Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu,

Dari pada lepau lengang saja kata Mak Sati, bialah dimuek carito ko, dan
mudah2an lai tahibur dunsanak2 awak yg jauaaaaaah dirantau, buk Ben
"guess what" ambo suko mandanga istilah ko, aratinyo mungkin "cubo
takok", aaa kiro2, takok aaa, batua baitu buk???, he he ambo sadang
mancari how to quit from stuck, alias ngadad.

Wassalam, syb.




Edisi Selasa, 02 Aug 2005    
 
Berita / Edisi Minggu / Budaya 
 

Datuak Malenggang di Langik
Cerita Pendek Afnaldi Syaiful 
Oleh admin padek 1 
Minggu, 31-Juli-2005, 20:44:32 14 klik   
 
 


"ASSALAMUALAIKUM...."
"Waalaikumsalam.... O, Buyuang Denai. Masuklah, Yuang. Duduk...
duduklah, Yuang!"
"Baiklah, Mak Kayo. Terima kasih."
"Minum apa malam ini, Buyuang? Kopi, teh, kopi susu, atau teh-telur"
"Teh-telur sajalah, Mak Kayo."
"Ambo buatkan. Bagaimana kabar kuliahnya, Yuang? Libur?"
"Indak, Mak."
"Kalau tidak libur, kok bisa pulang kampung?" 
 
 

"Ambo tinggal menyusun skripsi. Jadi tidak perlu tiap hari datang ke
Limau Manih. Mumpung di kampung kita akan ada acara baralek gadang, ambo
sempatkan untuk pulang. Seumur hidup ambo, baru kali ini baralek gadang
batagak penghulu dilaksanakan di kampung kita." 

"Memang betul, sudah lama tidak ada acara ini..." 

"Assalamualaikum...." 

"Waalaikumsalam...." 

"Waalaikumsalam.... O, Mak Basa. Masuklah, Mak. Duduk... duduklah, Mak!"


"Baiklah, Kayo. Terima kasih." 

"Minum apa Mak Basa? Kopi, teh, kopi susu, atau teh-telur" 

"Kopsteng2 , Kayo." 

"Jadi, Mak." 

"Bagaimana kabarnya, Pak Basa?" 

"Baik, Yuang..., Yuaaang...?" 

"Denai nama ambo Pak." 

"Denai, ya Denai. Lupa ambo. Anaaak...?" 

"Ayah ambo Sutan Malenggang di Langik." 

"Iya, iya... Baru ingat ambo. Anak Sutan Malenggang di Langik, berarti
jalan anak juga bagi ambo." 

"Iya, Pak." 

"Ini kopinya, Mak Basa." 

"Terima kasih, Kayo. Minum Yuang." 

"Iya, Pak." 

"Fuuuh... fuuuh... Srupuuutt... ah.... Panas." 

"Ini teh-telurnya, Yuang." 

"Terima kasih, Mak Kayo. Sama-sama minum awak Pak." 

"Ya, Yuang." 

*** 

"OH, ya, Mak Basa. Sebentar lagi akan ada baralek gadang di kampung
kita. Bagaimana menurut pendapat Mak Basa?" 

"O, iya. Beberapa hari yang lalu ambo di-kisa3 -kan ke rumah Si Pangka.
Merundingkan mengenai acara malewakan-gala Datuak Malenggang di Langik.
O, iya, bukankah urang-rumah-bako Buyuang Denai ini yang menjadi Si
Pangka? Bukankah begitu Denai?" 

"Iya, Pak Basa." 

"Mak Basa kenal dengan calon Datuak Malenggang di Langik yang akan
diangkat?" 

"Sekedar tahu orangnya. Kalau tidak salah, saudara sepupu ayahnya
Buyuang Denai ini. Namanya Fikkie. Ambo lupa gelarnya. Setahu ambo Sutan
Malenggang di Langik, ayah Denai, dan Fikkie ber-dunsanak ibu." 

"Ambo hanya mengenal namanya saja, Mak Basa. Belum pernah bertemu
langsung. Paling-paling ambo hanya melihat beliau di teve." 

"Sama, Mak Kayo. Ambo juga belum pernah bertemu langsung. Pak Basa
pernah bertemu beliau?" 

"Pernah, sekali. Selebihnya, ya, sama, ambo hanya melihat di televisi.
Rokoknya sebatang Kayo." 

"Ya, Mak." 

"Ambo juga sebatang, Mak Kayo." 

"......." 

"Hsssttt... hufff." 

"Hsssttt... hufff." 

"Berapa kira-kira umur Pak Fikkie itu, Mak Basa?" 

"Kalau tidak salah, beliau sekitar satu atau dua tahun di atas ambo.
Berarti sekitar 54 atau 55 tahun." 

"Berarti sama dengan umur ayah ambo ya Pak?" 

"Ya, mereka seumur." 

