat pohon kelapa. Begitu tiba, dia kaget. Untung tidak mencret.
Tampak seorang bertubuh putih. Meronta merintih. Tangisan pun lirih.
Seperti ingin menyusu. Lapar perut ingin mengadu kepada ibu. Tubuh
bayi itu telanjang. Tangan-tangan dan kaki-kakinya bergelinjang. Lapar
sekali tentu. Mengapa belum datang sang ibu….

“Inikah suara bayi itu? Besar sekali bayi itu…” gumam Sang Sersan
bergetar, denyut jantungnya segera berdenyar.

Dia pun segera turun. Ingin melapor hasil penglihatan.
“Lapor, Kolonel. Bayi yang menangis itu, di atas sana. Tubuh bayi itu
sebesar kita. Bagaimana pula besar tubuh orangtuanya?” papar Sang
Sersan gemetar.

‘Hah?” Sang Kolonel pun ikut bergetar.
“Betul, Kolonel. Apakah ingin lihat, Kolonel?” tanya Sang Sersan
sambil tangan mempersilakan.

Kolonel Marjono pun melapor tergopoh-gopoh. Semua pasukan heboh.
Mahapatih Gajahmada bengong melihat Kolonel Marjono. Perwira
andalannya tampak kuyu dan loyo.

“Sebaiknya kita naik kapal lagi, Paduka…” kata Kolonel Marjono terbata.
“Naik ke kapal lagi?” bentak Mahapatih Gajahmada murka sekali.
“Ya, Paduka. Di sana ada dua puluh dua bayi raksasa. Bayinya saja
sebesar kita, bagaimana tubuh orangtuanya. Ini negeri raksasa, Paduka.
Dan itu, bekas tungku-tungku yang mengabu. Mereka memasak di sana.
Melihat besar tungkunya saja, hamba yakin ini negeri raksasa, Paduka.
Untung orangtua bayi itu tak di sana. Jika di sana, entah bagaimana
celaka kita,,” ungkap Kolonel Marjono bernada ciut dengan pikiran yang
kalut.

Mahapatih Gajahmada mendengarkan seksama. Kolonel Marjono adalah
perwira andalannya. Tak mungkin sampai salah menilai sebuah masalah.
“Baiklah. Pasukan kembali ke kapal, ini perintah!” tegas sekali suara
Mahapatih Gajahmada.

Seketika seluruh pasukan kembali. Dan kemudian kapal berlayar menuju
Majapahit lagi. Esok lusa, entah negeri mana lagi, akan jadi korban
amukti Sumpah Palapa.

Pagaruyung pun kembali tenang. Suasana rakyat pun senang.
Sejak saat itu, seluruh orang albino di ranah Minang dihormati. Bila
bertemu, segera mencium tangannya, puaslah hati.

*

“Begitulah orang Minang menghormati pahlawan,” kata Ajo Buyung Blando
yang albino itu berkisah di lepau Kampung Sudut, Pariaman.

Berkisah yang dikenal sebagai bakaba (berkabar), bercerita sambil
berdendang. Suara Ajo Buyung Blando merdu ikut melenakan pendengarnya
di lepau.

“Masak begitu?” tanya Herman Pengkar tak percaya.
“Kalian ini tak tahu sejarah. Tak mau menghormati pahlawan kalian.
Kalian di sini hanya mengolok-olok pada orang albino seperti saya.
Kalau saja kalian tahu sejarah seperti Pak Guru Usman, kalian akan
lakukan hal yang sama. Akan mencium tangan saya. Mengucapkan
terimakasih atas kepahlawanan orang albino seperti saya,” kata Ajo
Buyung Blando,

“Apa Pak Gubernur akan mencium tangan Ajo Buyung?” tanya Herman Pengkar lagi.
“Sayang, Pak Gubernur belum mendengar cerita ini. Kalau sudah, dia
musti cium tangan orang albino seperti saya,” katanya mengkahiri
kisahnya sambil beranjak dari duduknya, dan meninggalkan para
pendengarnya..

Pendengarnya masih duduk terpana.


Ragunan – Jakarta Agustus 2001 – Pebruari 2002


--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================




Image by FlamingText.com
                
---------------------------------
How low will we go? Check out Yahoo! Messenger’s low  PC-to-Phone call rates.
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Kirim email ke