Rekan-rekan Permias mungkin diantaranya sudah baca attachment saya dibawah ini, saya untuk terdorong  memunculkan ini, karena barusan saya juga mendapat data,  bahwasannya anggota DPRD disebuah kota besar di Indonesia mempunyai bisnis sampingan serupa.

Salam
Roosadi


Pasted from Tempo August 16th, 1999 :
Setelah Agus Isrok Digaruk Operasi Narkotik
Putra Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Subagyo H.S., Letnan Dua Inf. Agus Isrok, tertangkap tangan bersama dengan sekoper penuh obat bius. Polisi menduga, ia seorang bandar. Aib itu ditutup-tutupi aparat.

PINTU bernomor 408 itu digedor. Dari dalam kamar tak terdengar jawaban. Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat, Letkol Adjie Rustam Ramdja, yang memimpin langsung penggerebekan, makin curiga. Tiga puluh aparat polisi memang tengah mengepung sasaran inti: Hotel Travel di kawasan Manggabesar, Jakarta. Ahad dua pekan lalu itu, jam menunjuk pukul tiga dini.
Pintu dibuka paksa dengan kunci duplikat. Dengan senjata terkokang, belasan polisi menghambur masuk. Dua pemuda yang berada di dalam terkesiap alang-kepalang. Muka mereka pucat pasi, tak berkutik. Di meja terserak kertas perak, alat pembakar yang apinya sudah menyala, dan daun ganja. Salah seorang yang berpostur tinggi tegap dan berambut cepak—semula mengaku bernama Deky Setiawan, 24 tahun—buru-buru membuang sekotak korek api dari saku celana jinsnya. Temannya, Donny Hendrian, 32 tahun, terpaku gemetar.
Mereka langsung digeledah. Deky sempat mencoba menolak. "Diam, kau, angkat tangan!" bentak seorang polisi. Dari sakunya, ditemukan dua plastik berisi shabu-shabu—salah satu dari sekian banyak zat adiktif yang sedang trendi— dan ganja. Plak! Sebuah pukulan mendarat di perutnya. "Kau anggota (militer), ya?" hardik sang aparat. Sambil memelas, yang ditanya menjawab lirih, "Bukan, Pak." Pertanyaan diulang lebih keras. Tapi Deky tetap menyangkal. Kedua pemuda itu tak membawa secarik pun tanda pengenal.
Seisi kamar lalu diaduk-aduk petugas. Hasilnya, sebuah koper besar berwarna hitam ditemukan tersembunyi di dalam lemari. Mereka menyangkal sebagai pemiliknya. Sial bagi Deky, telepon genggamnya berbunyi. Kepala Pusat Komando Pengendalian Operasi Polres Jakarta Barat, Mayor Sam Budigusdian, langsung meraihnya. Terdengar suara dari seberang sana, "Agus, elu masih di kamar? Gue tunggu di bawah." Rupanya, Agus adalah nama asli Deky.
Mendengar itu, kecurigaan polisi makin kuat. "Eh, menunggu pembeli, ya? Elu bandar?" bentak petugas. Koper itu pun dibuka paksa. Brak! Sejumlah "barang haram" berhamburan. Puluhan plastik berisi 7.000 butir pil ekstasi beragam warna, empat kilogram shabu-shabu, daun ganja, setengah ons putauw (sejenis heroin) dan uang tunai Rp 2 juta. "Waduh, banyak sekali ini! Mampus, lu!" ujar seorang petugas.
Wajah mereka tampak puas dengan hasil tangkapan besar malam itu. Belakangan, dua anak muda itu mengaku bahwa sekoper obat bius itu milik Aciang, yang hingga kini masih buron. Setelah itu, keduanya langsung digelandang ke markas Polres. Dalam keadaan terborgol, Agus meringkuk di kolong meja. Sampai pukul 04.00, ia belum juga mau mengakui jati dirinya. Ia pun babak-belur "dipermak" polisi yang jengkel. Wajahnya tampak biru lebam.
Malam itu seharusnya jadi hari istimewa bagi Polres Jakarta Barat. Itulah puncak keberhasilan Operasi Kilat Jaya, disingkat OKJ, yang digelar pada 6-9 Agustus lalu, untuk menggulung sindikat narkotik di Ibu Kota. Hotel Travel sudah lama diincar aparat sebagai lokasi transaksi narkotik dalam jumlah besar. Operasi dirancang amat hati-hati. Bahkan, lokasi sebenarnya pun dirahasiakan. Semula, yang diketahui sebagai target operasi cuma beberapa lokasi kos. Dan tak seperti biasanya, dini hari itu "Barat-1" (kode panggilan untuk Kapolres Jakarta Barat) pun sampai turun gelanggang.
