Hasil Penelitian LP2M
Peran Bundo Kanduang Dilemahkan dalam Sistem Adat Minangkabau 
KEDUDUKAN sosial perempuan Minangkabau telah banyak dikaji dan menarik
perhatian berbagai kalangan. Penelitian terbaru dilakukan Lusi Herlina
dan kawan-kawan dari Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat
(LP2M) Padang tahun 2003, dan laporan penelitian tersebut diterbitkan
dalam buku Partisipasi Politik Perempuan Minang dalam Sistem Masyarakat
Matrilineal (Penerbit LP2M dan The Asia Foundation, November 2003, xviii
+ 107 halaman).
PENELITIAN dilakukan berdasarkan asumsi bahwa etnis Minangkabau tidak
hanya menganut sistem kekerabatan matrilineal, tetapi juga matriarkat
yang berarti kekuasaan berada pada perempuan. Posisi perempuan
Minangkabau dinilai "superior", lebih berkuasa dibandingkan dengan
perempuan dari suku lainnya di Indonesia. Karena itu, isu-isu kesetaraan
dan keadilan jender dianggap tidak relevan dibicarakan di Minangkabau.
Tidak ada subordinasi perempuan di Sumatera Barat (Sumbar), yang terjadi
adalah subordinasi laki-laki.
Ada kalangan yang bersikap kritis terhadap pendapat di atas. Menurut
Hayati Nizar, pengamat masalah perempuan di Padang, masyarakat
Minangkabau cenderung terbuai dengan "posisi imajinasi" yang menempatkan
perempuan pada posisi yang tinggi dengan segala atribut yang
disandangkan kepada mereka.
Padahal, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau meskipun
menganut sistem matrilineal, sistem kekuasaannya tidak matriarkal.
Kekuasaan formal, baik secara tradisional maupun modern, tetap dipegang
oleh laki-laki.
Dilukiskan, mamak menjadi pemimpin dalam wilayah rumah tangga saparuik
(satu perut, satu ibu). Datuak menjadi pemimpin dalam wilayah kaumnya
(satu nenek). Penghulu menjadi pemimpin suku (satu nenek moyang) dalam
sebuah wilayah genealogis. Wali nagari pemegang kekuasaan formal di
nagari.
Menurut Lusi Herlina, hukum adat Minangkabau menempatkan perempuan
sebagai pewaris dan pemilik sah pusaka. Namun, hampir di semua wilayah
Sumbar terdapat kasus di mana mamak (saudara laki- laki dari pihak ibu)
mendominasi dan mengambil alih beberapa kewenangan strategis yang secara
ideal normatif menjadi hak perempuan.
"Hak kepemilikan pusaka yang secara sah berada di bawah kekuasaan
perempuan sering kali tidak berlaku efektif. Kekuasaan dan intervensi
mamak sangat kuat dalam pengambilan keputusan terhadap harta pusaka
tinggi. Fenomena ini menunjukkan bahwa perempuan Minangkabau
sesungguhnya tidak memiliki kontrol terhadap sumber daya, seperti tanah
dan harta pusaka tinggi lainnya," tandasnya.
BUNDO Kanduang adalah institusi perempuan yang sangat penting dalam
budaya Minangkabau. Bundo Kanduang merupakan tokoh yang berasal dari
dunia mitos. Selain Bundo Kanduang, Minangkabau juga menyimpan nama-nama
yang sesungguhnya berasal dari mitos, yakni Mande Rubiah.
Bundo Kanduang digambarkan sebagai perempuan yang bijaksana. Masih
diceritakan dalam Tambo, Bundo Kanduang ditampilkan sebagai seorang
pemimpin yang sangat menentukan jalannya roda pemerintahan. Sebagai
perempuan, ia tidak hanya penyejuk dalam pertemuan, bukan juga
bunga-bunga penghias taman, ataupun pelengkap saja. Akan tetapi, Bundo
Kanduang memiliki tempat sejajar dengan elite lainnya dalam pemerintahan
Kerajaan Pagaruyuang sehingga pikirannya menentukan kebijakan yang
diambil kerajaan.
Sejarawan Taufik Abdullah, sebagaimana dikutip Lusi Herlina, punya
pandangan yang cenderung bertolak belakang tentang posisi Bundo
Kanduang. Taufik menyatakan bahwa memang Bundo Kanduang sebagai sumber
kebijakan, namun ia tidak memiliki peranan dalam pengambilan keputusan
karena ia bukanlah orang yang memegang jabatan resmi dalam hierarki
kekuasaan dalam sistem politik Minangkabau. Pada gilirannya, ia tetap
saja sebagai simbol percaturan politik karena tidak memiliki kekuasaan.
Meski tidak memiliki kekuasaan secara formal, Bundo Kanduang tetap saja
menjadi komponen yang harus dilibatkan dalam proses pengambilan
keputusan.
Lusi menjelaskan, dalam perkembangan sejarah Minangkabau selanjutnya,
Bundo Kanduang kemudian dipahami sebagai tokoh perempuan dalam suku/kaum
yang menjadi pemimpin dalam Rumah Gadang. Dia adalah perempuan yang
disegani, dihormati, dan dimuliakan karena karismanya, kecerdasannya,
dan kepiawaiannya mengelola dan memimpin semua orang yang tinggal dalam
Rumah Gadang.
"Karena karisma dan kekuasaan Bundo Kanduang inilah, kemudian Pemerintah
Belanda menjadikan Bundo Kanduang sebagai institusi yang dipakai sebagai
alat penundukan perempuan. Intervensi pemerintah kolonial ini tidak
sepenuhnya berhasil. Dalam perkembangannya, Bundo Kanduang ketika itu
tetap mandiri dan otonom yang secara efektif mampu menjalankan fungsi
kontrol terhadap pemerintahan nagari," katanya.
