All,

Pak Djatun has CLEARLY explained the situation in plain language; our
internal debt would be able to bring us into the next 'wave' of economic
turmoil unless the debtors are paying their obligation to the government.
And this is no joke.

Regards,
[EMAIL PROTECTED]

>-----Original Message-----
>From: Mahendra Siregar
>Sent: 10 Februari 2002 10:27
>To: Mahendra Siregar
>Subject: Berita Jawa Pos tentang Penjelasan Menko Perekonomian masalah PKPS
>
>
>http://www.jawapos.co.id/minggu/index.php?view=detail&id=63678
><http://www.jawapos.co.id/minggu/index.php?view=detail&id=63678>
>Kesal Diplintir dan Dipolitisasi
>
>
>Sejak enam bulan masuk tim ekonomi, Djatun -panggilan Prof Dr Dorodjatun
>Kuntjoro-Jakti-boleh jadi belum pernah segamblang saat ini. Menko
>perekonomian itu membeber unek-uneknya soal utang dalam negeri Indonesia.
>Dibandingkan dengan utang pada IMF dan Bank Dunia, yang paling gawat adalah
>utang dalam negeri Indonesia.
>
>Dia juga mengungkap isu yang melibatkan para obligor raksasa maupun
>menengah. Diakuinya, isu itu sangat kompleks. Apalagi, sering dipolitisasi
>dan diplintir. Djatun mengaku sedang berpacu melawan waktu yang mepet,
>terutama dengan deadline berakhirnya tugas BPPN pada Desember 2003.
>
>Hal itu terungkap saat Djatun ramah-tamah dengan masyarakat Indonesia di
>KBRI Washington, Senin malam lalu (Selasa siang WIB). Di depan sekitar 200
>orang, antara lain Atase Pertahanan RI di AS Brigjen Hendrawan Ostefan,
>Ketua IKI (Ikatan Keluarga Indonesia) Ambar Abbink, para diplomat
>Indonesia,
>mahasiswa, dan para tokoh masyarakat Indonesia di AS, Djatun bicara apa
>adanya. Sekitar 85 persen dari dua jam diskusi yang dipandu KUAI KBRI
>Thomas
>Aquino Samodra Sriwijaya, mantan Dubes RI di AS ini membeber persoalan
>utang.
>
>"Sebenarnya masalah utang yang paling dahsyat itu bukan utang luar negeri.
>Nilai utang luar negeri itu sama dengan dalam negeri, yakni kurang lebih
>USD
>70-an miliar. Sekitar USD 70 miliar di luar, USD 70 miliar dari dalam,"
>tuturnya.
>
>Bedanya, utang dari luar itu berupa soft loan, sehingga jangka
>pengembaliannya lama. Bunga pinjaman Bank Dunia hanya 1-2 persen. Bunga
>pinjaman ODA (official development assistance) bahkan 0,3 persen. Pinjaman
>dari IMF juga dikenai bunga rendah, yakni hanya 3-4 persen.
>
>"Tetapi, yang dari dalam negeri itu kan sama dengan bunga SBI (Sertifikat
>Bank Indonesia), yakni kurang lebih 17 persen. Coba bayangkan," katanya.
>
>Djatun yang mantan dekan FE-UI ini mengajak hadirin berhitung. Dalam
>hitungan rupiah, utang USD 70 miliar itu sekitar Rp 655 triliun. Dengan
>bunga 17 persen, berarti pembayaran bunganya Rp 60 triliun setiap tahun.
>
>"Itu sama dengan USD 6 miliar toh. Yang di luar paling banter hanya USD 2
>miliar, Anda bayar. Yang di luar selalu bisa saya jadwalkan kembali. Dan,
>ini kebanggaan Indonesia. Sejak dulu, tak pernah ngemplang. Indonesia
>terkenal di lembaga multilateral. Kita nggak pernah ngemplang, selalu
>bayar.
>Tapi, jika mepet, kita minta penjadwalan kembali, yaitu dari pokok
>(pembayaran pokok utang, Red), principal, dan dari bunga," jelasnya.
>
>Yang parahnya adalah utang dalam negeri. Sebab, harus dibayar lewat budget
>(anggaran negara). "Itu diambil dari penghasilan negara, masuk sebagai
>pengeluaran, lalu dikasih ke bank-bank yang bangkrut itu. Supaya bank-nya
>enggak bangkrut, kita kasih obligasi. Lantas, kita kasih penghasilan pada
>bank, sehingga bank jalan. Jadi, itu sebetulnya kita subsidi bank-bank itu.
