Dunsanak sadonyo, ambo sampaikan juo rasa duka cita atas berbagai berita yg disampaikan di milis awak ko.
semoga yg telah pergi dan kita semua selalu berada dalam naungan rahmat Illahi, amien. dunsanak, hari iko ambo liek ado tulisan bagus di koran Media Indonesia, mengenang karakter dan perilaku bung Hatta dalam politik praktis, yg menarik jadi renungan , bagi dunia politik Indonesia, saat ini , yg kita sendiri, serasa kecewa melihatnya ( pemilu, DPRD, politik dagang sapi dll ) semoga bermanfaat, salam HM --------------- Jejak Hatta di Belantara Simulakra ( Media Indonesia, 13 Agustus 2004 ) PADA tanggal 14 Agustus 1902. Sebuah rumah kayu bertingkat dua berdiri kukuh di Desa Aur Tajungkang di Bukit Tinggi. Satu kota yang membelah Ngarai Sianok, tempat di mana desir air muncul dari celah bebatuan ibarat senandung musim panen. Satu kota yang dirapati pegunungan, antara lain Merapi dan Singgalang. Satu kota yang kelak dikenang banyak orang karena di rumah kayu tadi pasangan Saleha dan Muhammad Djamil melahirkan seorang bayi yang kemudian diberi nama Mohammad Hatta. Delapan bulan kemudian, Hatta yang terlahir dari perpaduan pemuka agama dan saudagar, mesti kehilangan seorang ayah. Muhammad Djamil meninggal, tetapi Hatta tetap berlimpah kasih sayang dari ibu, kakek, nenek, dan paman-pamannya. Dari nenek Aminah yang dikenal keras itu Hatta memperoleh pelajaran keteguhan hati. Kakek Ilyas Baginda Marah menularkan ilmu perniagaan. Paman Mak Etek Ayub membimbing Hatta hidup di Betawi, sampai akhirnya melanjutkan pendidikan ke Belanda. Orang-orang yang melimpahkan kasih sayang itu acapkali menyebut Hatta kecil sebagai anak cie pamaenan mato, anak yang pada dirinya terpendam kebaikan, dan perangainya mengundang rasa sayang. Kelak, Hatta menabung kebaikan sampai akhir hayatnya (1980) sehingga mengundang rasa hormat rakyat Indonesia. *** Pada tanggal 14 Agustus 2004. Jejak-jejak Hatta selayaknya ditelusuri ulang saat bangsa Indonesia sedang mencari seorang pemimpin untuk lima tahun ke depan. Pada hari kelahiran Hatta adalah saat tepat menelusuri jejak-jejak itu. Bukan sekadar di bangunan fisik sekaligus sebagai bukti sejarah, tetapi bisa juga dari sejumlah tulisannya yang meninggalkan jejak pemikiran gemilang. Begitupun segala tindak- tanduknya yang terekam oleh orang-orang dekatnya lewat serangkaian catatan mereka. Hatta yang berpendidikan Belanda bukan berarti mengusung pergaulan bebas ala Barat. Ia tetap Hatta yang menyelaraskan tindak-tanduknya, bahkan perjuangan dan cita-citanya, dengan tuntutan Islam. Ia dibesarkan dengan ajaran-ajaran Islam, tetapi bukan tipe muslim fundamentalis. Sebagai seorang muslim maka tugas utamanya adalah membela Tanah Air, bangsa dan masyarakat, walau upaya pembelaan itu harus dibayar dengan pengasingan di Digul dan Banda. Tentang keislamannya itu, cendekiawan Nurcholish Madjid pernah menggambarkan penampilan Hatta seperti seorang sufi yang ditandai dengan sikap tulus ikhlas, sederhana, rendah hati, dan kedalaman berpikir. Gambaran ini persis seperti ingatan kebanyakan warga Bukit Tinggi terhadap tokoh kebanggaan mereka; arif, hemat, santun, dan sederhana. Ketulusannya itu bisa dibaca dalam beberapa kisah, seperti pada buku Indonesia Merdeka: Biografi Politik Mohammad Hatta karya Mavis Rose, yang salah satu bagian menceritakan perbedaan pandangan antara Hatta dan Soekarno. Namun perbedaan itu tak mengurangi nilai persahabatan. Terbukti, ketika suatu hari pada tahun 1970, ketika Guntur (putra sulung Soekarno) kebingungan mencari wali nikah, maka Soekarno menyebut nama Hatta. Guntur tentu kaget. Kata Soekarno menghapus kekagetan itu, Hatta bisa mencaci-maki dirinya tentang kebijakan politik, tetapi dalam kehidupan pribadi mereka seperti saudara kandung. Betul saja, tatkala Guntur meminta, Hatta langsung menyatakan bersedia. Hatta pula yang mengunjungi Soekarno tatkala sakit, dan dua hari kemudian Soekarno meninggal dunia. Dalam otobiografi lainnya tergambarkan keluguan Hatta. Ada sebuah cerita, teman-temannya di Belanda berniat untuk menjebak Hatta yang terkesan puritan. Disodorkannya gadis Polandia yang dikenal sebagai sosok