"Tetapi ayah tidak begitu akrab dengan beliau, Pak?" 

"Fikkie lahir di perantauan. Ayahnya orang seberang. Sedangkan ibu
Fikkie adik dari nenek angku, Yuang. Seingat ambo, baru sekali dia
pulang ke kampung. Sekitar dua puluh lima tahun lalu. Saat itu ambo
bertemu dengannya." 

"Dua puluh lima tahun yang lalu? Belum lahir angku Yuang." 

"Benar Mak Kayo. Umur ambo baru dua puluh satu tahun." 

"Memang sudah lama. Sejak itu ambo tidak pernah bertemu lagi. Tahu-tahu
dia sudah menjadi orang besar. Wajahnya tiba-tiba sering muncul di
televisi. Menjadi politikus dia sekarang." 

*** 

"SRUPUUUTT... Huuufff...." 

"Srupuuutt... Huuufff...." 

"Sebenarnya ambo kurang setuju dengan pengangkatan Pak Fikkie menjadi
Datuak, Pak Basa, Mak Kayo." 

"Mengapa kurang setuju, Yuang? Apa sebabnya?" 

"Kurang setuju? Ambo justru sangat setuju. Sudah saatnya batang terendam
itu dibangkit, baju yang terlipat dikembangkan lagi. Bukan begitu Mak
Basa?" 

"Iya." 

"Bukan membangkit batang terendam yang menjadi masalahnya Mak Kayo." 

"Lantas?" 

"Ambo kurang setuju dengan figur yang akan menyandang gelar Datuak
Malenggang di Langik." 

"Kurang setuju dengan figur Fikkie?" 

"Ehmm..." 

"Srupuuut.... Ya, menurut ambo Pak Fikkie bukan sosok yang tepat." 

"Menurut ambo sangat tepat, Yuang. Bukankah begitu Kayo?" 

"Betul, Mak Basa. Pak Fikkie itu orang besar." 

"Ya, menurut ambo juga begitu. Beliau merupakan orang yang cocok. Orang
yang pas. Beliau memenuhi segala rukun-syarat untuk menjadi datuak.
Ibunya jelas-jelas orang awak, walaupun bapaknya orang seberang. Kita
ini menarik garis keturunan dari ibu. Ini jelas memenuhi syarat. Kita
harus bangga, ada orang kampung kita yang menjadi sosok yang dikenal
orang se-Indonesia. Sekarang beliau diangkat menjadi datuak." 

"Justru beliau belum memenuhi rukun-syarat itu, Pak Basa." 

"Hsssttt... hufff. Apa yang belum dipenuhinya? Dia telah mengisi cupak,
menuang limbago. Seekor kerbau siap direbahkan, disembelih untuk menjamu
orang sekampung. Tujuh hari tujuh malam lamanya. Semua persyaratan sudah
dipenuhi." 

"Untuk menyandang gelar datuak di Minangkabau ini tidak cukup hanya itu,
Pak." 

"Ah, kalian yang muda-muda ini tahu apa tentang adat? Pandainya cuma
mendebat saja. Bukankah begitu tabiat anak-anak muda sekarang, Kayo?" 

"........." 

"Lihat! Kayo menganggukan kepalanya tanda setuju. Memang begitu adat
anak muda sekarang. Pandainya cuma mengkritik." 

"Bukan begitu Pak Basa. Dengar dulu penjelasan ambo!" 

"Baiklah, ambo dengar penjelasan angku, Buyuang Denai." 

"Di Minangkabau ini, datuak bukanlah gelar kehormatan...." 

"Bukan gelar kehormatan bagaimana maksudnya? Sangat terhormat seseorang
ketika ia diangkat menjadi datuak." 

"Terhormat, memang betul. Akan tetapi tujuan utama pengangkatan datuak
bukanlah sebuah kehormatan. Lebih menitikberatkan pada tugas. Sangat
berat tugas yang diemban seorang datuak." 

"Terus...." 

"Tanggung jawab seorang datuak terutama pada kaum kerabatnya. Untuk
menjalankan tugasnya itu, selayaknya ia mengetahui kondisi kaum
kerabatnya. Apa yang diketahui oleh Pak Fikkie tentang kaumnya selama
ini? Beliau dibesarkan dalam tradisi lain. Lebih setengah abad umurnya,
baru sekali menginjakkan kaki di kampung halamannya ini. Beliau tidak
mengenal kaum keluarganya secara dekat. Bahkan selama ini beliau selalu
mengaku dirinya sebagai orang seberang. Beliau lebih mengakui garis
keturunan bapaknya. Berbeda dengan kita yang mengakui garis keturunan
ibu." 

"Terus...." 

"Tiba-tiba saja ada rencana baralek gadang untuk mengangkatnya menjadi
datuak. Ambo jadi curiga pasti ada sesuatu di balik ini. Jangan-jangan
ini hanya sekedar untuk gengsi-gengsian. Hanya untuk memperlihatkan
bahwa kita beradat." 