>Tapi kalau kita tenggelamkan bank itu, sekian juta nasabah bank kita ini
>nggak punya lembaga penjamin. Tidak ada deposit insurance, seperti yang
>semestinya," katanya.
>
>Di Indonesia belum ada peraturan penjaminan dana nasabah di bank. Jadi
>kalau
>bank nya bangkrut maka pemerintah yang harus ganti. Kalau di AS, jaminannya
>dilakukan melalui asuransi, terbatas maksimal 100 ribu USD. Sedangkan untuk
>Indonesia, untuk jumlah berapa pun, tidak ada jaminan seperti itu.
>
>"Di Indonesia tidak ada. Karena itu, kita terpaksa kasih blanket guarantee
>(jaminan menyeluruh, Red) saat krisis 1998. Nggak peduli sebabnya, pokoknya
>semua yang berurusan dengan bank, kita garansi. Jadi, enak saja, diganti.
>Jangan tanya saya kenapa itu diberikan. Itu kan 1998. Saya cuma mewarisi.
>Yang hebat, on budget dan off budget digaransi," ungkapnya.
>
>Djatun mengaku saat ini ia berupaya bagaimana mengurangi beban dalam
>negeri.
>"Sebab, yang diberikan kepada orang miskin lewat dana kompensasi sosial kan
>hanya Rp 2,85 triliun. Sedangkan yang dipakai untuk rekapitalisasi Rp 60
>triliun. Coba, berapa juta orang miskin bisa saya tolong, kalau saya bisa
>kurangi. Tapi, untuk mengurangi, bond-nya itu harus saya redeem (bond
>redemption, penebusan obligasi, Red). Bond-nya itulah yang bisa ditarik
>kalau obligor besar, penghutang besar yang bikin berantakan negeri kita
>ini,
>memenuhi kewajibannya membayar utang-utang itu. Ini lupa dilakukan selama 4
>tahun. Itu! ,"ujarnya, dengan nada tinggi.
>
>Djatun tidak berhenti sampai di situ. Soal obligor ini dicecarnya terus,
>dengan kalimat mengalir deras dan bahasa lugas. "Jadi, para obligor besar
>itu, baik top 21, top 50, dan top 100, kecil sekali pengembaliannya.
>Bahkan,
>39 bank yang dibekukan kewajibannya Rp 27 triliun. Tapi, cuma bayar Rp 1
>triliun sampai kini. Itu sudah empat tahun!" imbuhnya.
>
>Djatun melihat saat ini masalah itu makin kompleks dan gawat. "Sudah mau
>habis, Desember 2003, kalau tidak diselesaikan, pas nanti itu BPPN nya
>habis
>tugasnya. Tahun 2004 saya harus bikin pidato ibu (Presiden Megawati, Red)
>di
>MPR: 'Saudara-saudara sebangsa setanah air, ternyata sesudah kita hitung
>pengembalian yang dilakukan oleh para obligor besar dan bank-bank beku itu,
>tak mungkin mengembalikan seluruh Rp 655 triliun. Masih tersisa kurang
>lebih
>Rp 400 triliun yang harus dibawa sebagai beban utang dalam negeri
>Indonesia.' Terus, bagaimana reaksi rakyat?" papar Djatun panjang lebar.
>
>Suasana ruang pertemuan hening. Seolah paham betapa persoalan utang yang
>dihadapi Indonesia, khususnya menko perekonomian, begitu dahsyat. "Ini yang
>saya pusingkan sekarang. Saya mulai bilang sama mereka. Bayar dong,"
>katanya.
>
>Yang jadi masalah, ungkap Djatun, syaratnya ketika itu melalui kontrak
>perdata. "Karena syaratnya dulu, kontraknya itu dibikin kontrak perdata.
>Karena out of court settlement (penyelesaian di luar pengadilan, Red), ya
>segitu disetujui dua-duanya tanda tangan pemerintah Indonesia saat Pak
>Habibie dan kemudian dengan orang obligornya tandatangan, itu settle. Dan
>sesudah settle, pemerintah mengeluarkan surat letter of discharge and
>release (surat bebas dari tuntutan lain, red) dan tidak bisa dipidanakan.
>Sesudah itu, seluruh asset nya dikembalikan ke mereka, ke pemilik lama.
