SYARI'AT ISLAM UNTUK MENGATASI KEMISKINAN (Khotbah Iedul Fithrie 1426H/2005M) Disampaikan oleh: DR. FUAD AMSYARI (Wakil Ketua Dewan Penasehat MUI Pusat) Bismillahirrohmaanirrohiim, Assalaamu'alaikum Wr. Wb., (Iftitah) Allaahu Akbar (takbir 3x) Hadirin jama'ah shalat Ied yang berbahagia, Pertama sekali marilah kita memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya yang terlimpah tiada putus-putusnya kepada kita, termasuk limpahan rahmat pada pagi hari ini, hari yang cerah, sejuk, dan segar di mana kita bisa bersama-sama melakukan sholat Ied menyambut hari raya Islam di tahun 1426 H. Dari semua ni'mat karunia yang diberikan oleh Allah swt pada kita yang tertinggi nilainya adalah hidayah Allah berupa iman yang membukakan hati ini menjadi hati yang bersih, hati yang fithrie, meyakini bahwa Allah swt satu-satunya tuhan yang harus disembah dan harus dipatuhi tuntunan atau syariatNya. Kita juga menyampaikan salam dan salawat kepada Nabi Muhammad saw, khususnya sebagai ungkapan kecintaan kita pada beliau dan rasa terima kasih yang tiada berhingga atas segala perjuangan dan pengorbanan beliau dalam menyampaikan risalah Illahi Rabbi sehingga telah sampailah risalah itu dengan selamat ke tangan kita untuk kita gunakan sebagai cara hidup secara pribadi, keluarga, dan masyarakat-bangsa-negara agar hidup kita mencapai keberhasilan di dunia dan di akherat nanti. Tuntunan Allah swt dalam bentuk cara mengurus kehidupan pribadi, berkeluarga, dan bermasyarakat-berbangsa-bernegara itulah sesungguhnya yang disebut sebagai Syari'at Islam yang utuh atau kaffah dan wajib bagi kita umat Islam untuk mengamalkan dan mensosialisasikannya. Aplikasi syari'at Islam di semua tatanan kehidupan kita akan membawa keselamatan dan keberhasilan hidup manusia, sedang penolakan terhadap syari'at Islam akan mengakibatkan kerugian, keterpurukan, dan kegagalan dalam proses kehidupan kita. Di sinilah hakekat dari kaidah "Islam itu sebagai Rahmat bagi Seluruh Alam". Allah berfirman dalam Al Qur'an Surat at Thalaq ayat 2-3 yang bermakna: "Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, maka Allah akan membukakan baginya jalan keluar (bagi setiap kesulitannya). Allah akan memberi rizki baginya dari jalan yang tidak mereka sangka. Barangsiapa yang bertawakkal pada Allah maka Allah akan melindungi/memeliharanya." Dalam Surat al Ghasyiah 23-24 Allah berfirman: "Barang siapa yang berpaling dan mengingkari (syari'at Islam) akan memperoleh adzab yang besar dari Allah swt" Allaahu Akbar (takbir 3x) Hadirin jama'ah shalat Ied yang berbahagia, Setelah sebulan kita menunaikan ibadah puasa Ramadhan, disertai banyak melakukan sholat tarawih, memperbanyak amalan-amalan terpuji, maka insyaAllah hati nurani atau qalbu kita kini menjadi qalbu yang lebih bersih, qalbu yang lebih berkualitas keimanan dan ketaqwaan. Qalbu yang seperti itulah yang bisa membawa perilaku kita menjadi lebih mulia yang bentuknya antara lain tercermin dalam al Qur'an surat Ali Imran ayat 134: "(Orang yang bertaqwa itu) adalah orang yang selalu menginfaqkan sebagian rizkinya baik ketika sedang dalam keadaan berkelebihan maupun sedang dalam keadaan kekurangan, dan mereka mampu menahan amarah, serta mudah memaafkan bagi sesamanya, dan Allah menyukai orang yang berbuat kebajikan." Ukuran yang operasional untuk kondisi fithrie itu sesungguhnya mudah dibuat dan bisa kita nilai sendiri dari hari ke hari. Ukuran ketaqwaan itu haruslah nyata, tidak hanya bersifat abstrak atau kabur. Mari kita ukur ketaqwaan itu dalam bentuk praktis, yang bisa