Assalamu'alaikum wr wb.,

Selamat menikmati bacaan baik berikut ini.



Wassalam,

R Sampono Sutan (56)





Azab
Widi Yarmanto

SETELAH bingung memikirkan republik ini --sebagian orang beranggapan, antara 
lain, diazab Allah dengan bencana nasional bertubi-tubi-- seorang rekan 
mengirim SMS: ''Kita perlu pertobatan nasional yang sungguh-sungguh.'' Tobat 
ini dipimpin kepala negara dan didukung seluruh umat beragama.
 
Alasannya? ''Dosa aparat sudah sak abrek-abrek, banyak sekali. Yang dipikirkan 
mereka duit melulu. Ulah mereka tak pernah lepas dari kezaliman dan 
kemunafikan,'' katanya, setelah SMS tersebut saya balas. Ia betul-betul geram.

Keserakahan-egoisme-fanatisme-kesombongan-haus kekuasaan tumplek-blek. Sikap 
apatis ada di mana-mana. Jika daftar ''dosa'' tersebut dijajar, ia yakin lebih 
spektakuler. Saya percaya. Sebab, biasanya, kaum yang sedang kecewa dan muak 
itu pandai berkeluh kesah.

Terus terang, dia tak lagi bangga pada nama Indonesia. Bayangkan, birokrat 
berkoar mengatasnamakan rakyat --demi mengentas kemiskinan-- tapi tiap proyek 
di depan matanya disunat 7,5%. Aturan main ditabrak. Dan, jika bermasalah, 
pemimpin yang makan nangka tapi anak buah kena getahnya.

''Jadi, apa lagi yang bisa kami harapkan,'' kata rekan saya itu. Unek-unek ini 
bukan bentuk kesinisannya. Ia mengaku nasionalis tulen, cinta republik, tapi 
mengkhawatirkan masa depan bangsa. Ia berharap, Indonesia yang digelorakan Bung 
Karno di Konferensi Asia Afrika 50 tahun lalu, dengan solidaritas satu frame, 
menulari anak bangsa ini.

Bukan seperti sekarang, masing-masing menggendutkan perut sendiri. Setidaknya, 
itulah yang terekam dalam tuduhan aparat terhadap anggota Komisi Pemilihan Umum 
(KPU), Mulyana W. Kusumah, pekan ini. Ia dituding dua kali menyogok pegawai 
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tengah mengaudit investigasi anggaran KPU 
Pemilu 2004 sebesar Rp 3,9 trilyun.

Mulyana pun ditahan. Dan, tak tertutup kemungkinan anggota KPU lain juga 
tersangkut. Tapi, lantaran muncul dugaan bahwa kasus ini ditengarai sebagai 
jebakan dan merupakan konspirasi BPK dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, maka 
penangkapan Mulyana --yang saat itu membawa tunai Rp 50 juta dan cek Rp 100 
juta-- bisa merupakan tumbal.

Segala kemungkinan itu bisa terjadi. Tapi, paling tidak, keberanian aparat 
dalam kondisi lesu darah saat ini perlu dicermati. Kelesuan memang bukan 
pemandangan luar biasa di beberapa kantor pemerintah. Para pegawai tiada 
kerjaan, ngerumpi, atau malah ngobyek, semua orang mafhum.

Di kantor pelayanan publik, misalnya, jam kantor belum tutup, tapi sudah amblas 
duluan. Salah siapa? Banyak sebab. Bisa karena tanpa kerja, struktur tak jelas, 
tak ada audit SDM, atau disebabkan oleh gaji yang hanya cukup untuk dua minggu. 
Seorang pejabat atas berterus terang, ''Pemerintah memang tak punya duit.''

Maka, tak mengherankan jika pembangunan mandek. Ribuan kilometer jalan di 
Sumatera rusak berat --juga di wilayah lain-- dibiarkan hancur berbulan-bulan 
karena ketiadaan dana. Roda ekonomi terpukul. Menjengkelkan! Itu sebabnya, 
warga Pontang, Serang, memblokir dengan batu, bahan bangunan, dan menebangi 
pohon untuk penghalang jalan. Kesabaran mereka telah habis!

Sementara itu, di beberapa kantor pemerintah ada yang tak tersentuh paceklik. 
Walau gaji minim, misalnya, mereka berumah gedung, mobil banyak, dan hidup 
mewah. Kekontrasan itu menimbulkan kecemburuan dan dugaan penyimpangan. Usul 
dilontarkan: ''Lakukan pembuktian terbalik atas kekayaan mereka!''

Harta itu pasti bukan turun dari langit, atau hasil sulap simsalabim. 
Celakanya, ''pembuktian terbalik'' tak bergaung. Tidak direspons positif. Tidak 
ada gereget untuk membuktikan: ''Kami clean!'' Kritik itu justru menyinggung 
harga diri, dan berbuntut somasi.

Niat mengingatkan dan mempermalukan --terlebih mencemarkan nama baik-- memang 
beda tipis. Disindir halus tidak mempan, diingatkan marah, dan diungkapkan 
terus terang bisa memukul balik ke meja hijau. Repot! Itu sebabnya, teman saya 
usul bikin tobat nasional --biar tiada yang mencak-mencak. ''Jangan sampai 
republik ini jadi 'negeri Sodom dan Gomora','' katanya.

Sodom dan Gomora, menurut Injil, adalah negeri yang dilaknat Allah karena penuh 
dosa. Kemaksiatan warganya sudah sangat menjijikkan. Homoseksual merajalela. 
Juga dalam Al-Quran disebutkan, saat itu Nabi Luth AS tak mampu menghadapi ulah 
kaumnya.

Sampai, suatu hari, Nabi Luth ketamuan dua pemuda rupawan, dan hendak bermalam. 
Aduh, Gusti Allah! Ia langsung susah, dadanya sesak. ''Ini adalah hari yang 
amat sulit,'' kata Nabi Luth di Quran surat Huud ayat 77. Kaumnya itu pasti 
ingin memerkosa tamunya.

Benar saja. Untuk itu, Nabi Luth menawarkan kedua putrinya agar dinikahi. Tapi 
mereka menolak karena tak berhasrat terhadap wanita, ''... janganlah kamu 
mencoba untuk memalingkan perhatian kami dari pemuda-pemuda itu dengan 
menyodorkan anak-anak perempuanmu.''

Setelah Nabi Luth tak bisa mencegah, barulah kedua tamunya mengaku sebagai 
malaikat utusan Allah yang bertugas membinasakan mereka. Ketetapan Allah tak 
bisa ditawar. Para homoseksual itu dibutakan matanya, hingga tak menemukan 
jalan ke rumah masing-masing.

Di akhir malam, sepeninggal Nabi Luth dan kaumnya dari lembah itu, Allah 
menjungkirbalikkan kota tersebut. Sodom dihujani batu berapi bertubi-tubi. 
Istri Nabi Luth, perempuan yang tidak beriman dan bahkan telah berkhianat pada 
suaminya, ikut terkubur di lembah tersebut.

Azab sudah dicontohkan. Saya pun tak menutup mata bahwa yang ngawur makmur, 
yang curang garang, yang jujur kojur, orang jahat naik pangkat --seperti 
ramalan Jayabaya-- ada di depan mata. Namun saya pun percaya bahwa tiap insan 
masih memiliki sisi positif yang bisa ditularkan. Kenapa tidak?

[Esai, Gatra Edisi Khusus Beredar Senin, 18 April 2005]

____________________________________________________

Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Reply via email to