Tolong dibaca aturan pada footer dibawah
-------------------------------------------



Jangan Abaikan Pariwisata
Oleh: Rhenald Kasali
Artikel ini pernah dimuat di harian KOMPAS tanggal 23 Agustus 2004.

Tak lama setelah The World Travel and Tourism Council (1991) mengungkapkan 
bahwa pariwisata adalah industri penting dan terbesar didunia, negara-negara 
pun sibuk mereposisi industrinya. Pada awal abad ini, seorang ahli ekonomi 
mikro, Joseph Pine II dan James H. Gilmore, menyebutkan negara-negara 
industri telah mereposisi ekonominya dari brand-based economy (ekonomi 
manufaktur berbasiskan produk-produk bermerek) menjadi experience economy 
(ekonomi berbasiskan experience atau kesan).

Experience adalah kegiatan ekonomi produktif yang menimbulkan efek 
keterlibatan. Segala sesuatu yang berakhiran ing dalam bahasa Inggris, 
seperti diving, skiing, dogsledding, hot-air ballooning, whale kissing, 
snorkeling, dan seterusnya masuk dalam kategori ini. Dan semua itu, merupakan 
kemasan pariwisata modern yang menimbulkan pengaruh kenaikan lapangan kerja 
sebesar 5,3% (jauh di atas jasa yang hanya tumbuh 2,7%, atau manufaktur yang 
hanya naik 0,5%) dalam perekonomian Amerika antara 1959-1996.

Data di atas menunjukkan pariwisata mempunyai peran besar dalam perekonomian. 
Indonesia pernah sangat serius menekuninya, tapi sekarang pariwisata seperti 
kehilangan “Ruh”. Bahkan kita tak mendengar satu kata pun dari para calon 
presiden tentang betapa pentingnya industri ini. Yang kita dengar cuma 
keluhan, yaitu matinya bisnis ini akibat terorisme, travel banned, bom Bali, 
flu burung, wabah SARS, dan sebagainya. Insan pariwisata yang saya temui 
selalu bertanya, “Apakah sektor ini masih dianggap penting untuk mendulang 
devisa?” Tulisan ini dimaksukkan semacam appeal, agar para pemimpin jangan 
mengabaikan pariwisata.

Mengapa Hanya 4 Juta?

Pertanyaan di atas keluar dari mulut pelaku-pelaku usaha saat mendengar 
ceramah pejabat pariwisata kita yang belum lama ini menyampaikan bahwa 
industri ini sudah mulai pulih. Berapa angka yang menggambarkan kepulihan 
itu? Ternyata hanya empat juta! Secara absolut kelihatannya memang besar, 
tapi kalau kita bandingkan dengan wisatawan yang datang ke Malaysia (10, 58 
juta, lihat tabel 1), jumlah ini belumlah seberapa. Bahkan dari satu negara 
saja (Singapore), Malaysia berhasil menangguk 7, 55 juta wisatawan. Kunjungan 
sebesar 4 juta orang itu sudah termasuk turis-turis asing yang hanya turun 
beberapa jam dari kapal cruise yang merapat di Tanjung Benoa (Bali).

Para pejabat tentu punya banyak penjelasan untuk menerangkan mengapa jumlah 
wisatawan yang datang cuma sebesar itu. Namun demikian, kalau dibandingkan 
dengan apa yang telah dilakukan, wajar juga bila kita hanya mendapat porsi 
yang kecil. Masalahnya, mereka bekerja dengan visi yang lebih jelas, 
marketing yang lebih baik, lebih strategis dan eksekusi yang kuat. Padahal 
mereka juga menghadapi masalah yang tidak ringan. Thailand misalnya, masih 
harus membersihkan persepsi dunia sebagai sarang wabah penyakit AIDS.

Sementara itu Malaysia juga tidak mudah diterima dunia Barat. Di jaman 
Mahatir, negeri ini pernah dipandang sebagai negara otoriter. Selain itu, 
alamnya tak memberi banyak keindahan. Tapi Malaysia sangat serius. Setelah 
memperoleh kekuatan hukum melalui Malaysia Tourism Promotion Board Act 1992, 
Malaysia segera mencetak kantong-kantong kunjungan baru. Mereka membabat 
kebun-kebun tanaman keras di Sepang dan membangun area sirkuit balap Formula 
I, membangun kota air di Kuching, memasarkan Orang Utan Serawak, dan 
sebagainya. Untuk membuatnya lebih menarik Malaysia membuat banyak tema untuk 
segmen yang berbeda-beda.