dinilai oleh diri-sendiri dan bisa juga dinilai oleh orang lain di sekitar kita. Ukuran ketaqwaan yang praktis itu ada empat macam bentuk perbuatan, yakni: 1). Menunaikan ibadah mahdhah seperti shalat, berdoa, puasa, dan haji. 2). Tidak melakukan pekerjaan yang haram-maksiyat, seperti korupsi atau berzina atau judi, dan tidak pula memberi peluang menebar perbuatan itu; 3). Menolong orang lain, khususnya yang sedang kesulitan atau kekurangan; 4). Membela dan menyebarkan luaskan agama Islam ke lingkungan sekitarnya, sebagai bentuk dakwah Islamiyah atau jihad fie sabilillah. Ke empat aspek operasional ketaqwaan itu bisa disebut sebagai praktek menjalankan syariat Islam, sesuai dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya. Tentu berbeda kewajiban menjalankan syariat itu jika seseorang hanya sebagai warga biasa atau jika sebagai pejabat yang memiliki kewenangan menetapkan hukum, peraturan, dan kebijakan yang mengikat masyarakat yang dibawahinya. Di sinilah hakekat dari keadilan Allah swt dalam menilai prestasi manusia, tidak menyamakan kewajiban syariat secara sama-rata antara rakyat biasa dan pejabat, antara orang miskin dengan orang kaya-raya, antara ulama dengan mualaf. Orang miskin bebas zakat, bahkan berhak menerima zakat. Orang berharta 10 juta cukup membayar zakat Rp. 250.000,- tapi orang kaya dengan harta 1 milyar wajib bayar zakat 25 juta rupiah. Orang biasa hanya wajib menunaikan syariat terkait kehidupan pribadi dan keluarga saja, tapi seoarang pejabat apalagi setingkat kekuasaan eksekutif atau legislatif dalam lingkup negara wajib menerapkan syariat sosial-kenegaraan sesuai dengan lingkup kekuasaannya. Mengabaikan penerapan syariat sesuai dengan kapasitasnya sungguh akan memperoleh murka Allah dan menuai hasil kerjanya itu di dunia dan di akherat nanti. Allah berfirman dalam surat Yasiin, ayat 12: "Sesungguhnya Allah akan menghidupkan kembali kalian setelah mati, dan akan dinilai perbuatan kalian di dunia dan dampak dari perbuatan-kebijakan yang kalian buat itu". Jelas dampak dari perbuatan seorang rakyat biasa akan jauh beda dengan dampak kebijakan yang dibuat oleh seorang pejabat yang akan mengikat harkat hidup masyarakat di bawah kekuasaannya itu. Dan Allah swt akan menghitung semua dampak itu bagi penilaian ketaqwaan diri seorang manusia. Allahu Akbar, Hadirin yang berbahagia, Dalam kehidupan dunia muslim sekarang ini kita banyak sekali memperoleh godaan dan tantangan aqidah. Salah satu tantangan serius yang harus kita waspadai akhir-akhir ini adalah propaganda melalui media untuk membuat orang Islam menjadi ragu akan perlunya menegakkan syari'at Islam, menjadi ragu akan makna firman Allah dalam al Qur'an, menjadi ragu akan substansi spesifik dari ajaran Islam. Propaganda oleh yang menamakan diri sebagai "Islam Liberal" misalnya, yang dimuat secara intensif dalam media nasional jelas mengarahkan umat Islam untuk memeluk Islam hanya sebagai ajaran ritual dan moral yang umum, tidak spesifik seperti: keadilan, kejujuran, kerakyatan, dan semacamnya, yang tentunya tidak lagi menjadi khas Islam dan terasa amat abstrak dan tidak kongkret. Propaganda itu mengarah pada pengenceran iman Islam, dan bermaksud membuang kekhasan metoda spesifik Islami untuk dipakai dalam menjalani hidup bermasyarakat. Propaganda mereka itu pada dasarnya mengarah pada 3 hal: 1). Syariat Islam yang perlu dipatuhi hanyalah yang berbentuk ibadah mahdhah (seperti shalat, puasa, haji) dan akhlak saja, tidak ada syariat Islam yang terkait dengan pengelolaan masyarakat-bangsa-negara. Inilah faham "sekularisme". 