>Oleh
>mereka, disuruh dilola, dijalankan terus. Kita bayar management fee sama
>dia
>untuk menjalankan itu. Sesudah itu, arus kasnya tidak di-escrow (escrow
>account, ditaruh di rekening penjamin, red) di bank. Kemudian di
>perusahaan-perusahaan itu, kita tidak menempatkan chief financial officer
>(CFO). Now you tell me, siapa, betapa luar biasanya imaginasi penyusun
>kontrak saat itu. Don't ask me! ,"ujarnya, sengit.
>
>Djatun tampak berapi-api membeber isu yang selama ini enggak pernah
>terungkap di depan publik. Masalah obligor yang diwarisi pemerintah
>Megawati
>saat ini, ditambah tetek-bengek keanehan praktik era lama dan jadi beban
>saat ini dan di masa depan, Djatun tidak mau tedheng aling-aling.
>
>"Lha, sesudah itu diharapkan mereka sukarela menjual aset. Sudah
>dibuktikan,
>kita dimaki: 'Itu harga Indomobil, Indosiar Pak Djatun dan sebagainya.' Eh,
>itu bukan aku yang jual! Itu pemilik lama yang jual. Itu kewajiban dia.
>Kenapa nggak dipenjarakan saja, seperti dibilang nyonya saya (isteri
>Djatun,
>Red). Nggak bisa! Sebab, itu perdata perjanjiannya. Mungkin barang buktinya
>sudah susah dicari, duitnya sudah lama ke mana, owners-nya lari ke luar
>negeri semua. Kalau saya panggil, kan mesti pakai red notice interpol.
>Makanya, jangan mau gampang jadi Menko," tukasnya di akhir kalimat seolah
>menetralisir tegangnya pembeberan soal obligor itu.
>
>Djatun kemudian membuka sedikit cerita awalnya jadi menko. "Ketika saya
>jadi
>menko, saya lihat bagian dalamnya. Ini gimana. Siapa in the end of the
>game,
>yang tanggung jawab semua ini. Kan obligor itu. Sekarang kita mau coba
>mereka. Ayo, penuhi janji itu. Tapi, secepat-cepatnya dan sehebatnya,
>menurut perkiraan saudara Ade Sumantri (pejabat BPPN, Red) dan teman-teman,
>paling banter kita bisa kembalikan hanya 26 persen. Jadi, yang Rp 400
>triliun, itu sisa dalam negeri," katanya.
>
>Karena itu, Djatun heran kenapa justru IMF yang dicibir. Padahal, bunga
>pinjaman IMF sangat rendah. "Jadi, banyak cerita diplintir-plintir di luar.
>Yang kita pakai di LoI IMF itu adalah semua yang tidak dikerjakan
>pemerintah
>Soeharto dalam 30 tahun. Saya nggak ngerti kenapa disebarkan cerita
>mengenai
>IMF. Nggak ngerti saya. Alternatifnya apa? Bank Dunia digituin juga,"
>ujarnya masygul.
>
>Djatun malah heran, soal obligor ini, para pengkritik itu diam. "Tetapi,
>obligor yang tidak mau bayar malah tidak dimarahi. Kita yang mau selesaikan
>malah dibilang mau gampang saja sama obligor. Kita nggak berbuat apa-apa,
>dimarahin. Kita jual, dibilang harganya terlalu rendah. Kita diam, dimarahi
>juga. Jadi, mau yang mana ini? Padahal, waktunya sudah mau habis, tahun
>2003. Itu cerita utang kita," tutupnya soal utang.
>
>Djatun minta siapa saja supaya mengedepankan fakta ketimbang persepsi.
>"Hey,
>bung. Jangan main persepsi hari-hari ini, tapi main fakta. Asyik kalau main
>fakta. Soal persepsi memang sengaja dikembangkan oleh orang-orang yang mau
>bermain politik. Saya nggak main politik. Sampai jam ini, saya nggak mau
>main politik. Karena itu, lontarkan saja," jelasnya.
>
>Sebagian hadirin puas campur masygul dengan problematika utang yang dibeber
>Djatun. Apalagi, Djatun tampil bersemangat, terbuka, dan apa adanya. Itu
>mengingatkan orang pada integritas, kejujuran, dan idealismenya hingga
>pernah dua tahun dipenjara tanpa diadili oleh rezim Soeharto ketika Malari
>1974. Djatun di AS menghadiri World Economic Forum di New York, sekaligus
>melakukan pembicaraan dengan IMF, World Bank, dan Treasury (Depkeu AS,
>Red).