Akibatnya, Indonesia menjadi tampak sebagai negara yang tidak serius. Strategi 
pemasaran hanya terbatas di atas kertas. Tidak ada strategi cluster yang 
memadai, dan servisnya buruk. Anda mungkin masih ingat komplain wisman yang 
harus antri berjam-jam di bandara saat diberlakukan visa on arrival. Padahal 
di negara-negara tetangga mereka bebas masuk tanpa visa. Sudah begitu airline 
dari kontinen tertentu dibebaskan landing fee selama 2 tahun sehingga 
tiketnya lebih murah.

Eksekusi yang buruk juga tampak di banyak kota yang sudah punya konsep. Di 
Yogjakarta misalnya, tak ada satu hotel pun yang memasang slogan ”Never 
Ending Asia” yang konon telah menjadi jargon Yogja. Tidak ada di hotel, juga 
tidak di bandara. Kalangan bisnis pariwisata di Yogjakarta mengatakan sejak 
awal mereka memang tidak dilibatkan.

Ketidakbecusan kita menata dan memasarkan pariwisata akan semakin jelas bila 
kita melihat pameran-pameran yang kita ikuti. Selain pesertanya harus 
membayar lebih mahal (sebagai contoh dalam pameran pelaku-pelaku wisata dunia 
di ITB Berlin untuk satu meja, peserta Indonesia harus membayar US$1,900, 
sedangkan dari Malaysia hanya membayar US$500), dalam banyak pameran booth 
Indonesia terkesan kurang menarik. Padahal bangsa-bangsa lain tampil begitu 
mempesona. Thailand menawarkan pesona Indochina (bersama Vietnam, Laos, 
Kamboja dan Myanmar). Yunani, Israel dan Cina tak kurang akal menunjukkan 
pesona warisan budayanya. Semua tampil habis-habisan dan menggoda.

Bentuk ketidakseriusan kita akan semakin jelas bila kita membuka situs 
informasi pariwisata (www.indonesiatourism.go.id). Selain informasinya tidak 
up to date, kita juga tidak mencantumkan kantor perwakilan luar negeri. Lebih 
menyedihkan lagi, saat link-link pada situs yang memuat file video multimedia 
mengenai lokasi pariwisata Indonesia diklik, yang keluar ternyata pidato 
menteri.

Saya kira dengan upaya yang kurang tepat seperti itu wajar sajalah bila kita 
hanya berhasil menangguk 4 juta wisman.

Butuh Visi yang Jelas

Untuk membunyikan pariwisata Indonesia, diperlukan visi-misi pemasaran yang 
jelas. Segera setelah mendapatkan pengukuhan dari parlemen lewat Malaysia 
Tourism Promotion Brand Act 1992 misalnya, Tourism Malaysia merumuskan 
misinya yang dikenal sebagai 'Marketing Malaysia'. Objektifnya adalah 
mempromosikan Malaysia sebagai kunjungan wisata yang menarik dan mampu 
menjadi kontributor utama dalam pembangunan sosial-ekonomi.

Dengan visi yang jelas, industri pariwisata diarahkan sebagai industri 
berkelanjutan yang tak boleh berhenti sedetikpun karena peristiwa-peristiwa 
politik. Arahnya tidak boleh berubah hanya karena berganti pemerintahan. 
Demikian juga tidak bisa dihadang hanya karena ada negara kuat yang melarang 
warganya bepergian ke sana. Kekuatan destinasi (Image of a destination) yang 
dibangun secara sistematis, konseptual dan bertahap akan mampu menembus semua 
itu. Itulah yang diperoleh Israel yang turisnya tetap berkunjung ke Yerusalem 
kendati perang terus berkecamuk.

Thailand sendiri merumuskan konsep ”Amazing Thailand” lewat sebuah proses 
visioner yang panjang. Visi itu dituangkan dengan baik dalam “Thailand 2012”

Kuncinya : Product – Market

Departemen Kebudayaan dan Pariwisata kita seharusnya menjadi departemen yang 
kental dengan nuansa “pemasaran”nya. Badan ini jelas memerlukan strategi 
reposisi untuk merubah kebiasaan-kebiasaan lama dari “mengatur” menjadi 
“menjual” dan “memasarkan.”