menggetarkan lelaki mana pun. Mereka mengatur kencan di sebuah kafe romantis. Lantas apa hasilnya? Gadis Polandia itu mengeluh, 'Dia itu pendeta, bukan laki-laki.' Sebab, Hatta hanya 'melayani' makan malam kemudian berpisah. Bagi Hatta lebih bagus menghabiskan waktu dengan buku ketimbang seorang gadis. Tak mengherankan ketika diasingkan ke Banda, Hatta mengusung 16 peti berisi buku-buku. Setiap hari sedikitnya lima jam pada pagi hari ia habiskan untuk membaca dan menulis. Sore harinya tak pernah absen untuk berjalan-jalan seputar Pulau Banda sehingga kemunculan Hatta ini sering dijadikan pertanda jam oleh pekerja kebun. Kebiasaan membaca dan menulis itu membangun ketajaman analisis. Inilah yang disebut-sebut kedalaman berpikir. Para cendekiawan melihat Hatta memberikan perhatian lebih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Produktivitas dalam menulis memudahkan seseorang untuk membaca jalan pikiran Hatta. Dari tulisannya Demokrasi Kita bisa terbaca sikapnya untuk tidak menjadi politikus tersesat, yakni para politikus yang menjadikan partai sebagai tujuan dan negara sebagai alat. Baginya partai merupakan wujud kedaulatan rakyat. Politisi tersesat itu menjadikan perkembangan politik berakhir dengan kekacauan, melahirkan demokrasi bernuansa anarki, dan memuluskan kehadiran diktator. Keinginan Hatta cukuplah sederhana, seperti bisa terbaca dalam 'Lampau dan Datang', yaitu sebuah negeri tanpa represi terhadap hak individu, sementara kekuasaan tak menumpuk kepada seseorang. *** Pada tanggal 20 September 2004. Saat rakyat menentukan pilihan untuk mewujudkan pemimpin ideal lima tahun ke depan, saatnya memanfaatkan jejak Hatta untuk pertimbangan memilih. Bukan reinkarnasi Hatta, tetapi sekadar pijakan. Jangan disalahartikan, menelusuri sebagian jejak-jejak Hatta itu bukan bermaksud mengultuskannya. Sebab, Hatta sudah mewanti-wanti jangan mendewa-dewakan pemimpin, yang dibutuhkan adalah pahlawan tanpa nama. Pijakan itu diperlukan mengingat pencitraan pemimpin dan calon pemimpin kita sekarang ini sudah sedemikian dahsyat. Mereka terperangkap gejala simulakra (simulacrum). Gejala ini tampak sekali saat mereka berkampanye 'menjual' visi, misi, dan programnya para putaran pertama lalu. Berbagai cara pencitraan yang melibatkan beragam tema, narasi panjang, serta mengaduk-aduk emosi, dikerahkan tim sukses kandidat demi simpati publik tanpa disadari pemilih itu sendiri. Pemilih irasional terombang-ambing di antara keberhasilan pencitraan itu. Pemahaman atas simulakra ini bisa merujuk kepada pemikir Jean Baudrillard dalam Ecstacy of Communication (1983) dan John Storey saat menulis An Introductory Guide to Cultural Theory and Popular Culture (1993). Simulakra dipahami sebagai tiruan identitas tanpa ada aslinya. Di sini terjadi kehancuran antara asli dan tiruan. Proses kehancuran ini acapkali disebut Baudrillard sebagai simulasi. Dalam dunia hiperiil perbedaan antara simulasi dan riil terus menerus bergantian. Antara riil dan khayalan terus saling menghilang. Yang muncul kemudian realitas dan simulasi dijalani tanpa perbedaan. Bahkan pada kenyataannya simulasi itu sendiri dijalani lebih riil dari dunia riil. Sesungguhnya antara citra politik dan realitas kandidat bisa terjadi perbedaan. Bayangkan mereka harus berganti peran dari elite politik menjadi wong cilik. Mereka harus pandai-pandai menunjukkan kepada rakyat bahwa sehari-hari memang terbiasa blusukan ke pasar, naik kereta listrik, makan di warung tegal, ngobrol di pangkalan ojek, masuk terminal sangar, berbaur dengan nelayan yang anyir, menceburkan diri ke sawah, masuk hutan perawan, dan tampil sempurna pada sejumlah tempat yang akrab dengan wong cilik. Dibutuhkan kejelian untuk memilah pencitraan politik dan realitas. Jejak-jejak Hatta adalah realitas. Betapa menyenangkan jika realitas itu ada pada calon pemimpin kita. Persoalannya, masihkah menemukan jejak-jejak Hatta itu manakala pentas politik telah menyuburkan belantara simulakra? Jangan-jangan jejak-jejak itu telah sirna. Artinya, kita mesti menunda kerinduan. Toto Suparto, Peserta Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________