Namun, kebijakan pemerintahan Orde Baru melalui pemberlakuan
Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa secara
efektif mematikan proses-proses politik perempuan.
Seiring dengan kebijakan tersebut, Pemerintah Daerah Sumbar tahun 1982
mengeluarkan peraturan daerah tentang pembentukan Kerapatan Adat Nagari
(KAN), Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), dan institusi
Bundo Kanduang.
Pelembagaan institusi Bundo Kanduang oleh pemerintah menjadikan
institusi ini kehilangan esensi keberadaannya sebagai lembaga
independen, yang selama ini mampu bersikap kritis terhadap
penyelenggaraan pemerintahan nagari. Institusi ini kemudian dikooptasi
dan menjadi alat legitimasi politik pemerintahan Orde Baru. Proses
kooptasi pemerintah ini benar-benar efektif, terbukti peran institusi
Bundo Kanduang sekarang direduksi hanya menjadi hiasan dalam
upacara-upacara adat dan negara. Bahkan, dalam beberapa
peristiwa/upacara adat, peran perempuan lebih marjinal.
Dari penelitian dan analisis Lusi Herlina dkk, Bundo Kanduang tidak
dapat lagi berfungsi sebagai perlindungan dan pemberdayaan bagi jutaan
kaum perempuan dan anak-anak anggota suku Minangkabau.
Ini disebabkan adanya pengecilan peran politik para Bundo Kanduang dalam
sistem pengambilan keputusan masyarakat adat selama ini. Oleh karena
itu, tugas Bundo Kanduang makin lama dalam sistem pengambilan keputusan
semakin melemah dan lama-kelamaan akan kehilangan kekuatan politiknya
dan berubah menjadi hiasan belaka dalam sistem adat Minangkabau.
"Dengan dilemahkannya peran Bundo Kanduang, menyebabkan institusi ini
tidak lagi menjadi agen yang dapat diandalkan bagi perlindungan hak-hak
kaum perempuan, terutama bagi perlindungan bagi kepentingan sosial,
ekonomi, dan budaya kaum ibu dan anak-anak Minangkabau," paparnya.
MELIHAT kenyataan itu, Dr Mansour Fakih dalam kata pengantarnya
menyatakan keprihatinan dan kecemasannya. Sebab, menurut dia, tanpa
penguatan Bundo Kanduang, adat bisa menjadi majelis yang justru
mengerikan kaum perempuan karena adat dapat justru menjadi arena
pengukuhan atau pelanggengan diskriminasi dan legitimasi terhadap
siksaan psikologis maupun kultural dalam bentuk penciptaan
ketergantungan bagi kaum perempuan (ibu).
Dari penelitian Lusi tersebut, ada pelajaran lebih besar yang harus kita
petik. Ternyata kita sebagai bangsa belum berani mengakui hak-hak kaum
perempuan kita sebagai hak asasi manusia. Kita belum berani mengakui
bahwa kaum perempuan adalah manusia sepenuhnya.
Berbagai dalih dan argumen sudah sering kita dengar untuk melanggengkan
perendahan kaum perempuan. Pelemahan terhadap peran Bundo Kanduang
memaksa kita merenungkan kembali adat, yang dulu diciptakan dengan
semangat perlindungan, pemberdayaan, dan penghormatan terhadap kaum
perempuan.
Menurut peneliti Lusi Herlina, bagi sebagian kalangan tokoh masyarakat
Minangkabau, kenyataan ini relatif berat sehingga tidak jarang muncul
sikap resistensi. Padahal, menerima realitas budaya ini sebagaimana
adanya lebih berguna bagi masa depan daripada bersikap defensif yang
hanya akan menipu diri sendiri.
"Menolak kenyataan ini hanya akan memperburuk keadaan perempuan
Minangkabau dan semakin menjauhkan sikap dan langkah-langkah bersama
untuk melakukan transformasi budaya Minangkabau mencapai relasi jender
yang lebih adil," tukasnya.
Yang perlu disadari bahwa semua temuan penelitian ini adalah fenomena
masa kini, realitas sosial budaya Minangkabau sekarang yang telah
mengalami distorsi akibat interaksi dan intervensi dari berbagai macam
kekuatan.
Apakah mungkin konstruksi awal budaya Minangkabau dahulu memang seperti
realitas yang kita temukan hari ini?
Menurut Mansour Fakih dalam pengantar buku, ketika adat diciptakan, pada
hakikatnya ia merupakan suatu hasil daya pikir dan budaya masyarakat
dalam rangka memberikan perlindungan dan pemajuan harkat manusia. Di
bawah atap adat Minangkabau, seharusnya proses dehumanisasi warga
Minangkabau terpenuhi. Terutama kaum perempuan dan anak-anak
Minangkabau, adat merupakan tempat berlindung atau benteng yang sesuai
bagi mereka untuk tumbuh dan surga untuk merealisasikan kebebasan dan
hak-hak asasi mereka.
Agenda perubahan ke depan adalah bagaimana mentransformasikan budaya
Minangkabau menjadi sistem yang lebih demokratis dan berkeadilan jender.
Usaha untuk mentransformasikan relasi jender membutuhkan pembongkaran
keyakinan jender masyarakat yang telah mengakar secara kultural dan
struktural, dan oleh karena itu dibutuhkan strategi transformasi relasi
jender melalui usaha politik, sosial, dan budaya.(NAL) 



____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://rantaunet.org/palanta-setting 
___________________________________________________

Kirim email ke