B. 9. Minang

Orang Minang menolak disebut memiliki fanatisme kesukuan. Bahwa mereka
suka  membantu  orang  sekampung,  itu  benar,  tapi harus ditafsirkan
sebagai  perhatian  terhadap sesama perantau. Dan itu tidak khas orang
Minang.  Semua  etnik  juga  seperti itu. Yang justru fanatik terhadap
sukunya,  menurut orang Minang, ialah etnik Batak dan Sulawesi Selatan
(Makasar). Seandainya satu orang Batak jadi Menteri, di bawahnya Batak
semua.  Begitu  juga  dengan  orang  Sulawesi  Selatan.  Orang Minang,
meskipun  perhatian  terhadap  sukunya  besar  sekali,  kalau  ia naik
jabatan, ia naik sendiri. Sebab orang Minang paling anti-nepotisme.

Kalau orang Minang fanatik terhadap sukunya, mestinya mereka hanya mau
kawin  dengan  orang  yang  satu  suku.  Kenyataannya  tidak demikian.
Teramat  banyak  orang  Minang  yang  kawin  dengan  etnik  lain.  Itu
menunjukkan bahwa orang Minang pun ikut mensponsori persatuan.

Tuduhan  orang Bugis bahwa orang Minang itu rela tidur di emper-emper,
asalkan bisa mengirimkan penghasilannya ke kampung halaman, juga tidak
benar. Banyak sekali orang Minang yang membeli tanah dan rumah di sini
(Jakarta),  dan  mereka  tidak tahu apakah akan pulang lagi ke kampung
halaman  atau  tidak.  Bahkan  kalau seandainya Minang itu jadi negara
merdeka,  belum  tentu orang-orang Minang yang ada di berbagai pelosok
Indonesia ini akan pulang kampung. Untunglah orang Minang tidak pernah
menuntut  merdeka.  Hanya pernah ada tuntutan dari orang-perorang agar
propinsi  Sumatera  Barat itu diganti menjadi propinsi Minang, seperti
halnya propinsi Bali, propinsi Aceh, Propinsi Jawa, dan lain-lain. Hal
ini perlu untuk mengembalikan jati diri orang Minangkabau. Sebab dalam
kenyataannya  memang  ada  diskriminasi  dalam  soal budaya. Misalnya,
dalam  hal  sepele  saja,  kenapa  TVRI bisa menayangkan Wayang (Jawa)
semalam  suntuk,  tapi Rambai tidak. Atau juga budaya dari etnik-etnik
lain. Orang Minang merasa “cemburu” dengan itu.

Orang   Minang  menganggap  transmigrasi  sebagai  proses  Jawanisasi.
Jalan-jalan  raya  menjadi  bernama  Mojokerto,  dan sebagainya. Semua
diubah  dengan  the  legend  of  Java,  seperti di Sitiung, dari mulai
gamelan  sampai  perangkat  desanya  dibawa. Aplikasi sistem desa yang
khas  Jawa  ke  tanah Minang membuat semua tatanan adat porak poranda.
Budaya Minangkabau tidak lagi menjadi tuan rumah di negerinya sendiri.
Datuk  tidak  lagi dihargai di Minangkabau. Saking rusaknya, Datuk pun
bisa   dibeli.  Dulu  kalau  terjadi  pertentangan-pertentangan  dalam
masyarakat  maka  yang  menangani  ialah  penghulu nagari. Tapi dengan
adanya kepala desa maka peranan penghulu nagari itu menjadi terhapus.

Bicara tentang Minang berarti bicara tentang Islam. Sebab orang Minang
itu  bisa  dikatakan  semuanya  memeluk Islam. Orang Minang yang tidak
Islam itu secara etnis tetap Minang, tapi dia “dilempar” dari sukunya.
Ada  dua  tali  di  Minangkabau,  yaitu tali darah dan tali adat. Tali
darahnya  Islam,  dan  tali adatnya budaya Minang. Banyak kiai di Jawa
yang  protes  soal  pembagian  harta  pusaka di Minangkabau yang tidak
Islami. Itu sebetulnya karena kesalahpahaman terhadap dua tali itu.

sumber :
Indonesian Institute for Civil Society
http://www.incis.or.id/bab3_b.htm


--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan,
silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Posting dan membaca email lewat web di
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
dengan tetap harus terdaftar di sini.
--------------------------------------------------------------
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan Reply
- Besar posting maksimum 100 KB
- Mengirim attachment ditolak oleh sistem
=========================================================

Reply via email to