* Aliran Syattariyah Dikritik Kelompok Haji Reformis Oleh Suryadi, Mahasiswa Universitas Leiden
Sejak wafatnya Syekh Burhanuddin sampai sekarang tradisi ziarah ke makam beliau di Ulakan masih tetap dilakukan. Bahkan Pemda Kabupaten Padangpariaman menetapkan makam Syekh Burhanudin dan Surau Syekh Burhanudin di Ulakan sebagai salah satu cagar budaya yang dipelihara. Syekh Burhanudin adalah ulama pertama yang melakukan transformasi terhadap institusi surau menjadi lembaga pendidikan Islam, yaitu Surau Tua Tanjung Medan dan kemudian di suraunya yang baru di Ulakan. Muridnya banyak berdatangan dari berbagai pelosok Minangkabau. Bila mereka sudah selesai belajar di Surau Tanjung Medan dan Surau Ulakan mereka kembali ke kampung masing-masing untuk mengajarkan agama Islam kepada masyarakatnya. Salah satu cabang pertama dari Surau Burhanudin di darek adalah Pemansiangan, Kapeh-kapeh, Padangpanjang. Dari sana kemudian Islam disebarkan ke Kota Tua di Luhak Agam, kemudian ke Batulading di Tanahdatar. Sampai akhir abad ke-18 surau-surau di darek terutama di sekitar wilayah sekitar Kota Tua, masih tetap menjadi pengikut Aliran Ulakan. Setelah itu baru muncul gerakan pembaharuan yang mengkritik ajaran Surau Syekh Burhanudin (tarekat Syatariayah) yang dikampanyekan oleh kelompok-kelompok haji reformis asal darek yang baru pulang dari Mekah al Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji. Namun demikian, beberapa nagari di darek masih setia berkiblat ke Ulakan, seperti Batuhampar, Payakumbuh, Kumango, Maninjau, Pariangan dan Malalo. Sebagaimana telah disebutkan pada tulisan sebelumnya, Syekh Burhanudin adalah salah seorang murid terkemuka ulama Syatariyyah terkenal di Aceh yaitu Syekh Aburrauf Al-Singkili, seorang ulama penganut Mazhab Syafii. Ketika masih kecil Burhanudin bernama Pono. Gelar Syekh Burhanudin sendiri adalah anugerah dari Syekh Al-Singkili setelah Pono belajar selama 13 tahun dengan ulama Aceh itu. Menurut cerita lisan di Pariaman Pono belajar dengan Syekh Abdurrauf selama 30 tahun. Syekh Burhanudin yang membawahi tarekat Syatariyyah, dari tarekat ini berkembang ke darek melalui rute-rute dagang ke desa Kapas-kapas dan Mansiangan dengan Padangpanjang yang modern ke Kota Lawas dan ke daerah persawahan yang kaya di Agam, terutama Kota Tua di dekat Cingkung. Paderi dalam catatannya mengatakan, "Maka berpindahlah tarekat dari Ulakan ke Paninjauan lalu kepada Tuanku Mansiang nan Tuho sekali, serta ia memakaikan tertib majlis lagi wara' seperti Tuanku di Ulakan jua halnya. Al-Singkili dikenal sebagai ulama Aceh yang moderat. Cara pendekatan beliau yang lebih mementingkan rekonsiliasi antara syariat dan tasawuf dalam mengajarkan Islam di Aceh nampaknya diterapkan juga oleh muridnya Syekh Burhanudin di Ulakan Pariaman. Sebagaimana sifat gurunya yang memilih cara persuasif dalam mengambangkan agama Islam di Aceh, Syekh Burhanudin juga mengajarkan Islam di Ulakan dengan pendekatan kultural yang begitu toleran terhadap, adat, agama baru itu terus diajarkan sementara kebiasaan adat tidak langsung dilarang. Ada beberapa bukti kultural yang masih tampak sampai sekarang. Masyarakat Ulakan juga dikenal sebagai "orang puasa kemudian", karena tetap setia berpegang pada cara ru'yah (melihat terbitnya bulan dengan mata telanjang) dalam menentukan awal berpuasa di bulan Ramadhan. Sudah sejak dulu hal ini berlangsung di Ulakan dan nagari-nagari yang sepaham dengannya. Kebiasaan ini masih berlaku sampai sekarang di Ulakan. Salah satu desa tetangga yang sepaham dengan Ulakan adalah Lubuk Ipuh. Sebaliknya penduduk Desa Sunur yang terletak antara Ulakan dan Lubuk Ipuh adalah "orang yang berpuasa dulu". (bersambung) http://padangekspres.com/ ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://rantaunet.org/palanta-setting ------------------------------------------------------------ Tata Tertib Palanta RantauNet: http://rantaunet.org/palanta-tatatertib ____________________________________________________