2). Syariat Islam itu tidak berbeda nilainya dengan dengan syariat agama lain, yang penting itu menyembah Tuhan, sehingga apapun agamanya tentu akan masuk surga asal sesuai dengan ketentuan agama masing2nya. Inilah yang disebut sebagai faham "pluralisme agama". 3). Syariat Islam itu tidaklah baku seperti yang diajarkan oleh nabi dan ulama salafus sholeh (ulama yang memiliki kemampuan tinggi untuk mengartikan al Qur'an dan hadits), sehingga syariat itu bisa diinterpretasikan oleh siapa saja yang merasa bisa, dan ajarannya perlu disesuaikan dengan nilai sosial yang sedang berkembang di masyarakat walau nilai itu berasal dari agama lain dan nyata-nyata berlawanan dengan nash al Qur'an. Inilah yang disebut sebagai faham "liberalisme". Nah, hadirin sekalian, 3 faham seperti itulah yang sesungguhnya merusak agama Islam, dan berislam seperti itu hakekatnya sama seperti tidak berislam, atau bisa disebut berislam seenaknya. Tetapi mereka mengemas fahamnya itu dengan istilah yang indah dan mengagumkan seperti: Islam Moderat, Islam Toleran, namun hakekatnya hanyalah berupa Islam Lemah, Islam Loyo, Islam Tanpa Berkarakter, Islam Berubah-rubah. Itulah sebabnya MUI Pusat dalam Musyawarah Nasionalnya menetapkan ke tiga faham Islam tersebut keliru dan jangan diikuti. Allah swt berfirman dalam surat as Shaf ayat 11 yang maknanya: "Mereka itu berusaha akan meredupkan sinar Ilahi dengan mulut-omongan-perkataan mereka, namun Allah akan lebih memancarkan sinarNya walaupun orang-orang sesat itu tidak menyukainya". Dalam surat al 'Alaq ayat 6-7 Allah mengingatkan: "Ketahuilah, sesungguhnya manusia sering melampaui batas, karena ia melihat dirinya telah mampu/berkecukupan (lalu tidak mau lagi menggunakan cara hidup yang diajarkan oleh Allah)." Allaahu Akbar, Hadirin Yang berbahagia, Wahyu terakhir yang diturunkan Allah swt jelas bernuansa mengingatkan manusia akan sempurnanya isi al Qur'an, yang berarti menyuruh manusia agar tidak lagi ragu untuk menerapkan ajaran/syariat Islam, bukan yang umum-umum saja seperti propagandanya Islam Liberal dan Islam Sekuler tapi juga ajaran al Qur'an yang spesifik sebagai teknologi cara hidup pribadi, berkeluarga, bermasyarakat-berbangsa-bernegara. Ayat ini menegaskan agar manusia yakin untuk berpegang teguh dalam menjalani hidupnya di dunia ini dengan tuntunan al Qur'an dan percontohan Rasulullah. Ayat yang diturunkan terakhir itu tercantum dalam surat al Maidah ayat 3: "Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmatKu bagimu, dan Aku telah rela Islam sebagai agamamu." Allaahu Akbar, Hadirin yang saya hormati, Jarak waktu antara turunnya ayat pertama dan terakhir yang menandai pula masa-masa pembinaan aqidah, akhlak, dan cara hidup pribadi, berkeluarga, dan berbangsa-bernegara oleh Islam ternyata juga penting untuk disimak, yakni hanya 23 tahun. Jangka waktu sependek itu ternyata juga sudah cukup untuk merubah masyarakat dari kondisi terbelakang/terpuruk penuh krisis, kemiskinan, dan pertikaian sosial, menjadi kondisi bangsa maju, makmur, dengan peradaban tinggi. Dari bangsa pinggiran di tengah padang pasir yang tidak dikenal menjadi bangsa yang memimpin peradaban dunia, menggantikan adidaya kekaisaran Romawi dan Persia yang feodalistik dan represif. Kasus ini seharusnya memberi sinyal bahwa menyelesaikan krisis sosial itu tidak perlu makan waktu panjang asalkan metodanya benar. Bahkan lebih dramatis lagi kasus yang dialami Umar bin Abdul Aziz, khalifah Islam di zaman Mua'awiyah. Beliau hanya perlu 2 (dua) tahun untuk merubah masyarakat yang semula dilanda kemiskinan karena pejabatnya korup dan kolutif menjadi masyarakat yang tercukupi ekonominya sehingga penduduk berebut memberi zakat, tidak ada lagi yang mau menerima zakat, setelah tegas mengetrapkan syari'at Islam dalam proses pengelolaan negerinya. Kasus-kasus seperti itu seharusnya memberi kita pelajaran berharga, yakni bahwa proses membangun masyarakat-bangsa-negara itu harus dimulai dengan upaya keras memilih pemimpin yang taat syariat, apakah pimpinan eksekutif, legislatif, maupun yudikatifnya. Dengan pemimpin seperti itu maka akan dapat dibentuk tatanan masyarakat-bangsa yang tertib hukum, penuh keadilan, sesuai tuntunan Islam, di mana si pemimpin sendiri siap hidup kekurangan seperti layaknya mayoritas penduduk yang dipimpinnya. Cara ini amat berbeda dengan negara yang mendahulukan prioritas penumpukan harta/materi atau pembangunan ekonomi berorientasi pertumbuhan yang kemudian bila ada harta masuk maka harta itu dimanipulasi dan dieksploitasi oleh pejabat korup berkolusi dengan pengusaha rakus sehingga rakyatnya akan tetap miskin dan terlantar. Sinilah rasional sosialnya mengapa suatu negeri itu, walau sudah membangun berpuluh tahun, tapi rakyat banyak tetap saja miskin sedang para pejabat dan segelintir pengusahanya hidup bergelimang harta. MasyaAllah. Allahu Akbar, Kita perlu ingat bahwa Negara Madinah di zaman pemerintahan Rasulullah dan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz adalah negara majemuk, negara plural, yang di dalam negara itu hidup orang beragama non-Islam, ada Yahudi dan Nasrani, namun secara sosial dikelola sesuai dengan prinsip syari'at Islam. Allah SWT menegaskan dalam surat al A'raf ayat 96: "Apabila penduduk suatu negeri itu beriman dan bertaqwa (berakhlak mulia dan mengetrapkan syariat Islam dari Allah) maka Allah akan menurunkan karuniaNya dari langit dan bumi (sehingga mereka akan menjadi makmur, sejahtera-lahir bathin). Namun jika mereka itu ingkar (terhadap tuntunan Allah) maka akan ditimpakan pada mereka berbagai kesulitan hidup karena perilaku mereka sendiri (yang mengingkari syariat Islam itu)." Allaahu Akbar, Hadirin jama'ah shalat Ied yang berbahagia, Kalau orang miskin di suatu negeri itu hanya beberapa saja, maka mungkin saja kemiskinan itu adalah akibat kekurangan pribadi orang yang miskin. Namun bila kemiskinan dalam suatu negeri itu melanda umumnya masyarakat maka pasti yang salah adalah cara pengelolaan sistem sosialnya. Semua orang rasanya sudah memahami betapa kondisi masyarakat dan bangsa kita sekarang ini sedang amat menyedihkan. Kemiskinan di mana-mana, kerusakan akhlak-moral meraja lela, penyakit melanda tidak habis2nya, musibah datang silih berganti. Rasanya semua itu masih tetap sama walau kita sudah membangun negeri ini berpuluh tahun, bahkan kini tampak kekayaan tanah air semakin menipis, lingkungan semakin terasa rusak, dan hutang juga semakin besar. Di manakah salahnya? Tentu terletak pada cara hidup umat Islam dan cara managemen/mengelola bangsa dan negara. Allah tidak bersama bangsa Indonesia karena bangsa ini mengabaikan syariatNya. Allah swt membiarkan bangsa ini berada dalam belantara dunia keserakahan manusia, menjadi korban eksplotasi dan pemerasan orang-bangsa lain karena mengabaikan syariat sosial-kenegaraan yang diajarkan Allah swt. Kita dibiarkan bersaing bebas dengan serigala, singa, dan buaya yang telah mapan dalam modal dan teknologi untuk memperebutkan kesejahteraan di dunia fana tanpa lindungan, arahan, dan ampunan Allah swt. Persaingan bebas dengan kelompok atau bangsa yang sudah mapan dalam hal modal dan teknologi jelas akan berakhir dengan kekalahan dan keterpurukan, kecuali bila Allah swt bersama bangsa Indonesia. Allah swt hanya akan bersama bangsa ini jika pengelolaan bangsa-negara sesuai dengan syariat Islam, apalagi jika mayoritas penduduk ini faktanya beragama Islam. Allahu Akbar, Bagaimana syariat Islam bisa memakmurkan suatu masyarakat di suatu wilayah bisa dikaji dari prinsip Islam dalam membangun kesejahteraan ekonomi suatu tatanan bangsa. Ada lima tonggak atau pilar kebijakan Ekonomi Islam yang selama ini diabaikan oleh pembuat kebijakan ekonomi nasional maupun daerah. Ke lima tonggak kebijakan ekonomi menurut ajaran Islam itu bisa diringkas sebagai berikut: 1. Rakyat diberi kebebasan penuh melakukan usaha ekonomi namun tidak boleh (dilarang oleh negara) bersifat haram-maksiyat karena usaha ekonomi yang haram-maksiyat pasti akan bersifat eksplotatif dan memeras orang lain. Bukankah usaha judi jelas menipu uang korban, miras membuat orang berbuat kejam dan amoral, pelacuran menebar penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Mengapa penguasa wilayah dan negeri masih saja mentolerir praktek-praktek seperti itu? Apakah alasan HAM yang dipropagandakan Barat yang sekuler dan non-muslim itu, yang atas nama kebebasan maka orang boleh kawin sesama jenis, boleh punya anak tanpa nikah? Bukankah tata-nilai seperti itu jelas salahnya, tidak layak, dan tidak sesuai dengan kondisi sosiologis bangsa ini yang mayoritasnya beragama Islam. 2. Lembaga keuangan harus bebas dari riba' karena riba' berarti eksploitasi orang yang sedang kesulitan ekonomi oleh lembaga yang berlimpah dana. Riba' memberikan peluang orang untuk spekulasi dan manipulasi uang orang lain dalam skala besar, baik oleh pejabat bank maupun nasabahnya. Lembaga keuangan dalam Islam harus bebas riba' dan pendapatan ekonomi oleh penduduk harus didasarkan pada prinsip tanggung-jawab dan resiko bersama antara pemilik modal dan yang memanfaatkan modal. Bukankah penguasa daerah dan negara masih saja mentolerir praktek Bank dengan riba' bahkan memformalkannya dengan sertifikat bank (SBI) dan obligasi. 3. Islam memberantas kemiskinan melalui penyelamatan orang miskin dan terlantar oleh Negara melalui lembaga keuangan negara atau Baitul Mal. Keuangan dari Baitul Mal tidak akan kering karena diperoleh dari berbagai usaha halal oleh negara termasuk dari kekayaan tanah-air, infaq orang kaya, denda orang yang melanggar, dsb. Negara tidak akan hanya sibuk mengumpulkan dana untuk anggaran membiayai pejabat dan birokrasinya yang selalu haus proyek dan insentif. Selama negara masih memiliki kekayaan tanah-air cukup, dan adanya orang kaya-raya dinegerinya maka Islam tidak membiarkan ada orang miskin telantar, apalagi anak gelandangan dan anak jalanan. Lembaga baitul Mal akan dijaga dan dikelola penuh amanah oleh pejabat negara yang tinggi akhlaknya. Baitul mal menyelamatkan orang miskin dengan cara memberdayakan mereka melalui kemampuan pendidikan, kesehatan, dan ketrampilan-kemampuan kerja oleh dukungan keuangan negara. Negara tidak boleh menganak-emaskan pengusaha yang sudah besar, dan tidak layak memberi gaji besar pada pejabatnya, apakah eksekutf, legislatif, yudikatifnya pada hal mayoritas penduduk masih tergolong tidak mampu. 