Dari kacamata pemasaran sendiri kata kuncinya sebenarnya hanya dua, yaitu 
produk dan pasar. Tetapi keduanya tidak memadai. Celakanya, produk-produk 
wisata kita sekarang telah cenderung “lama” dan ”monoton”. Bahkan sebagian 
lagi sedang mengalami kerusakan-kerusakan serius. Bunaken semakin tercemar 
oleh limbah sampah, arus “massa” sepanjang musim libur di Candi Borobudur 
cenderung bertabrakan. Sampah dan alang-alang meninggi di bibir Ngarai 
Sianok. Ruko-ruko mulai mengotori tanah Bali.

Untuk lokasi wisata kita pun masih mengandalkan pantai dan warisan budaya. 
Event-event yang diselenggarakan lebih ditujukan untuk kepentingan wisatawan 
domestik ketimbang wisman.

Untuk mencapai wisatawan sebanyak 10 juta (2003), atau sekitar 14 juta (tahun 
ini), Malaysia tampak lebih kreatif dalam memasarkan negaranya. Tahun ini 
misalnya, Malaysia memasarkan delapan jenis produk untuk enam pasar yang 
berbeda. Kedelapan product market itu adalah: Sports (Formula 1 dan World 
Amateur Inter-Team Golf Championship), Cultural Events (tahun ini digelar 
tema ’Colours of Malaysia’ yang mengaitkan budaya dengan produk-produk 
kerajinan, makanan dan costumes), belanja (Malaysia Megasale, Carnival dan 
Made in Malaysia Exhibition), alam (khususnya pantai, tahun ini digelar Water 
Festival), Orang Utan (Serawak), buah-buahan tropis (bulan Juli lalu digelar 
Food & Fruit Fiesta), pendidikan dan kesehatan (Malaysia mulai memasarkan 
rumah sakit) dan bisnis (event-event bisnis).

Masing-masing produk wisata itu memiliki pasar yang berbeda-beda, sehingga 
wajar bila Malaysia berhasil mendapatkan agregasi wisatawan yang lebih luas 
dan lebih banyak. Kalau misalnya Bali hanya menjual Kuta, maka turis yang 
datang hanya yang itu-itu saja, yaitu turis kelas menengah bawah yang 
menyukai keramaian. Tapi Bali juga perlu memasarkan Ubud dengan desa pelukis, 
hamparan sawah dan pura dalam purinya yang diminati wisatawan kalangan atas.

Untuk mendapatkan wisatawan sebanyak sepuluh juta, Indonesia jelas perlu lebih 
strategis membangun pariwisatanya. Jangan lagi jual Indonesia, tapi juallah 
tema, jual lokasi, produk, story dan seterusnya. Masing-masing segmen pasar 
menghendaki produk dan tema yang berbeda-beda. Penjumlahan masing-masing 
pasar akan menghasilkan total pasar yang jauh lebih besar. Produk-produk 
pariwisata kita jelas memerlukan sentuhan-sentuhan baru, bahkan kita perlu 
produk-produk baru agar tak terkesan monoton dan tak terurus.

Pemasaran pariwisata yang baik dapat mendorong peningkatan lapangan kerja yang 
memadai. Sebab di bawahnya terdapat kegiatan ekonomi produktif mulai dari 
kerajinan, kesenian, makanan,transportasi, travel, herbal, dan sebagainya. 
Maka, janganlah kita lupakan pariwitasa karena alam telah memberikan kita 
yang terbaik.





Sukseskan Pulang Basamo se Dunia, Juni 2008.
-----------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
============================================================
UNTUK SELALU DIPERHATIKAN:
- Hapus footer dan bagian yang tidak perlu, jika melakukan reply.
- Posting email, DITOLAK atau DIMODERASI oleh system, jika:
1. Email ukuran besar dari >100KB.
2. Email dengan attachment.
3. Email dikirim untuk banyak penerima.
--------------------------------------------------------------
* Berhenti (unsubscribe), berhenti sementara (nomail) dan konfigurasi 
keanggotaan, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting
* Membaca dan Posting email lewat web, bisa melalui mirror mailing list di:
http://groups.yahoo.com/group/RantauNet/messages
http://groups.google.com/group/RantauNet?gvc=2
dengan mendaftarkan juga email anda disini dan kedua mirror diatas.
============================================================

Kirim email ke