|
KOMPAS>Senin, 24
Desember 2001
Mereka Arsitek Perdamaian Poso
|
Sidik
Pramono Kompas/nasru alam aziz Habib Muhammad Sholeh bin
Abubakar Alaydrus (kiri) dan Saweriganding Pelima
| DENGAN bersedia hadirnya 25
perwakilan umat Kristiani dan 23 umat Muslim dalam Pertemuan untuk Poso
di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, 19-20 Desember lalu, sudah
terlihat itikad baik kedua pihak untuk berdamai. Mereka datang dari
Kabu-paten Poso, Sulawesi Tengah, mendarat di Makassar untuk kemudian
meneruskan perjalanan ke Malino, kota kecil berhawa sejuk berjarak 77
kilometer dari ibu kota Sulawesi Selatan itu.
Semula banyak orang ragu efektivitas pertemuan ini. Empat pertemuan
penyelesaian konflik Poso selalu dirusak pecahnya kembali pertikaian
antara kedua pihak. Persoalan yang mencuat selama ini, tokoh yang
dipertemukan untuk berdamai hanyalah mereka yang disebut-sebut sebagai
pemimpin di atas meja (elite) dan tidak mengakar di hati masyarakat yang
bertikai.
Tidak kurang dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf
Kalla, sejumlah mediator, dan peninjau, optimistis pertemuan dua hari
yang singkat itu akan membawa hasil. Mengapa demikian, karena
orang-orang yang terlibat dalam pertemuan itu merupakan orang-orang
"lapangan", dalam arti orang yang terlibat langsung dalam konflik Poso.
Harapan tentulah damai yang tidak sekadar di atas kertas berupa
penandatanganan bersama 10 butir Deklarasi Malino untuk Poso, namun
perdamaian yang nyata di lapangan lewat tangan orang-orang "lapangan"
ini.
Terlalu banyak menyebut persona yang dengan ikhlas hadir di Malino
untuk suatu perdamaian, namun dua di antaranya adalah yang tertera dalam
tulisan ini, yakni Habib Muhammad Sholeh bin Abubakar Alaydrus (33) dari
pihak Muslim, dan Saweriganding Pelima (59) dari pihak Kristiani. Habib
adalah pimpinan Majelis Dzikir Nurul Khairaat di Palu, sedang Pelima
adalah anggota Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang
berpusat di Tentena.
Saat Habib muncul pada hari kedua pertemuan, keraguan orang mengenai
tokoh-tokoh yang dilibatkan dalam pertemuan ini pupuslah sudah. Pada
hari pertama, Habib memang tidak mengikuti pertemuan. Sejak awal, Jusuf
Kalla sudah menegaskan bahwa pertemuan ini akan merangkul seluruh tokoh
yang terlibat langsung dalam konflik. Dan kedatangan Habib itulah yang
menjadi "gong" keabsahan tokoh yang dilibatkan.
Dengan sorot mata yang tajam, kehadiran lelaki kurus dengan jenggot
panjang dan cambang yang menghiasi wajah ini langsung menjadi pusat
perhatian. Kata-katanya yang santun dan serba terukur terdengar
menyejukkan, meski sesekali terdengar keras sesuai dengan prinsip yang
diyakininya. Terlihat sebelum pertemuan, beberapa orang mencium
tangannya yang selalu menggenggam butiran tasbih dengan takzim.
Pelima mengaku terharu mengikuti dan menyaksikan proses perundingan
yang menjadi titik awal menuju Poso yang damai. "Kami datang ke Malino
dengan bahasa perdamaian, tanpa syarat. Kami menyampaikan permohonan
maaf kepada sudara-saudara kami Muslim, bila pada waktu lalu ada
kesalahan yang menimbulkan penderitaan. Saudara kami menyambut baik
dengan kebesaran hati. Maka terjadilah saling memaafkan dan berupaya
melupakan masa lalu yang pahit, menuju ke masa depan yang indah," kata
Pelima yang juga Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD)
Sulawesi Tengah.
Menurut Pelima, sebetulnya keinginan mengakhiri konflik telah lama
menjadi kegelisahan umat. Namun baru kali ini ditemukan sebuah forum
yang benar-benar dapat menghadirkan representasi dari kedua pihak yang
bertikai. Sebuah forum rekonsiliasi yang menampilkan dialog yang
berjalan dengan baik, sehingga memudahkan pencapaian kesepakatan untuk
mengakhiri konflik.
***
HABIB merupakan salah satu tokoh Muslim yang terus bertahan di
wilayah Poso kota selagi kerusuhan terus memuncak pada awal tahun 2000.