"......." 

"Lebih pada hanya sebatas baralek. Setelah itu apa? Beliau balik ke
rantau, meninggalkan kaumnya. Benar-benar melenggang di langit dia,
sedangkan kaum kerabat yang berada di bumi terlupakan. Benar-benar klop
dengan gelarnya, Datuak Malenggang di Langik. Dan ambo yakin, Pak Fikkie
lebih tertarik mengurus politik, ketimbang mengurus kaumnya. Atau
mungkin pengangkatannya ini mengandung muatan politik tertentu?" 

"Soal politik ambo tidak mengerti. Jangan bawa-bawa soal politik.
Bukankah begitu Kayo?" 

"Iya, Mak." 

"Baiklah, kita berbaik sangka. Mudah-mudahan tidak ada muatan politik
tertentu." 

"Apalagi yang kau khawatirkan Yuang?" 

"Seperti yang ambo katakan tadi, datuak di Minangkabau lebih merupakan
tugas daripada gelar kehormatan. Ia hanya ditinggikan satu ranting,
didahulukan satu langkah dalam memimpin kaumnya, sehingga kaumnya lebih
mudah untuk mengontrol jika ia salah langkah. Datuak merupakan suluh
bendrang dalam nagari, terutama bagi kaumnya. Bagaimana mungkin calon
Datuak Malenggang di Langik akan menjadi suluh bendrang kalau
menerangkan diri sendiri belum mampu?" 

"Angku seperti menuduh dia tidak mampu menjadi suluh bagi dirinya
sendiri?" 

"Kenyataannya begitu. Apa yang telah diperbuat buat anak-kemenakannya?
Apa yang telah diperbuat untuk buah paruiknya? Tidak ada, atau secara
nyata belum terlihat. Belum berbuat apa-apa untuk kaumnya, apakah itu
yang disebut telah mampu menjadi suluh bendrang dalam nagari?" 

"............" 

"Seperti yang ambo katakan tadi, selama ini dia lebih mengakui garis
keturunan bapaknya. Ini hanya euforia saja...." 

"Terserahlah, Yuang. Tidak mengerti ambo yang angku maksudkan. Kita
cukupkan dulu, kalau kita perdebatkan lebih lanjut, tidak akan ada titik
temu. Tidak bertemu ujung pangkalnya, bak mengukur kain sarung. Ambo
harus jalan dulu." 

"Kemana Mak Basa?" 

"Ke baruh sebentar. Memasukan air ke sawah ambo malam ini, biar besok
sudah menggenang dan siap untuk dibajak. Berapa semua Kayo?" 

"Apo sajo Mak Basa?" 

"Kopsteng samo goreng pisangnya satu. Rokoknya sebatang. Angku apa saja
Yuang?" 

"Tidak usah Pak Basa." 

"Semuanya saja Kayo. Sama yang pesan Buyuang Denai." 

"Kopsteng, goreng pisang satu, teh-telur, sama rokok dua batang. Jadi
empat ribu lima ratus Mak." 

"Ini uangnya. Terima kasih Kayo. Dulu ambo Yuang. Kapan-kapan kita
sambung lagi." 

"Iya Pak. Terima kasih banyak Pak Basa." 

*** 

Biaro, Juli 2004 

Wacana pembukaan untuk menggali kembali khasanah budaya Minangkabau. 

1.nama yang tercantum pada judul ini hanya imajinatif dan penulis
terinspirasi oleh nama tokoh Sutan Malenggang di Langik dalam film
Samson Betawi. 

2.kopsteng : akronim dari kopi setengah 

3.kisa (Minangkabau) : arti harfiahnya dipindahkan. Dalam konteks ini
maksudnya diundang. 

Afnaldi Syaiful, sering menggunakan nama pena Sangdenai, lahir
Kanagarian Biaro, sebuah nagari di kaki Gunung Marapi Kab. Agam,
Sumatera Barat, pada tanggal 22 Oktober 1976. Menempuh pendidikan dasar
di Biaro, pendidikan menengah di Ampek Angkek Candung, dan pendidikan
tinggi di kota Bandung. Karya-karyanya pernah dipublikasi di beberapa
media massa lokal dan nasional. Beberapa karyanya pernah dibukukan dalam
beberapa antologi bersama, di antaranya : Antologi Cerpen "Kota yang
Bernama dan Tak Bernama" (Dewan Kesenian Jakarta, 2003), Antologi Puisi
"Dian Sastro for President #2 reloaded" (Akademi Kebudayaan Yogyakarta,
2003), dan Kumcer "Perempuan Bermata Lembut" (FBA Press, 2005). Dapat
dihubungi melalui email [EMAIL PROTECTED] 
 


Website http://www.rantaunet.org
_____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke