Sebagaimana sudah jauh hari saya sampaikan, bila kita membiarkan orang luar mengacak-acak satu ruangan di rumah kita, maka mereka juga akan tertarik untuk mengacak-acak kamar-kamar yg lain. Saat ini konspirasi bule di bawah pimpinan Uni Eropa dan AS menginginkan diri untuk masuk ke wilayah Timor Barat dengan alasan kekerasan thd pengungsi. Albright yg tidak terlalu bright mendasarkan pada laporan dari si Janet Taft yg bener-bener anak kerbau. Australia sendiri yg diwakili oleh Mayjen Cockroach menyatakan tidak akan melanggar garis perbatasan wilayah (setelah disentil oleh Mayjen Kiki yg bakal menumpas setiap penerobos perbatasan). Namun demikian, pihak-pihak di Canberra terus mengipas-kipas AS untuk menginvasi harga diri Indonesia, dengan cara masuk ke Timor Barat. Di bawah ini artikel dari Waspada Medan tentang kelakuan Aussie/Interfet. Tentu saja tidak ada hubungan dengan 'laporan pandangan monitor' saya di atas. -------------------- Tentara Australia Robek Merah Putih: Enam Orang Pro-Integrasi Disiksa NUSA TENGGARA TIMUR (Waspada): Seorang nggota pasukan PBB di Timor Timur (Interfet) asal Australia merobek bendera Merah Putih di Desa Tibar, Kecamatan Liquisa, sekitar 38 kilomete barat Kota Dili, disaksikan anggota Pasukan Pejuang Integrasi (PPI), yang ditangkap di tempat itu. Panglima PPI, Joao da Silva Tavares, kepada wartawan di Atambua, Senin (27/9), membenarkan laporan anggotanya tentang kejadian tersebut. Dia menyatakan tidak rela terhadap perilaku penghinaan terhadap Bangsa Indonesia yang dilakukan anggota Interfet asal Australia melalui perobekan bendera Merah Putih itu. "Kita hanya sabar karena mengikuti kemauan negara kita dan turut mengangkat harkat dan derajat negara kita Indonesia ini. Tetapi kita tidak sabar karena Merah Putih dirobek. PPI rela mati untuk Merah Putih," katanya. Tatkala mengomentari peristiwa perobekan bendera Merah Putih itu, Tavares berulang kali mengusap air mata dengan sapu tangan berwarna biru. Sambil mengepalkan tangan kanannya Tavares yang kini berusia 68 tahun itu menyatakan, PPI tidak takut membela "Merah Putih" agar tetap berkibar di Timtim. "Orang-orang Timtim pro-integrasi tidak takut menghadapi kapal, pesawat maupun helikopter perang yang canggih yang dikirim pasukan PBB ke Timtim. Bahkan kami siap bergerilya selama seratus tahun," katanya sambil memukulkan kedua telapak tangan pada kedua pahanya. Masyarakat pro-integrasi berjuang agar Timtim dibagi dua, dengan salah satu bagian tetap berintegrasi dengan Indonesia, karena orang Timtim memiliki hak atas tanah kelahirannya. Lihat perobekan Sementara itu Wakil Komandan Peleton Pos Kiper 3 Pasukan "Aitarak" (sayap PPI di Kota Dili) Thomas do Rosario Fatima di tempat terpisah mengaku, melihat anggota Interfet asal Australia mengambil bendera Merah Putih dari mobil kijang warna putih yang Sabtu (25/9) sekitar pukul 14:00 dan merobek-robek menjadi beberapa bagian. Kala itu, sejumlah anggota Interfet asal Australia menangkap empat anggota Aitarak yang melintas di jalan raya Desa Tibar, kemudian mengikat mereka dengan tali plastik, menodong dan memukuli di tempat tersebut. Keempat anggota Aitarak itu adalah Thomas do Rosario Fatima, Domingos Pereira, Fernando dan Paulino. Sejumlah anggota CNRT (Dewan Nasional Pertahanan Timor Leste) juga berada di tempat tersebut ketika keempat anggota Aitarak itu disiksa dan diinjak-injak di jalan beraspal itu. 12 Anggota Aitarak pada Sabtu (25/9) mendatangi tempat tersebut untuk membebaskan sekitar 10 warga pro-integrasi yang disandera di kawasan Desa Tibar. Namun empat orang ditangkap Interfet dan lainnya berhasil meloloskan diri lalu menuju ke perbatasan Timtim-NTT. Aksi penahanan terhadap sekitar 10 orang pro-integrasi yang hendak mengungsi ke perbatasan di Atambua, Kabupaten Belu oleh Interfet sejak Kamis (23/9) itu, setelah mereka "diprovokasi" oleh sejumlah warga prokemedekaan, kata Thomas. Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari beberapa anggota prointegrasi asal Kabupaten Ermera yang sedang melintas di sekitar sungai Beloi di Desa Tibar, sepuluh orang itu disiksa oleh anggota CNRT dalam kondisi kedua tangan diikat. Dan hingga saat ini nasibnya belum diketahui. "Ketika kami disiksa pasukan Australia itu di jalan aspal, saya bisa melihat orang banyak di gudang kopi, pintunya terbuka dan saya lihat secara jelas mereka ada di sana," katanya Thomas. "No problem" Menurut pengakuan Thomas, sekitar satu jam (14:00-15:00 Wita) empat anggota Aitarak yang hendak membebaskan warga prointegrasi yang disandera di Tibar disiksa oleh pasukan Interfet. Saat itu pula melintas tiga truk TNI dari Ermera akan menuju ke Dili. Korban Fernando sempat berteriak meminta pertolongan. Anggota TNI itu segera turun dari truk dan memerintahkan pasukan Interfet melepaskan tawanan. "'No problem, no problem', kata orang Australia itu setelah tentara kita perintahkan agar kami dibebaskan," kata Thomas tatkala menirukan jawaban seorang anggota Intefet asal Australia kepada pimpinan konvoi TNI yang berhenti di tempat tersebut. Sekitar 20 anggota Interfet asal Australia berada di Tibar dengan menggunakan tiga mobil milik UNAMET (Misi PBB di Timtim). Sementara sejumlah anggota prokemerdekaan juga berada di tempat tersebut membantu pasukan PBB untuk mencari dan menangkap warga prointegrasi khususnya anggota PPI. "Mereka bukan sebagai pasukan perdamaian yang harus netral di Timtim, tetapi pasukan Australia yang bekerja sama dengan CNRT dan Falintil (sayap militer prokemerdekaan) untuk melawan prointegrasi. Kalau pasukan perdamaian seharusnya mengamankan dua pihak (prointegrasi dan prokemerdekaan)," kata Thomas. Siksa Enam Warga Sementara itu, Personil Pasukan PBB di Timor Timur (Interfet) asal Australia melakukan penangkapan dan penyiksaan terhadap enam warga yang hendak mengangkut barang-barang ungsian dari kota Dili untuk dibawa menuju ke perbatasan di Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari Dili, Minggu (26/9) dilaporkan enam warga itu masing-masing tiga berasal dari Atambua, dan tiga lainnya anggota Pasukan Pejuang Integasi (PPI) dari Dili," Aitarak". Tiga warga Atambua yaitu Jonny R. Eden, 24, Yani Ndoen, 35, dan Luis Seru, 36, yang hingga kini masih raib, sejak dibebaskan tidak diketahui nasibnya. Sedangkan tiga anggota Aitarak adalah Lorenso Gomes, 38, Caitano da Silva, 38, dan Joao Ximenes, 39. Jonny mengaku, enam orang itu ditangkap Rabu (22/9) saat hendak mengambil beberapa barang dengan mobil Hiline di Markas Aitarak di kompleks Tropical Dili. "Saya melihat ada tiga karung berisi mayat dan tampak masih ada darah di tempat itu," ujarnya dan menambahkan, melihat mayat yang dibakar di sekitar Markas Aitarak tetapi identitasnya tidak diketahui. Enam orang tersebut pada sekitar pukul 20:00 dibawa ke Lapangan Tenis "Melati" kemudian disiksa dan disuruh tidur tertelungkup di tempat itu dengan penjagaan ketat dan todongan senjata. "Di situ saya juga lihat mayat dibungkus dalam satu karung dan dua lainnya tergeletak," katanya. Jonny juga diperlakukan secara kasar antara lain dipukul dengan popor senapan pada bagian punggung serta ditendangi oleh pasukan Interfet. Pada Kamis (23/9) enam orang itu kemudian dibawa ke Stadion Municipal Dili, diinterogasi dan disuruh berlutut di atas kotoran manusia serta dijemur pada terik matahari di lapangan selama satu jam. Penangkapan dan penyiksaan dilakukan setelah sejumlah warga pro kemerdekaan memberitahu personil Interfet bahwa mereka adalah anggota milisi yang telah melakukan pembunuhan. Ketika melakukan penyiksaan, sejumlah personil Interfet asal Australia menutup tanda nama pada seragamnya dengan "lakban" berwarna hitam sehingga tidak bisa diketahui identitasnya. "Tetapi jelas dari kulitnya mereka 'bule' dari Australia," katanya.(ant) ______________________________________________________ Get Your Private, Free Email at http://www.hotmail.com