4. Islam juga meminta tanggung jawab penduduk untuk ikut bertanggung jawab mengurusi keluarganya agar tidak terlantar melalui Sistem Ekonomi Waris. Waris tidak boleh hanya diartikan sefihak, yakni menerima hibah (rejeki nomplok) saja karena kematian seseorang anggauta keluarga. Sebuah sistem waris yang terdiri dari beberapa keluarga yang ada ikatan waris harus saling membantu satu sama lain mengangkat kesejahteraan ekonomi anggauta warisnya yang sedang kesulitan atau kekurangan oleh anggauta waris lain yang sedang dalam kondisi mampu-kaya. Keluarga yang berlebihan secara ekonomis dari suatu sistem waris wajib membantu/mengangkat kondisi ekonomi keluarga lain yang sedang kekurangan dalam sistem warisnya secara sungguh-sungguh. 5. Sistem ekonomi Islam mewajibkan dibentuknya lembaga peradilan ekonomi yang independen yang berlaku adil dan tegas untuk menindak birokrat yang lengah mengurusi orang miskin di daerahnya, atau anggauta waris yang menelantarkan anggauta warisnya yang sedang ditimpa kemalangan ekonomi. Hukum pidana bunuh bisa berlaku bagi pejabat dan anggauta sistem waris yang tidak memenuhi kewajiban ekonomi dari rakyat dan Saudaranya. Allahu Akbar, Hadirin yang berbahagia, Ke lima tonggak ekonomi menurut syariat Islam di atas pada hakekatnya sudah dapat dilaksanakan dalam suatu sistem otonomi di suatu wilayah, tidak harus menunggu kebijakan secara sentral/nasional. Bahkan untuk ekonomi waris sudah bisa dilakukan oleh suatu sistem kekeluargan pada tingkatan mana saja. Mampukah orang Islam memulai ajaran syariat Islam bidang ekonomi ini walau dalam lingkup terbatasnya? Jawabannya tentu ada dalam hati masing-masing kita. Dengan pelaksanaan syariat Islam dalam bidang sosial-kemasyarakatan itu Allah menjamin datangnya kesejahteraan hidup bukan hanya di akherat nanti, juga sudah akan dirasakan oleh umat di dunia fananya sekarang. Kesalahan umum umat Islam adalah karena meninggalkan syariat Islamnya, syariat yang terkait dengan pengelolaan sosial-kenegaraan, walau secara pribadi dan keluarga sudah taat syariat. Semoga Allah mengampuni kita. Allah menegaskan dalam al Qur'an Surat an Nahl ayat 90: "Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, menyantuni kaum kerabat, serta melarang perbuatan keji, mungkar, dan sikap permusuhan." Allaahu Akbar, Hadirin yang berbahagia, Marilah kita kembali kepada syariat Islam untuk keberuntungan kita sebagai pribadi, sebagai keluarga dan sebagai bangsa-negara. Kita harus yakin bahwa hanya dengan syariat kita akan selamat dunia akherat. Akhirnya marilah kita tutup khotbah Iedul Fithrie 1426 H ini dengan doa yang khusyuk dan penuh harap kepada Allah SWT: "Ya Allah, kami telah mendengar seruan untuk beriman dan bertaqwa kepadaMu, dan kami telah menjadi orang yang beriman dan bertaqwa. Berikanlah kepada kami ya Allah perlindunganMu agar kami tidak lagi tersesat setelah kami beriman. Ya Allah, kami ini memang memiliki banyak kelemahan, maka berikanlah kepada kami ya Allah kekuatan untuk bisa hidup sesuai dengan syariatMu, apakah kami sebagai orang biasa apalagi jika kami sebagai pejabat publik. Jadikanlah ya Allah hidup kami ini membawa kemanfaatan bagi sekitar kami sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab kami, bukan menjadi manusia serakah yang merugikan orang lain dan merusak alam sekitar. Ya Allah, tambahkanlah ilmu kami, kuatkanlah iman kami, dan kokohkanlah ketaqwaan kami. Ampunilah segala kesalahan kami, dan jauhkanlah kami dari siksa nerakaMu yang maha pedih itu. Amin." Wassalaamu'alaikum Wr. Wb., Khotbah Iedul Fithrie 1426H/2005M Mesjid Baitul Falah, Ngagel, Surabaya
Website http://www.rantaunet.org _____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ____________________________________________________