>Selain Djatun, anggota delegasinya adalah staf pejabat kantor Menko
>Perekonomian, BPPN, dan Depkeu.
>
>http://www.jawapos.co.id/minggu/index.php?view=detail&id=63677
><http://www.jawapos.co.id/minggu/index.php?view=detail&id=63677>
>
>Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
>Banyak Yang Suka Main Persepsi
>
>Masalah utang masih jadi inti pembicaraan Menko Perekonomian Prof Dr
>Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dengan IMF dan World Bank di AS pekan ini.
>Wartawan Jawa Pos di Washington DC Ramadhan Pohan sempat mewawancarai
>Djatun, panggilan akrab Dorodjatun, di KBRI Washington. Wawancara khusus
>ini
>berlangsung setelah Djatun bertemu dan berdialog dengan warga Indonesia di
>KBRI Washington, Senin malam lalu (Selasa siang WIB). Dia pun menyinggung
>masalah terorisme dan polemik soal perpanjangan PKPS (penyelesaian
>kewajiban
>pemegang saham).
>
>Bagaimana pertemuan Anda dengan IMF dan World Bank?
>Kita tengah mencoba melengkapi apa yang kini sedang dibahas di Jakarta oleh
>Tim IMF. Memang kita sedang menuju letter of intent (LoI) ke-5. Selain itu,
>tentu kita coba -dengan kejadian-kejadian baru di mana-mana saat ini-
>dapatkan informasi dari tangan pertama. Misalnya, masalah Turki dan
>Argentina. Sebab, saya yakin banyak pesan yang akan disampaikan pimpinan
>World Bank dan IMF kepada Indonesia untuk mewaspadai kecenderungan yang
>barangkali, kalau kita lihat, terjadi di Amerika Latin. Itu bisa kita
>pelajari.
>
>Kunjungan kali ini meningkatkan dan menguatkan kembali hubungan
>IMF-Indonesia?
>Saya kira hubungan itu baik sekali. Malahan, kami sekarang sedang mencoba
>sesuatu yang baru atas dasar inisiatif dari pemerintah Indonesia. Saat ini
>kami coba memperoleh kesempatan membahas secara tidak resmi, setiap
>kuartal,
>dengan negara-negara yang diwakili kantor perwakilan mereka di Jakarta.
>Bagaimana pelaksanaan bantuan CGI dan hibah? Sebenarnya di luar bantuan dan
>hibah USD 3,1 miliar, mereka masih bersedia memberikan hibah di luar yang
>sudah dijanjikan. Ini ingin saya kejar. Sebab, kita tahu banyak proyek
>lingkungan, proyek penanggulangan kemiskinan, dan sebagainya masih tidak
>akan cukup ditangani dengan apa yang sekarang diadakan pendanaannya lewat
>APBN.
>
>Adakah berita baru soal persiapan Paris Club III?
>Kita hanya memberitahukan bahwa perhitungan sedang kami lakukan. Tentu,
>kami
>juga ingin mendapatkan secepat mungkin dari mereka, apa yang harus kita
>siapkan apabila diskusi itu harus kita lakukan dengan Paris Club.
>
>Bagaimana secara bilateral dengan Amerika?
>Depkeu Amerika, seperti biasa, menginginkan adanya konfirmasi dari beberapa
>hal yang tentu mereka memberikan prioritas. Yang menarik adalah koordinasi
>dalam soal penanganan arus dana yang mungkin dipergunakan oleh organisasi
>terorisme internasional. Kami beritahukan, sebenarnya Bank Indonesia sejak
>Oktober 2001 itu sudah mengeluarkan perintah kepada semua bank di
>Indonesia.
>Isinya, agar dilakukan proses yang disebut sebagai know your consumer
>(ketahuilah nasabah Anda).
>Saya ambil contoh mudah. Apabila Anda biasanya memasukkan hanya USD 1.000
>ke
>rekening bank, tiba-tiba Anda memasukkan USD 10 ribu, banker seharusnya
>bertanya dari mana sumber dana itu. Demikian juga kalau terjadi penarikan
>mendadak dalam jumlah besar, itu harus dilaporkan. Paling tidak, dicermati.
>Ini sudah ada. Kita tahu banyak sekali bank yang belum begitu siap.
>Padahal,
>perintahnya juga sudah dibuat dalam bahasa Inggris. Saya kira, sebagian
>bank
>asing baru bisa memenuhi persyaratan itu pada bulan Januari.