Dengan tongkat rotan yang selalu menemaninya, Habib bersama sekitar tiga
puluh orang memilih bertahan dari serangan. "Kami hanya bersikap
defensif saja. Islam tidak pernah menganjurkan kekerasan. Tapi kita
wajib mempertahankan keyakinan dan kebenaran, hak-hak yang ada pada diri
kita," tegas Habib.
Lahir di Lawang, Malang, Jawa Timur tahun 1968, Habib mengaku tidak
pernah menjalani pendidikan formal. Sejak umur tiga tahun, Habib lebih
sering menimba ilmu dari aulia, para wali, dari satu tempat ke
tempat lain. "Saya selalu mencari pohon yang bisa memberikan keteduhan,"
begitu kata Habib mengibaratkan.
Sempat bermukim di Palu, "panggilan dari atas" mendorong ayah tiga
anak ini untuk masuk ke Poso, membangunkan umat Islam untuk
mempertahankan hak-haknya. Salah satu prinsip yang dipegang oleh Habib,
pantang dalam suatu konflik jika terjadi pembunuhan atas anak-anak dan
perempuan, serta perusakan rumah ibadah. Sebab, ketika semua itu
dilakukan, Habib yakin bahwa azab Allah-lah yang akan turun sebagai
balasan.
Sebelum Deklarasi Malino dibacakan, Kamis (20/12) siang, Habib secara
tegas menyatakan bahwa kebesaran hati untuk saling memaafkan menjadi
angin segar bagi perdamaian di Poso. Baginya, perdamaian di Poso adalah
starting point untuk mengembalikan wajah indah Poso yang
sebelumnya dikenal damai, aman, dan sejahtera.
Kini, Habib pun mengisyaratkan untuk segera kembali ke Poso,
bersama-sama membangun wilayah yang selama tiga tahunan diremuk konflik
berbau SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Selepas pertemuan
yang menyejukkan di Malino, kedua belah pihak memang sudah disatukan di
Hotel Sahid Makassar. Namun, tinggal berlama-lama di hotel mewah justru
tidak membuat betah. "Rumah saya di tempat orang-orang miskin berada,"
kata Habib.
Kini, Pertemuan Malino sudah usai. Masih banyak tugas besar yang
menunggu kedua belah pihak. Tugas pemuka agamalah untuk
menyosialisasikan isi deklarasi, termasuk tanggung jawab jika terjadi
pelanggaran. Habib menekankan, realisasi deklarasi masih patut ditunggu.
Sebab, seperti dikha-watirkan Habib, "Kalau ini sampai gagal lagi,
niscaya kehancuran yang lebih besar akan kita alami bersama."
Pelima dalam lingkungan internal kekerabatannya senantiasa menjaga
tali silaturahmi dengan saudara-saudaranya yang beragama Islam. Pelima
menepis anggapan bahwa Muslim dan Kristen Poso sama sekali terpisah
selama konflik yang berlangsung selama tiga tahun ini. Mereka hanya
dipisahkan secara geografis, karena letak permukiman yang berbeda dan
tersebar di Poso, Ampana, Pendolo, dan Tentena.
"Saya dari keluarga Kristen dan warga Poso asli punya hubungan
kekeluargaan dengan banyak keluarga Muslim warga Poso asli. Kami sering
bertemu di Palu, Makassar, atau di Jawa, dan dalam kesempatan pertemuan,
kami tidak pernah melupakan pentingnya perdamaian. Setiap kali bertemu,
selalu muncul pertanyaan yang sulit dijawab, mengapa semua ini bisa
terjadi atau mengapa bisa menjadi begini," tutur Pelima.
Mendengar pertanyaan "Mengapa semua ini bisa menjadi begini?", atau
"Mengapa semua ini bisa terjadi?", orang lalu teringat betapa sebelumnya
mereka dapat hidup rukun bertetangga antara Muslim dan Kristiani. "Saya
tidak dapat membayangkan, kok, tega-teganya seseorang membakar rumah
orang lain atau bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Ini kejahatan
yang luar biasa. Dulu hal seperti itu tidak pernah terbayangkan."
Pelima menyadari, tindak lanjut pertemuan tersebut membutuhkan waktu
dan kerja keras yang melelahkan. "Jangan membayangkan seperti membalik
telapak tangan. Perlu waktu dan tenaga, bahkan pengorbanan. Harus banyak
orang yang berlelah, baik pihak Muslim maupun Kristiani untuk
mengerjakan rekayasa perdamaian. Tidak hanya sekali dilakukan, melainkan
harus berkali-kali untuk benar-benar menyadarkan mereka yang bertikai,
hingga lapisan terbawah." (Nasru Alam Aziz/p01)
|