Kekejaman dan kesadisan "suatu bangsa terhadap bangsa lain" yang
terjadi dalam sejarah ummat manusia umumnya akibat hati yang kotor, tamak,
dan iri, dan jijik, hingga menimbulkan kesombongan dan kebringasan untuk
melenyapkan atau merendahkan identitas manusia yang bukan bangsa mereka.
Bohong bila dikarenakan tujuan suci, mulia, dan ikhlas, sebagaimana yang
sering dijadikan dalih untuk mencari simpatik dari berbagai bangsa. Mereka
gelisah dan benci melihat bangsa itu ada di bumi ini, sekaligus
menganggapnya atau menuduhnya sebagai benalu terhadap kehidupan mereka.
     Sigmund Freud, tokoh psikoanalisa dari Ceko-Slovakia, sering
menjelaskan secara tuntas serta detail tentang hakikat karakter manusia
dalam konteks "manusia terhadap manusia" dalam pergaulan dan perbincangan
seharian.
     Menurut dia, tiap manusia sejak lahir telah mempunyai nafsu untuk
memperoleh pengakuan identitas yang lebih baik, lebih tinggi, dan lebih suci
dari manusia lain.
     Itu baru tingkat individu. Buat bangsa tentu lain lagi. Ego seperti itu
dimobilisasi oleh pemimpin yang angkuh dan tamak melalui berbagai kegiatan
secara berjenjang (dari atas ke bawah) dan bertahap (sedikit demi sedikit).
Dalam hal ini, seorang pemimpin merupakan simbol kewibawaan dan kehormatan
dalam menghadapi pemimpin lain. Sedikit saja terhina sama saja dengan
menghina bangsa.
     Tapi bangsa yang meliputi manusia itu mempunyai akal, bukan ? Nah ! Ini
yang membedakan manusia dengan binatang. Dengan akal, suatu bangsa bisa
mengendalikan nafsu, agar tidak selalu leluasa dalam bertindak terhadap
bangsa lain. Selain itu, bisa mencari terobosan atau alternatif yang
merupakan modal penting buat menghindari kekejaman dan pengusiran hanya
karena perbedaan bangsa.
     Karena itu, secara teori, manusia bisa menghindari sikap seperti itu,
karena tidak cocok dengan nilai-nilai hakikat dan eksistensi manusia. Sebab
bila tidak, sama saja dengan menurunkan martabat sebagai manusia. Bagi
manusia yang berperasaan halus dan berpikiran tajam, penurunan martabat
merupakan penghinaan, sekaligus proses dehumanisasi yang sulit
direhabilitasi dalam tempo cepat.
     Nah ... karena itu, manusia berusaha maksimal dengan meningkatkan
peradaban, pendidikan, dan pemikiran yang diharapkan menghasilkan dampak
positif hingga maksimal terhadap usaha mengsejahterakan, mengamankan, dan
menertibkan tiap bangsa dari segala aspek kehidupan. Tentu saja termasuk
terobosan buat mencegah keleluasaan suatu bangsa terhadap bangsa lain, yang
populer dengan "misi perdamaian".
     Dunia penjajahan terhadap bangsa Asia/Afrika oleh bangsa kulit putih
sedikit-banyak terdorong juga oleh sikap rasial. Mereka yakin benar bahwa
bangsa kulit warna memang pantas dijajah oleh bangsa kulit putih, termasuk
dalam pengambilan kekayaan alam dan pemerasan tenaga manusia. Dalam
melaksanakan penjajahan sering terjadi "diskriminasi" dalam banyak
katagori/fasilitas, seperti makanan, perumahan, dan pakaian. Dalam hal
tertentu, bangsa kulit warna tidak boleh melangkahi bangsa kulit putih,
seperti dalam pendidikan. Bila ingkar, siap saja dihukum serta dipenjara,
sesuai peraturan yang dirancang dan ditetapkan bangsa kulit putih.
     Memang di mana saja dan kapan saja penjajahan selalu menciptakan
diskriminasi derajat antara penjajah dan terjajah, karena memang sudah
membawa misi keangkuhan dan ketamakan berupa rasialisme, yakni mengukur
derajat manusia berdasarkan status sosial, termasuk warna kulit. Bohong jika
penjajah mempunyai niat untuk membangun terjajah hingga tercipta suasana
kebersamaan dan persamaan derajat. Untuk menggolkan segala rencana jangka
panjang, mereka tiap saat mempropagandakan kalimat manis untuk menarik
simpati, sekaligus ditunggangi atau disertai penampilan dan kewibawaan.
     Penjajahan hanya akan menciptakan manusia jadi kurang sempurna, karena
berbagai hak yang wajar dan logis telah dihancurkan oleh oknum yang masih
mengaku sebagai manusia.
     Bagi ummat manusia yang berhati manusia tentu akan tersayat, tertegun,
bahkan tersinggung mendengar fakta itu, mengapa sampai terjadi pada
manusia - makhluk paling mulia dari seluruh makhluk di bumi ini ?
     Sebagaimana diketahui, jadi manusia berarti menjalin kontak dengan
manusia berdasarkan persamaan derajat, sesuai dengan arti dan hakikat
manusia. Manusia tulen akan mengganggap manusia lain sebagai partner dalam
menjalani dan melaksanakan kehidupan seharian. Karena itu, untuk jadi
manusia tulen, manusia harus menghindari perbuatan yang tidak pantas
dilakukan terhadap manusia, baik identitasnya maupun eksistensinya.
     Namun itu akan jelas sulit terlaksana, apalagi terwujud, pada bangsa
yang sedang jadi korban penindasan, penghinaan, dan kekejaman bangsa lain
melalui alam rasial, sebagaimana yang dilakukan Jahudi, Hitler, dan Serbia.
Sebab dalam alam itu, korban telah dianiaya, ditipu, dan dimanipulasi,
hingga takut melaksanakan berbagai hak yang patut dilakukan mereka, termasuk
berpikir, bertindak, berkreasi, dan bertanya, seperti melalui pendidikan.
Padahal pendidikan merupakan modal esensial bagi mereka dalam posisi sebagai
manusia untuk memperbaiki masa depan yang lebih baik dan lebih cerah
daripada masa kini. Dengan pendidikan, mereka akan mampu mencari alternatif
dan terobosan untuk membebaskan kesengsaraan dan menggapai kenikmatan.
     Bangsa Bosnia, misalnya, merupakan contoh kongkrit aktual saat ini.
Berbagai hak mereka sebagai manusia sudah hancur luluh melalui aneka senjata
berat oleh bangsa Serbia. Mereka justru ditindas dan dianiaya dalam alam
budaya paling moderen dan paling canggih.
     Manusia yang berhati manusia bila disuruh membandingkan fakta demi
fakta, jelas akan menganggapnya sama-sama mencerminkan kebuasan dan
kebiadaban yang diterapkan terhadap manusia oleh makhluk yang sebenarnya
tidak cocok lagi dianggap sebagai manusia. Sebab manusia dengan akal manusia
dan hati manusia dengan otomatis akan menghindarinya dan mengatasinya,
bahkan membasminya.



Salam,

Nasrullah Idris
----------------------
P.O. Box 1380 - Bandung 40013
Bidang Studi : Reformasi Sains Matematika Teknologi
http://bdg.centrin.net.id/~acu

Kirim email ke