Dari bocoran "laporan kemajuan" yang diteken langsung Kapolres dan Kepala Satuan Reserse Kapten Idham Azis, terungkap penangkapan Donny dan Agus itu hasil pengembangan dari dua operasi sebelumnya (lihat Detik-Detik Penggerebekan). Pada hari pertama, polisi menggaruk geng M. Tajudin alias Dede, 23 tahun. Tapi mereka rupanya tak sendirian. Ada pula rantai induknya.
Para pengedar madat ini mengaku mendapat pasokan dari Tjekky Soemargo alias Jack, 35 tahun. Keesokan harinya, giliran si Jack diringkus berikut barang dagangannya. Lalu, ia dibuat "bernyanyi" dari mana suplai berasal. Dari mulutnya meluncur sebuah nama yang diakui sebagai bandarnya selama ini: Donny, yang tak lain adalah kolega Agus.
Jadi, kedua sekawan itu diduga kuat masuk kategori pengedar "kelas kakap". Bukan sekadar pengecer, apalagi pemadat biasa. Penuturan beberapa petugas Hotel Travel memperkuat indikasi itu. Mereka kerap melihat dua karib itu memesan kamar di sana. "Sebulan ini saja, dua-tiga hari sekali, pasti mereka menginap di sini," kata seorang room boy kepada Arief Kuswardono dari TEMPO.
Tapi mendadak prestasi gemilang itu seolah berubah jadi malapetaka bagi korps baju cokelat. Hanya beberapa jam kemudian, markas heboh. Sebuah telepon berdering pukul tiga sore. Yang mengontak seseorang yang mengaku rekan Deky, bernama Kapten Inf. Bobby, dari Komando Pasukan Khusus, Kopassus. Bunyinya menggegerkan: yang baru saja kena garuk tak lain adalah Letda Inf. Agus Isrok, Wakil Komandan Unit Khusus Detasemen 441 Grup IV/Sandi Yudha Kopassus. Dan yang lebih gawat, perwira pertama itu ternyata putra sulung Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal TNI Subagyo H.S., orang penting di pucuk TNI.
Secepat kilat pengecekan dilakukan. Hasilnya mengonfirmasikan jati diri Agus, yang belakangan mengakui identitasnya. Maka, menurut progress report itu, atas perintah Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya, Mayjen Noegroho Djajoesman, pada pukul delapan malam Kapolres buru-buru mengantar sang tersangka pulang ke kediaman ayahnya, Jenderal Subagyo, di kompleks perwira tinggi Angkatan Darat di bilangan Gatot Subroto, Jakarta. Setelah itu, kasusnya menguap. Gelap.
Nama Agus Isrok alias Deky Setiawan lenyap dari daftar tersangka kasus narkoba—singkatan dari narkotik dan obat terlarang—yang dijaring polisi lewat OKJ. Kecurigaan kontan menyeruak. Ada upaya untuk memeti-eskan kasus yang mencoreng wajah Angkatan Darat itu? Tampaknya begitu. Yang jelas, dalam edaran Polda Metro Jaya, cuma empat nama yang terpampang: M. Tajudin, Tjekky, Donny, dan Ahok alias Hasan.
Jenderal Noegroho pun mati-matian berupaya menyangkal. Sang Kapolres bahkan sampai mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi saat dikonfirmasi. "Soal lain, silakan. Kalau masalah ini, tidak, tidak!" kata Letkol Adjie panik. Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, Brigjen TNI I Dewa Putu Rai, setali tiga uang. "Kalau tidak ada di Pusat Polisi Militer (Puspom), berarti kasus itu memang tidak ada," katanya berkilah. Sampai sekarang, Puspom memang belum menerima pelimpahan perkara Agus itu.
Polisi ditekan kalangan baju hijau? Tak jelas. Korps baret merah menutup mulut rapat-rapat soal urusan peka ini. Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayjen TNI Syahrir M.S. selalu menghindar. Asisten Intel Dinas Penerangan Kopassus, Letkol Prasetyo, membantah jabatan Isrok sebagai Wakil Komandan Unit Khusus di satuan elite itu. Sang ayah, Jenderal Subagyo, juga tak mau berkomentar. "Saya tak mau berpolemik," kata Danjen Kopassus periode 1994-1995 itu. Ia bilang bahwa putra kesayangannya itu masih tinggal di asrama Kopassus (lihat Dia Masih di Asrama).
Padahal, seorang perwira di Polres Jakarta Barat tegas-tegas mengonfirmasi kisah sukses penangkapan Agus itu. "Sampai pukul setengah delapan malam, saya masih melihatnya," kata sang perwira, blak-blakan. Kebenaran laporan kemajuan itu pun dikukuhkan seorang perwira berpangkat kolonel di jajaran Polda Metro Jaya. "Kau dapat dari mana?" katanya kaget saat dikonfirmasi. Lalu, ia berusaha mengalihkan pembicaraan. Banyak juga aparat yang sengaja menghindari topik sensitif ini.
Tak urung, ada yang menuding polisi masih berpegang pada tabiat lama: tak berdaya menghadapi "tekanan", sehingga harus melindungi koleganya yang jelas-jelas terlibat. Bagi kriminolog dari Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, praktek penyelesaian di bawah tangan itu membuktikan satu hal: jargon kemandirian Polri yang terus didengang-dengungkan semenjak disapih dari tubuh TNI masih sebatas pada papan reklame. "Ini adalah contoh jelek dari pimpinan Polri yang selalu menisbikan hal yang sudah jelas seperti itu," katanya.
Contoh jelek itu bukannya tak memunculkan kekecewaan. Dengarlah gerutu seorang petugas di Polres Jakarta Barat yang kerap terlibat operasi semacam itu, "Masa, bandar sekelas itu dilepas." Begitu pula seorang perwira menengah di Polda Metro Jaya yang bertugas menangkapi aparat kotor. "Ya, begitulah, nyatanya kami masih terus diintervensi TNI," ujarnya masygul. Mereka bak makan buah simalakama. Jika Agus dilepas, akan menuai hujatan masyarakat. Tapi, jika terus diproses, mesti mengambil risiko berhadapan dengan TNI, "induknya" yang masih sangat perkasa. Kabarnya, karena kekecewaan itulah, laporan kemajuan dan berita acara pemeriksaan bisa bocor ke pers begitu mudah.
Jika keterlibatan Agus terbukti benar, kasus ini makin menguatkan sebuah rahasia umum: sebagian aparat Republik telah menjadi bagian langsung dari jaringan kejahatan terorganisasi. "Perselingkuhan aparat" bahkan sudah sedemikian telanjang. Para pemadat merasa lebih aman membeli "si putih" (sebutan untuk shabu-shabu dan sejenisnya) dari mereka. Lokasi peredaran di pelbagai klub malam, diskotek, karaoke, tempat biliar, atau hotel. Ada pula yang mempekerjakan serdadu sebagai beking.
Padahal, saat ini peredaran "bubuk setan" itu sudah sedemikian merajalela. Tengoklah gambarannya. Di Jakarta Selatan, dalam sehari, ditangkap dua tersangka penyalahgunaan obat fly itu. Setiap malam, kamar VIP karaoke dan diskotek di kota-kota besar selalu dipadati kalangan pengejar fatamorgana, mulai dari para eksekutif, ibu rumah tangga, sampai ke ABG (anak baru gede). Yang lebih gila, si upik di sekolah-sekolah dasar pun mulai dirambah.
Maka, pernyataan perang dari polisi mesti diacungi jempol. Apalagi jika janji Jenderal Noegroho, yang bilang tak pandang bulu memberantas jaringan obat terlarang, bukan sekadar retorika. "Saya tegaskan, Polri tidak peduli siapa orangnya, hukum akan berlaku sama," katanya gagah. Jangan sampai tekad bulat itu dikecualikan dengan kasus ini. Jika tabiat lama itu masih terjadi, niscaya akar mafia narkotik tak bakal mudah dibabat.
Karaniya Dharmasaputra, Dwi Wiyana, Darmawan Sepriyossa

Copyright @ PDAT 1 9 9 8

Kirim email ke