Title: Ide yang berbahaya ....

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarokatuhu,

Ma nyo rank lapau .... Lai cegak-cegak sen. Ambo kirimkan nan ambo dapek dari biliak sabalah ...

Wassalamu'alaikum Warahamutullahi Wabarokatuhu

Abu Fali :)
*Tabassumuka liiakhika Shodaqotun
 ==============================================================================================
http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1849&Itemid=1


"Ide Berbahaya Ketua ICMI"

Sayyidina Umar menyatakan ada tiga hal yang membuat robohnya zaman. Salah
satunya adalah tergelincirnya orang alim. Baca Catatan Akhir Pekan Adian
ke-98

Pada tanggal 3 Mei 2005, Salahuddin Wahid, ketua Majelis Pengurus Pusat
ICMI, menulis sebuah artikel di Harian Republika berjudul "*Pernikahan:
Hukum Agama Vs Hukum Negara*". Artikel itu menanggapi tulisan saya tanggal
14 April 2005 di harian yang sama yang berjudul "*Pernikahan Lintas Agama."

*

Dalam tulisan tersebut, saya memang menanggapi tulisan Salahuddin Wahid
berjudul *"Perkawinan, Agama dan Negara*" muncul di Republika (1/4). Ketika

tulisan itu muncul, saya bersama-sama dengan teman-teman INSISTS sedang
melakukan workshop di beberapa kota di Jawa. Karena yang menulis Salahuddin

Wahid, yang saya kenal lama, maka saya merasa tidak perlu membacanya sampai

detail. Selama ini, Salahuddin yang sering disapa Gus Solah, rajin
mengkritik ide-ide sekularisme, termasuk ide-ide sekuler kakaknya sendiri,
Abdurrahman Wahid. Dulu, saya sering bertemu dan berdiskusi dengan beliau,
dan secara paralel melakukan kritik-kritik terhadap gagasan sekularisme.

Saya baru merasa ada yang aneh, ketika dalam perjalanan ke Yogyakarta, saya

singgah di kantor www.hidayatullah.com di Surabaya, dan membuka-buka email.

Ternyata, ada seseorang yang men-forward tulisan Gus Solah itu ke email
saya. Setelah saya cermati, saya cukup terkejut. Karena waktunya sempit,
saya hanya menfokuskan pada satu hal, yaitu masalah pernikahan lintas
agama,
khususnya antara muslimah dengan laki-laki kafir (non-Muslim).

Pada artikel 1 April 2005, Gus Solah menulis: "Isu itu (pernikahan antar
agama. Pen.) telah lama menjadi bahan perdebatan dalam sejarah Islam. Pada
prinsipnya pandangan para ulama terbagi menjadi tiga bagian. Pertama,
melarang secara mutlak pernikahan antara Muslim dan non-Muslim baik yang
tergolong musyrik maupun *ahlul kitab*. Larangan itu juga berlaku bagi
perempuan maupun lelaki. Kedua, membolehkan secara bersyarat. Sejumlah
ulama
membolehkan pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan non-Muslim dari
kelompok *ahlul kitab*. Tetapi perempuan Muslim tidak boleh menikah dengan
lelaki non-Muslim walaupun tergolong *ahlul kitab*. Pendapat ketiga,
membolehkan pernikahan antara Muslim dan non-Muslim yang berlaku untuk
perempuan dan lelaki Muslim.

Sejauh pengamatan saya, di Indonesia mayoritas termasuk kedalam kelompok
kedua."
Gus Solah tidak menyebutkan sumber tulisannya, dan saya menduga kuat, ia
tidak melakukan riset sendiri tentang masalah ini. Belakangan, saya
menemukan, ternyata Ketua ICMI ini menjiplak kategorisasi yang dibuat
Musdah
Mulia dalam bukunya "Muslimah Reformis" (2005, hal. 57).
Yang saya persoalkan dalam artikel 14 April lalu adalah kategorisasi
ketiga,
yaitu bahwa di kalangan ulama ada yang membolehkan perkawinan antara wanita

muslimah dengan laki-laki non-Muslim. Gus Solah tidak menunjukkan, siapa
ulama yang membolehkan hal itu. Ia juga tidak menilai, sejauh mana
validitas
dan kekuatan argumentasinya. Sebagai cucu pendiri NU KH Hasyim Asy'ari dan
sempat menjadi ketua NU, harusnya Gus Solah merujuk kepada para ulama ahlu
sunnah wal jamaah. Jika dia cermat, maka dia akan tahu, bahwa memang tidak
pernah ada perbedaan di antara ulama dalam masalah ini. Yang sejak lama
menjadi ajang perdebatan adalah boleh atau tidaknya laki-laki muslim
menikahi wanita *ahlul kitab *(Yahudi dan Kristen).

Gus Solah sendiri mengaku berpendapat bahwa muslimah haram menikah dengan
laki-laki non-Muslim. Dia menulis: "Secara pribadi saya mengikuti pendapat
bahwa menurut syariat Islam, Muslimah tidak boleh menikah dengan pria
non-Muslim. Tetapi saya tidak setuju jika hukum negara secara eksplisit
mengizinkan pernikahan semacam itu atau secara eksplisit melarangnya. Itu
adalah wilayah hukum Islam yang mengandung perbedaan pendapat di antara
umat
Islam dan negara tidak perlu terlibat di dalamnya."

Itulah anehnya pendapat tokoh cendekiawan Muslim ini. Gus Solah tetap
ngotot
bahwa dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam,
tanpa menunjukkan, siapa ulama yang membolehkan pernikahan semacam itu.
Kalau soal beda pendapat, dalam semua masalah juga ada perbedaan pendapat
di
kalangan umat Islam. Hingga kini, banyak umat Islam yang mendukung
pelacuran, perjudian, korupsi, dan sebagainya. Seorang cendekiawan Muslim,
apalagi yang memimpin para cendekiawan Muslim, seyogyanya tidak boleh
berpendapat seperti itu. Hanya karena melihat ada perbedaan pendapat, lalu
perbedaan itu diterima sebagai fakta, tanpa menguji keabsahan perbedaan
pendapat itu.

Islam sangat menghargai perbedaan. Tetapi, perlu dijelaskan, perbedaan itu
terjadi dalam hal apa? Apakah perbedaan itu di lapangan *al-shawab wal
khatha' *atau di lapangan *al-haq wal bathil*? Apakah perbedaan dalam
masalah dzanni atau dalam soal *qath'iy*.

Cendekiawan Muslim harusnya mengklirifikasi masalah ini, sebelum
melontarkan
pendapatnya ke masyarakat. Perbedaan ijtihad di kalangan mujtahidin dalam
soal-soal furuiyyah adalah rahmat. Tetapi, pendapat Aminah Wadud yang
membolehkan wanita menjadi imam dan khathib salat Jumat di Gereja ? dengan
jamaah yang bercampur aduk antara laki-laki dan wanita dan sebagian wanita
salat dengan tidak memakai jilbab ? tidak termasuk hal yang rahmat.
Meskipun
Wadud adalah seorang profesor, tetapi pendapatnya ini keluar dari
metodologi
fiqih Islam.

Cendekiawan Muslim, baik ICMI atau bukan, tentu bisa menilai bahwa pendapat

Kiai Roy yang membolehkan salat dalam bahasa Indonesia bukanlah rahmat.
Pendapat Kemal Ataturk yang mengubah azan dalam bahasa Turki pun tidak
patut
diterima. Ketika ribut-ribut goyang ngebor Inul, ada juga kyai yang
mendukung pertunjukan tarian erotis arsi dangdut asal Pasuruan dan meminta
agar pertunjukan itu jalan terus. Apakah gara-gara pendapat sang kyai itu
juga menjadi rahmat, sehingga negara tidak boleh campur tangan? Ketika
ribut-ribut masalah undian olah raga Porkas dan SDSB, ada juga ulama yang
berpendapat bahwa Porkas danb SDSB bukanlah judi. Apakah hanya karena ada
pendapat 'minoritas' ulama yang mendukung Porkas dan SDSB, lalu negara
tidak
boleh melarang SDSB?

Apakah karena ada Prof Wadud yang membolehkan wanita salat tanpa menutup
aurat lalu hal itu menjadi halal? Imam Al-Syathibi dalam Kitab terkenalnya,

*al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah *(ed. Muhd. Abd al-Qadir al-Fadili,
4:84), mencatat, bahwa "perbedaan dalam satu masalah, tidak menjadi hujah
untuk memperbolehkannya". (*al-khilaf fi al-masail laysa hujaj al-ibahah*).


Selain tetap ngotot bahwa dalam masalah perkawinan muslimah dengan
laki-laki
kafir terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, dalam artikel 3
Mei
itu, Gus Solah, juga menegaskan, bahwa negara tidak patut melarang
perkawinan Muslimah dengan pria non-Muslim dan harus menghormati pendapat
minoritas umat Islam yang memperbolehkan pernikahan semacam itu, dengan
cara
memberikan kesempatan untuk mendaftarkan pernikahan mereka ke Kantor
Catatan
Sipil supaya pernikahan mereka sah menurut negara.

Kata Gus Solah: "Tetapi negara harus menghormati pendapat minoritas umat
Islam yang memperbolehkan pernikahan semacam itu, dengan cara memberikan
kesempatan untuk mendaftarkan pernikahan mereka ke Kantor Catatan Sipil
supaya pernikahan mereka sah menurut negara. Untuk bisa melakukan itu
tampaknya kita harus menunggu lahirnya UU Catatan Sipil yang mengatur
keharusan untuk mencatat atau mendaftar semua pernikahan di Indonesia."

Inilah ide berbahaya dari Ketua ICMI ini. Hanya gara-gara ada pendapat
minoritas umat Islam yang membolehkan praktik perkawinan antara wanita
muslimah dengan laki-laki kafir, maka negara dimintanya untuk mengesahkan
perkawinan semacam itu. Sementara itu, dia sendiri mengaku tidak setuju
dengan pendapat tersebut, dan menyatakan, bahwa perkawinan itu adalah
haram.


Bukankah ini cara berpikir yang paradoks? Bukankah itu sama saja, dia
meminta agar negara juga mengesahkan hal yang haram: seperti perkawinan
homoseksual, perjudian, korupsi, dan sebagainya. Jika dia berpikir
konsisten, bahwa perkawinan antara muslimah dan laki-laki kafir adalah
salah, maka harusnya dia juga mendukung pelarangannya oleh negara. Bukan
malah meminta negara mengesahkannya.

Sang Ketua ICMI mestinya menguji dulu, apakah pendapat yang membolehkan
wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir itu, merupakan ide yang
layak
dipertimbangkan atau tidak dalam kajian bidang hukum Islam. Sebagai contoh,

berikut ini argumentasi Musdah Mulia yang menyatakan, bahwa larangan
perkawinan antara Muslimah dengan laki-laki non-Muslim sebagaimana
disebutkan dalam QS Mumtahanah ayat 10 sudah tidak berlaku lagi.

Di tulis dalam buku Musdah Mulia itu: "Jika kita memahami konteks waktu
turunnya ayat itu, larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy
sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu itu konteksnya adalah
peperangan
antara kaum Mukmin dan kaum kafir. Larangan melanggengkan hubungan
dimaksudkan agar dapat diidentifikasi secara jelas mana musuh dan mana
kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi

peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan
dengan
sendirinya." (hal. 63).

Argumentasi "kontekstual" itu sangatlah lemah dan keliru. Dengan logika
semacam itu, maka ketika damai, seorang Muslimah halal menikah dengan
laki-laki kafir. Lalu, ketika perang, nikahnya jadi haram. Dan jika damai
lagi, maka nikahnya halal lagi. Dengan logika itu, maka ketika meletus
konflik islam-Kristen di Maluku, perkawinan Yuni Shara dengan Henry Siahaan

haram. Lalu, setelah damai, perkawinan itu jadi halal lagi. Apakah pendapat

seperti ini ? meskipun dikeluarkan seorang profesor-- bertanggung jawab dan

valid? Jelas tidak.

Sepanjang sejarah Islam, banyak kondisi dimana kaum Muslim tidak berperang
dengan kaum kafir. Bahkan, selama 1200 tahun lebih, kaum Yahudi hidup damai

di dalam wilayah Islam. Tetapi, selama itu pula para ulama tidak pernah
berpikir, bahwa muslimah halal menikah dengan laki-laki Yahudi. Para Imam
mazhab juga merumuskan pendapatnya di zaman damai. Mereka tidak berpendapat
seperti Musdah Mulia ini.

Sebagai Muslim, kita mestinya bersyukur jika negara juga melarang hal-hal
yang haram dalam Islam, seperti negara melarang pembunuhan, korupsi,
mencuri, pornografi, perzinahan, perkawinan homoseksual, perusakan
lingkungan, dan sebagainya. Karena kita yakin bahwa perkawinan antara
muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram dan munkar, maka sebagai
konsekuensi dari iman kita, kita harus mendukung, jika negara juga melarang

perkawinan semacam itu. Sebab, adalah aneh dan ajaib, jika kita berpendapat

'kumpul kebo' adalah haram, lalu kita justru mendukung negara kita
mengesahkan praktik 'kumpul kebo'. Na'udzubillahi min dzalika.

Semoga para cendekiawan Muslim kita tidak bersikap sembrono dalam masalah
ajaran Islam. Jika tidak mengerti masalah hukum Islam, sebaiknya kita
kembali kepada para ulama kita yang salih dan alim. Tugas cendekiawan
adalah
menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah. Cendekiawan Muslim
sejatinya adalah ulama. Di pundak merekalah amanah risalah dibebankan,
sebab
mereka adalah "pewaris para Nabi".

Jika para cendekiawan ini bersikap sembrono ? apalagi dalam hukum agama ?
maka merekalah yang akan pertama kali diminta pertanggungjawaban di Hari
Akhirat. Di dalam kitab Ihya' Ulumuddin, Imam al-Ghazali mengutip ucapan
Muadz bin Jabal r.a., "Hati-hatilah terhadap tergelincirnya orang alim
karena ia besar nilainya di mata makhluk, lalu mereka mengikutinya atas
ketergelinciran itu."

Sayyidina Umar r.a. juga menyatakan, "*Tiga hal yang dengannya robohlah
zaman. Salah satunya ialah tergelincirnya orang alim*." Semoga hal ini

    menjadi i'tibar bagi kita semua. Wallahu a'lam. (Jakarta, 6 Mei 2005).

_______________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting
------------------------------------------------------------
Tata Tertib Palanta RantauNet:
http://rantaunet.org/palanta-tatatertib
____________________________________________________

Kirim email ke