>Kedua, kita sudah memenuhi dan memberikan respons pada apa yang diputuskan
>sidang DK PBB. Kami sudah melapor kepada mereka. Ketiga, kita melakukan
>pengecekan fisik di lapangan soal berbagai hal yang dianggap AS
>mencurigakan. Dari laporan tadi -laporan mereka (Depkeu AS, Red)- kita pun
>memberikan laporan apa yang, menurut kita, sudah kita lakukan. Saya kira
>kedua pihak sampai pada titik memuaskan.
>
>
>Bagaimana komitmen bantuan ekonomi AS atas Indonesia saat ini?
>Masih tetap kuat. Malahan, saya kini membicarakan perlunya bantuan teknis
>bagi Pemilu 2004. Itu pemilu pertama. Insya Allah, kita akan pilih langsung
>presiden/wakil presiden. Coba Anda lihat pengalaman AS soal formulir saja.
>Hampir timbul insiden pada tahun 2000 di Florida. Kami pun ingin
>mempelajari
>seperti apa formulir pemilih yang sekarang sedang dikembangkan. Kemudian,
>pada 2004 kan mereka (AS) akan melakukan pemilu bulan November. Sedangkan
>kita (Indonesia) kan Juni. Saya juga ingin mempelajari hardware dan
>software
>sistem yang akan mereka kembangkan.
>
>Dengan memberikan bantuan ekonomi, AS dapat apa? Padahal, soal terorisme
>terus menghangat saat ini. Anda menyadari itu?
>Sebetulnya, dalam hubungan bilateral, itu biasa. Jadi, tidak usah secara
>eksplisit. Kalau sudah punya persahabatan yang baik -atau hubungan baik
>saja- itu sebenarnya tak perlu eksplisit. Kita sudah tahu. Kami laporkan
>apa
>yang menurut kami menguntungkan AS. Di pihak lain, AS juga melaporkan
>kepada
>kami. Saya kira hubungan diplomatik yang normal memang demikian.
>
>Anda cukup gamblang bicara di depan forum masyarakat di KBRI. Apa ada yang
>salah dalam pemberitaan pers kita?
>Saya tidak tahu. Tapi, kalau boleh saya sampaikan, misalnya saja laporan
>oversight committee (OC) mengenai pelaksanaan tugas di BPPN sudah lebih
>dari
>30 kali kami terbitkan. Tampaknya, tidak ada satu pun pers Indonesia yang
>memuat. Apa terlalu teknis atau apa, saya tak mengerti. Sungguh, yang
>dipersoalkan sebagai hal aneh pada praktik-praktik lama KKN sebetulnya
>banyak dibuka di situ. Tapi, barangkali terlalu banyak nama yang mulai
>dibawa di OC itu. Saya tidak tahu sungguh-sungguh apa yang menyebabkan itu
>tidak dimuat. Tapi, itulah.
>
>Bagaimana soal debat mengenai perpanjangan PKPS?
>Itu juga begitu. Saya perhatikan, banyak sekali yang main persepsi. Kalau
>kita terangkan baik-baik, sebetulnya banyak yang dipersepsikan itu
>sebenarnya nggak begitu. Tapi, itulah.
>
>Dengan Kwik Kian Gie, Anda sudah bicara?
>Saya kira beliau tahu. Kita kan semua bicara di kabinet.
>
>Sebagai teman lama, mungkin lebih mudah mencapai understanding?
>Saya kira kita sudah bicarakan itu. Tapi, semua kan mempunyai cara sendiri
>untuk memberikan respons. (*)
>Data Pribadi
>
>Nama : Prof Dr Dorodjatun Kuntjoro-Jakti
>Tempat/Tanggal Lahir : Rangkasbitung, 25 November 1939
>Nama Istri : Emiwaty Kuntjoro-Jakti
>Pendidikan: - S1 dari FE UI
>- MA dalam bidang financial administration dan
>PhD (doktor) dalam bidang ekonomi politik dari
>University of California at Berkeley.
>Jabatan : - Menko Perekonomian
>- Dubes Indonesia untuk AS (Maret 1998-Juni 2001)
>- Dekan FE-UI (1994-Februari 1998)
>- Anggota tim ahli Pacific Business Forum
>-Anggota tim ahli APEC
>
>[Non-text portions of this message have been removed]
>




_________________________________________________________________
Chat with friends online, try MSN Messenger: http://messenger.msn.com

Kirim email ke